Meluruskan Metode Tafsir Jilbab ala Liberalis

Gayatri Wedowati kembali melancarkan serangan terhadap syariat jilbab. Setahun yang lalu ia mengajukan surat terbuka kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai capres dan cawapres terpilih untuk menghentikan hijabisasi di Indonesia.

Gayatri Wedowati kembali melancarkan serangan terhadap syariat jilbab. Setahun yang lalu ia mengajukan surat terbuka kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai capres dan cawapres terpilih untuk menghentikan hijabisasi di Indonesia

Oleh: Ustazah Arini Retnaningsih

Gayatri Wedowati kembali melancarkan serangan terhadap syariat jilbab. Setahun yang lalu ia mengajukan surat terbuka kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai capres dan cawapres terpilih untuk menghentikan hijabisasi di Indonesia.1

Selanjutnya ia membuat petisi kepada Presiden untuk mengembalikan kemben sebagai pakaian yang dikatakannya sesuai dengan ajaran Muhammad dalam konteks Jawa dan Nusantara.2

Tahun 2020, ia mendirikan komunitas Hijrah Indonesia yang menginisiasi kampanye “No Hijab Day” 1 Februari 2020 lalu.3

Perempuan satu ini memang begitu gerah dengan perkembangan jilbab di Indonesia. Melalui blognya ia terus mengampanyekan dejilbabisasi.4

Beberapa waktu lalu ia juga membuat surat terbuka untuk Menteri Pendidikan Nadiem Makarim untuk meninjau ulang kebijakan sekolah yang mewajibkan para siswi memakai busana gamis.5

Terakhir, pengikut sekte sinkretisme agama Tarekat Daudiyah dengan gelar Syekhah Hefzibah6 ini, menulis di harakatuna.com, artikel berjudul Memahami Ayat-Ayat Al-Quran Mengenai Jilbab, Hijab, dan Aurat Secara Kaffah.7

Tulisannya kental bernuansa tafsir ala liberalis, yang bagi beberapa orang boleh jadi terasa masuk akal sehingga perlu dikaji lebih mendalam untuk memperoleh kebenaran.

Jilbab dalam Pandangan Gayatri

Menurut Gayatri, pensyariatan jilbab merupakan kelanjutan tradisi agama-agama terdahulu, yaitu Yahudi dan Nasrani. Rasulullah ﷺ menganjurkannya sebagai tata krama dalam ruang publik dan saat beribadah dan tidak menjelaskan bentuknya apakah menutup rambut atau wajah, one-piece atau two-piece.

Di sisi lain, Rasulullah ﷺ menganjurkan jilbab dalam rangka untuk dikenali, sesuai adat istiadat dan hukum adat negara yang memiliki kode etik berbusana tertentu di ruang-ruang publik terutama antara budak dengan orang merdeka dan orang ningrat.

Gayatri menguraikan penafsiran mengenai jilbab dan aurat dalam Alquran yang saat ini dianggap menjadi tirani mayoritas adalah semula penafsiran yang tidak populer dan baru muncul pada beberapa abad setelah kematian Muhammad ﷺ.

Bahkan, pada zaman Umayyah yang melakukan Arabisasi, tidak ada kewajiban jilbab sebagaimana dianggap pada hari ini. Menurutnya, jika memang benar jilbab adalah perintah kewajiban, maka sejak zaman kesultanan Islam di seantero Nusantara, para perempuan bangsawan dan perempuan dalam keluarga ulama telah berjilbab. Pada kenyataannya tidak demikian. Mereka hanya berkerudung atau memakai mukena pada momen-momen tertentu saja.

Masih menurutnya, ayat-ayat Alquran mengenai aurat dan busana seperti surah Al-Ahzab 59, an-Nur 31 maupun ayat-ayat dalam surah Al-A’raf sepatutnya dibaca secara literal supaya memperoleh pemahaman yang benar sebagai muslim yang kaffah.

Untuk itu, Gayatri membuat panduan sebagai berikut:

(1) Mempelajari dengan sampradaya, yaitu melalui sanad atau silsilah spiritual dari seorang guru secara personal yang memberi sanad kepada kita sampai kepada Muhammad ﷺ.

(2) Mempelajari leksikon dan evolusi bahasa Arab karena bahasa Arab yang digunakan pada masa Muhammad dan ditulis dalam aksara Alquran terawal sudah banyak berkembang selama 1.400 tahun.

