umat muslim Bosnia menandai peringatan 25 tahun pembantaian Srebrenica pada Sabtu (11/7) waktu setempat, di tengah pandemi virus corona
Oleh: Mita Nur Annisa (Pemerhati Sosial)
Kilas balik terhadap tragedi pembantaian yang terjadi di Srebrenica pada tahun 1995 silam, memberi luka dan duka mendalam yang masih menyelimuti seluruh dunia terkhusus umat muslim. Sampai pada saat ini rasa trauma yang terus dirasakan dalam benak umat muslim Bosnia, yang mana ribuan warga muslim Bosnia menjadi korban atas kebengisan dan kebiadapan tentara Serbia.
Dilansir oleh cnnIndonesia.com (12/7/2020), umat muslim Bosnia menandai peringatan 25 tahun pembantaian Srebrenica pada Sabtu (11/7) waktu setempat, di tengah pandemi virus corona.
Meski jumlah peserta menurun dari tahun-tahun sebelumnya, tapi tak sedikit pelayat yang berani menentang aturan pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran Covid-19 demi menghadiri peringatan tersebut. Peringatan tahun ini sekaligus menjadi upacara penguburan sembilan korban yang diidentifikasi selama setahun terakhir.
Pada 11 Juli 1995, usai Srebrenica dikepung, pasukan Serbia membunuh lebih dari 8.000 pria dan anak lelaki muslim dalam beberapa hari.
Sehad Hasanovic, adalah salah satu dari sekitar tiga ribu kerabat korban yang menghadiri peringatan tersebut terlepas dari ancaman virus corona. Dia memiliki seorang putri berusia dua tahun -usia yang sama ketika dia kehilangan ayahnya.
"Sulit ketika kau melihat seseorang memanggil ayah mereka dan kau tidak memilikinya," kata Hasanovic sambil menangis, dikutip dari AFP, Minggu (12/7).
Pembantaian itu diketahui terjadi usai runtuhnya Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Tentara Serbia dan Tentara Rakyat Yugoslavia (JNA) kemudian berupaya mengamankan teritori mereka yang ternyata juga diikuti dengan upaya pembersihan etnis non-Serbia di area yang hendak mereka amankan tersebut.
Srebrenica bukan satu-satunya wilayah yang porak-poranda akibat ulah tentara Serbia dan JNA. Kota Bratunac yang berada di wilayah perbatasan di antara kedua negara turut terdampak oleh aksi para tentara tersebut. Rumah-rumah warga yang mayoritas penduduknya Muslim Bosnia dibakar, warga-warganya pun dipukul maupun dibunuh, merekapun dipisahkan dari ibu, istri dan anak perempuan mereka. Diketahui, ada 1.156 warga Bratunac tewas akibat kejadian tersebut. Sementara sisanya dipaksa mengungsi ke Srebrenica.
Meski sudah 25 tahun telah berlalu, masih terdapat kuburan massal baru dan pembantaian ini merenggut kehormatan muslimah lebih dari 50.000 perempuan dan anak perempuan secara sistematis diperkosa di rumah, hotel dan kamp-kamp tentara Serbia.
Hal ini memberi tamparan kepada anak umat saat ini dengan tragedi Srebrenica menjadi pembelajaran bahwa selepas umat tanpa khilafah maka keadilan, perlindungan, dan keamanan tak dapat dirasakan. Tragedi ini juga menjadi bukti tidak adanya perlakuan adil dari PBB terhadap negara berpenduduk muslim, bahkan PBB menjadi alat melegitimasi kebengisan para penjahat terhadap kaum muslim. Tragedi pembantaian kaum muslim juga terjadi di negara lainnya dimana penduduk kaum muslim di negara tersebut merupakan penduduk minoritas yang tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan.
Sehingga jika terus berharap pada sistem kapitalisme yang hanya mementingkan para kapitalis tak akan mendapatkan apa-apa. Jangankan perlindungan, pertolongan pun tak terdengar sebab seketika dengan cepatnya berpura-pura buta dan tuli.
Dengan begitu, ketidakadaan khilafah menjadi sebuah permasalahan yang mana pembantaian akan terus terjadi dan tak akan berhenti terhadap umat muslim di seluruh dunia. hingga umat membutuhkan khalifah sebagai perisai. Sebagaimana Nabi Muhammad saw. bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Adalah Khalifah Al Mu’tashim Billah, seorang teladan abadi sepanjang masa. Kisah heroiknya dicatat dengan tinta emas sejarah Islam dalam kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tahun 223 Hijriyyah, yang disebut dengan Penaklukan kota Ammuriah.
Pada tahun 837, al-Mu’tasim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah yang konon berasal dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar. Yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya.
Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah dengan lafadz yang legendaris yang terus terngiang dalam telinga seorang muslim: “waa Mu’tashimaah!” (di mana engkau wahai Mutashim… Tolonglah aku!)
Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), begitu besarnya pasukan yang dikerahkan oleh khalifah.
Pada akhirnya umat benar-benar membutuhkan khalifah sebagai perlindungan. Untuk itu umat harus bersama mengarahkan perjuangan dalam menengakkan khilafah, yang mana bersumber pada hukum illahi yang memberi rahmat ke seluruh alam.
Wallahu a’lam bishawwab.
COMMENTS