Andai kita semua bisa memberi contoh dalam bersikap, berprilaku, bertindak atau dalam berbagai bentuk dan model interaksi sosial yang Pancasilais, agaknya BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) tak perlu genit dibuat, sehingga jadi menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat.
Andai kita semua bisa memberi contoh dalam bersikap, berprilaku, bertindak atau dalam berbagai bentuk dan model interaksi sosial yang Pancasilais, agaknya BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) tak perlu genit dibuat, sehingga jadi menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat.
Kegaduhan yang dipantik oleh BPIP itu sejak awal seperti ditandai dengan pengunduran diri Ketuanya yang pertama sejak dibentuk, yaitu Dr. Yudi Latief.
Mundurnya Dr. Yudi Latif dari jabatan puncak di lembaga yang dianggap sumir itu pasti mempunyai alasan yang ilmiah dan rasional. Mengingat sosok Dr. Yudi Latif bukan tokoh ecek-ecek yang besar dari kalangan intelektual kampus. Di sebuah lembaga pendidikan dan kajian sebuah partai politik terkemuka pun di negeri ini peran Dr. Yudi Latif tak sembarangan bisa diperankan oleh banyak orang. Artinya, sikap Dr. Yudi Latif memilih mundur dari jabatan paling enak dan pasti juga paling empuk di BPIP itu, lebih dari cukup untuk mengisyaratkan pada semua orang bahwa di BPIP itu ada yang tidak beres. Atau setidaknya, seperti lembaga karantina untuk mengandangkan sejumlah orang yang memperoleh posisi atas jasa yang telah diberikan oleh nereka semasa memberi serta menggalang dukungan saat ikut merebut kekuasaan atau ketika ingin meneruskan kelanggengan kekuasaan lebih lanjut.
Akibatnya lebih jauh jadi makin riuh dan gaduh suara-suara sumbang yang mengusung beragam kepentingan, termasuk jabatan ecek-ecek yang tidak memberi manfaat apa-apa pada rakyat.
Begitulah babak berikut setelah Dr. Yudi Latif mundur, pejabat penggantinya yang baru terus membuat gaduh. Betapa tidak, agama langsung dia klaim sebagai musuh Pancasila. Jadi cara membuat kegaduhan dalam masyarakat serupa inilah yang dilihat oleh banyak orang sebagai prilaku komunis yang kita matikan di negeri ini. Sebab prilaku komunis justru bersilang dengan paham (pemahaman) pandangan hidup kita, yaitu Pancasila.
Oleh karena itu, keberatan dari massa aksi yang menolak RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) lantas digeser dengan mudah dengan sebutan RUU BPIP, jelas esensinya sama, seperti karedok yang diubah suguhannya menjadi pecel. Ya, bahannya itu itu juga, cuma sekedar direbus saja bahan bakunya.
Padahal, tujuan utama dari BPIP itu tak jelas sasarannya. Coba saja, siapa yang mau di-Pancasila-kan, jika pelaksananya sendiri tidak Pancasila. Lalu mereka yang mengklaim paling Pancasilais itu, apa ukurannya bila terus membiarkan rakyat dizolimi atau dimanipulasi yang selalu meng-atas-nama Pancasila ?
Setidaknya dari pemahaman masyarakat awam Indonesia, keadilan sosial bagi seluruh rakyat itu sederhana saja terjemahannya, ketimpangan gaji atau upah yang tertinggi dengan yang terendah tidak boleh menimbulkan kecemburuan sosial. Bayangkan ratusan juta nilai upah anggota BPIP itu sangat miris dibanding dengan upah minimum buruh di seluruh kota mapun daerah di negeri Pancasila ini. Begitu juga fenonena dari kebebalan menanggapi massa aksi dan unjuk rasa kaum buruh maupun umat Islam itu. Jika sungguh sila-sila Pancasila itu ada di DPR RI, maka nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan/ perwakilan dalam (budaya) permusyawaratan pasti menghentikan aksi dan unjuk rasa yang memang sangat menyita energi dan biaya dari kita semua. Realitasnya, toh DPR RI tidak menggubris sedikitpun suara dan aspirasi rakyat ini. Meski mereka tetap mengklaim mewakili rakyat.
Oleh: Jacob Ereste, Ketua Bidang Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Federasi Bank, Keuangan dan Niaga (F.BKN) K.SBSI.
COMMENTS