(3) Sejarah umat Israil karena Muhammad ﷺ memiliki sanad dari Isa Al-Masih sampai kepada Adam dan Hawa yang secara historis adalah umat Israil.

(4) Sejarah Islam sepeninggal Muhammad ﷺ.

Selanjutnya, Gayatri mengatakan ia memiliki sampradaya yang lurus sampai kepada Muhammad ﷺ yang dapat dipertanggungjawabkan di akhirat dan di hadapan Muhammad ﷺ, bahwa teks-teks Alquran yang dimaksud tidak berarti perintah kewajiban jilbab.

Ia bahkan berani bertanggung jawab dalam sanad yang ia terima dari Imam Mahdi dan Muhammad ﷺ bahwa jilbab bukanlah syariat atau perintah kewajiban.8

Perlukah Mengkaji Sejarah dalam Memahami Tafsir?

Membaca tulisan Gayatri, kita bisa melihat bagaimana ia dipengaruhi kepercayaan yang dianutnya yaitu Tarekat Daudiyah. Tarekat ini merupakan penggabungan berbagai kepercayaan dan agama samawi yang ada.

Gayatri tidak menganggap wahyu-wahyu Allah dalam kitab-kitab sebelumnya telah batal dengan diwahyukannya Alquran. Daudiyah meyakini bahwa Allah senantiasa memelihara semua wahyu-Nya untuk membimbing seluruh umat manusia.9

Sayangnya, tarekat ini tidak memahami apa yang diklaim sebagai kitab suci umat yang lalu –yakni Taurat dan Injil– telah mengalami banyak penyimpangan. Turunnya Alquran telah menasakh kitab suci yang sebelumnya, bahkan menasakh syariatnya.

Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, sebagai pembenar apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai hakim terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah: 48)

Arti dari (ومهيمنا عليه ) adalah (ناسخا لما سبقه ) adalah penghapus kitab-kitab sebelumnya. Oleh karena itu, kita sebenarnya tidak diseru melaksanakan syariat sebelum kita. Kita diseru hanya untuk menjalankan Islam yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ. (‘Atha bin Khalil, 2003, Ushul Fiqh, PTI Bogor).

Ada riwayat sahih yang menceritakan Nabi ﷺ pernah marah ketika Umar bin Khaththab ra. melihat-lihat lembaran Taurat. Nabi ﷺ bersabda,

أَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا بْنَ الخَطَّابِ؟ أَلَمْ آتِ بِهَا بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ؟! لَوْ كَانَ أَخِيْ مُوْسَى حَيًّا مَا وَسَعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي رواه أحمد والدارمي وغيرهما.

“Apakah dalam hatimu ada keraguan, wahai Ibnul Khaththab? Apakah dalam Taurat terdapat ajaran yang masih putih bersih?! (Ketahuilah), seandainya saudaraku Musa hidup, beliau tetap harus mengikuti (ajaran)ku.” (HR Ahmad, Ad Darimi, Al Bazzar, dan Ibnu ‘Abdil Barr).

Maka, ajakan Gayatri untuk memahami Alquran dengan mempelajari sejarah umat Israil dan sejarah setelah wafatnya Rasulullah ﷺ adalah salah besar.

Sejarah bukanlah sumber tafsir dan tidak layak menjadi sumber tafsir. Justru Alquranlah yang harus kita gunakan sebagai standar untuk menilai sejarah, apakah sesuai atau menyimpang dari Alquran.

Bukan sebaliknya, sejarah malah kita gunakan untuk menilai kebenaran Alquran, sehingga ketika sejarah menyimpang dari Alquran, tafsir Alquran yang harus menyesuaikan diri dengan penyimpangan tersebut.

Bila ini kita lakukan, makna kebenaran Alquran akan menjadi subjektif dan relatif, menyimpang dari makna yang telah Allah tetapkan.

Begitu pun pernyataan Gayatri bahwa Muhammad ﷺ. memiliki sanad dari Isa as., adalah salah besar.

Nabi Muhammad ﷺ tidak menerima wahyu atau ajaran apa pun dari Nabi Isa as.. Nabi ﷺ menerima wahyu langsung dari Allah melalui perantaraan malaikat Jibril dan tidak memiliki hubungan apa pun dengan Nabi Isa as..

Bila ada kesamaan antara Injil dan Alquran, maka hal tersebut adalah wajar. Karena awalnya, Injil juga merupakan wahyu Allah, sebelum sebagiannya disimpangkan para rahib dari kalangan ahli kitab yang mencari keuntungan dunia.

Allah menceritakan proses pengubahan Alkitab ini dengan firman-Nya:

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Alkitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS Al Baqarah: 79)

Dengan demikian, jika benar di Indonesia, kaum perempuan di masa lalu tidak banyak yang menggunakan jilbab, ini semata-mata adalah fakta sejarah yang terjadi, tidak bisa dijadikan sumber hukum sehingga disimpulkan jilbab tidak wajib.

Apa lagi mengingat sejarah kelam upaya penjajah Belanda menjauhkan umat dari syariat Islam yang berlangsung ratusan tahun, yang mengikis pemahaman umat sehingga sebagian besar umat Islam menjadi Islam abangan (awam) saja.

Jika kita mengkaji fakta kehidupan muslimah di Nusantara dulu, ternyata pendapat yang mengatakan tidak ada yang mengenakan jilbab dan kerudung saat itu, ternyata salah juga.

Boleh jadi Gayatri dan para liberalis penentang jilbab tidak pernah membaca cerita Hamka tentang jilbab di Indonesia dalam kitab tafsirnya Al Azhar juz 22 ketika membahas QS Al Ahzab 59.

Simak pula penelusuran Andi Ryansyah dalam tulisan Perjuangan Panjang Jilbab di Indonesia (Jejak Islam untuk Bangsa, 9 Maret 2015).

Ia menyatakan, satu hal yang pasti, sejak abad ke-19, pemakaian jilbab telah diperjuangkan di masyarakat. Hal itu terlihat dari sejarah gerakan Paderi di Minangkabau. Gerakan revolusioner ini turut memperjuangkan pemakaian jilbab di masyarakat.

Di Sulawesi Selatan, Arung Matoa (penguasa) Wajo, yang dipanggil La Memmang To Appamadeng, yang berkuasa dari 1821-1825 memberlakukan syariat Islam dan mewajibkan kerudung bagi masyarakat Wajo.

Sayyid Utsman, seorang ulama dari Batavia menulis persoalan jilbab ini dalam bukunya Lima Su’al Didalam Perihal Memakai Kerudung yang terbit pada Oktober 1899.

Di Sumatera Barat, Syaikh Abdul Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan nama Haji Rasul ini, amat vokal menyuarakan kewajiban wanita muslim menutup aurat. Menurutnya, aurat wanita itu seluruh tubuh.

Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan aktif menyiarkan dan menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita Muslim sejak 1910-an.

Melalui majalah Al-Lisaan tahun 1935, Persis secara tegas juga menyatakan tubuh wanita yang boleh kelihatan hanya muka dan pergelangan tangan. Itu artinya rambut dan kepala wanita harus ditutup. Tokoh Persis, Ahmad Hassan menulis syiar pertamanya tentang kewajiban jilbab bagi wanita muslim pada 1932.

Nahdlatul Ulama (NU) menyuarakan hal yang sama. Saat Kongres Nahdlatoel Oelama ke-XIII yang digelar pada Juni 1938, di Banten, NU Cabang Surabaya mengusulkan agar kaum ibu dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said. Alasannya agar kaum ibu menutup auratnya sesuai syariat Islam.

Peran Bahasa dalam Penafsiran Alquran

Alquran diturunkan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam bahasa Arab. Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Islamiyyah Jilid 1 menjelaskan baik kosakata, susunan kalimat, lafaz dan perubahan lafaznya, termasuk adab-adab penyampaiannya, harus dipahami sesuai kaidah-kaidah bahasa Arab saat Alquran diturunkan.

Untuk menafsirkan Alquran, harus memahami bahasa Arab yang fushah, yaitu bahasa Arab bersastra tinggi yang digunakan Alquran, baik dari sisi lafaz, makna, maupun uslub penyampaiannya.

Dengan demikian, untuk memahami makna jilbab dan khimar (kerudung) serta memahami batasan aurat, harus dikembalikan kepada apa yang ditunjukkan makna lafaz pada saat ayat diturunkan, bukan dipahami di masa setelahnya. Misalnya penggunaan makna aurat yang dipahami Gayatri sebagai kemaluan, sangat jauh dari kebenaran.

Mengartikan aurat sebagai kemaluan akan mereduksi makna menutup aurat dengan hanya mengenakan pakaian yang menutup kemaluan saja. Tidak heran jika Gayatri pernah mengampanyekan kemben sudah menutup aurat sesuai ajaran Nabi Muhammad ﷺ.

Batas Aurat Perempuan

Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau’atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu.”

Namun definisi ini tidak dapat distandar dengan apa yang membuat malu pada saat ini, apalagi perempuan liberal, yang tidak malu menampakkan seluruh tubuhnya.

Standar apa yang membuat malu harus dikembalikan pada apa yang membuat malu saat syariat Islam diturunkan, dan ini bisa dirujuk dari pendapat para ulama salaf.

Sekalipun memang ada perbedaan batas aurat, tetapi seluruh ulama sepakat bahwa rambut, leher, dada, sampai ke lutut, semua adalah aurat yang wajib ditutup.

Maka jika ada pendapat masalah menutup aurat perempuan adalah masalah khilafiyah yang dikembalikan pada kebiasaan dan kebutuhan di masing-masing tempat, kemudian akhirnya membolehkan perempuan menampakkan rambut, leher, paha, dan lengan, jelas pendapat tersebut tertolak.

Yang menjadi perbedaan pendapat saat itu adalah wajah, tangan, dan kaki, sampai mana batasannya sebagai aurat.

Adapun pendapat sebagian ulama yang menentukan batas aurat perempuan ketika shalat, sehingga Gayatri memahami bahwa kewajiban menutup aurat hanya saat shalat saja, didasarkan kepada hadis sebagai berikut:

Tidak diterima shalat seorang perempuan yang sudah haid (balig) kecuali bila dilakukan dengan mengenakan kerudung.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi).

Hadis ini tidak bisa dipahami sebagai dalil wajibnya menutup aurat saat sedang shalat saja. Ucapan Rasulullah dalam hadis ini terkait dengan hadis tentang tempat terbaik bagi perempuan untuk shalat adalah di rumahnya.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik tempat shalat bagi perempuan adalah di dalam rumahnya.” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Karena umumnya perempuan shalat di rumah dan di rumah perempuan tidak wajib mengenakan kerudung, maka hadis riwayat Abu Daud di atas menjelaskan wajibnya perempuan mengenakan kerudung ketika shalat.

Di luar shalat, bila perempuan berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahram, ia terikat dengan kewajiban menutup aurat sebagaimana dinyatakan dalam QS An-Nuur: 31 dan QS Al-Ahzab: 59. [MNews]

Catatan Kaki:

1.https://pembawaberita.com/2019/07/04/pendukung-jokowi-dikte-maruf-amin-sebarkan-islam-nusantara-hentikan-hijabisasi.html
2.https://www.change.org/p/joko-widodo-kemben-sebagai-busana-muslim-jawa
3.http://mysharing.co/hijrah-indonesia-gelar-kampanye-no-hijab-day/

4.https://gayatriwedotami.wordpress.com/2019/07/04/27-alasan-dejilbabasi/
5.https://today.line.me/id/pc/article/Siswi+Dipaksa+Pakai+Gamis+Aktivis+Surati+Nadiem+Hentikan+Kegilaan+Ini-Gm3RP7
6.https://id.wikipedia.org/wiki/Gayatri_Wedotami
7.https://harakatuna.com/memahami-ayat-ayat-al-quran-mengenai-jilbab-hijab-dan-aurat-secara-kaffah-1-2.html
8. ibid
9.https://www.facebook.com/daudiyahbektashiyah/posts/penjelasan-singkat-mengenai-daudiyahdaudiyah-indonesia-merupakan-nama-bagi1-tare/1827529160846612/

COMMENTS

BLOGGER: 1

Name

afkar,5,agama bahai,1,Agraria,2,ahok,2,Analysis,50,aqidah,9,artikel,13,bedah buku,1,bencana,23,berita,49,berita terkini,228,Breaking News,8,Buletin al-Islam,13,Buletin kaffah,54,catatan,5,cek fakta,2,Corona,122,curang,1,Dakwah,42,demokrasi,52,Editorial,4,Ekonomi,186,fikrah,6,Fiqih,16,fokus,3,Geopolitik,7,gerakan,5,Hukum,90,ibroh,17,Ideologi,68,Indonesia,1,info HTI,10,informasi,1,inspirasi,32,Internasional,3,islam,192,Kapitalisme,23,keamanan,8,keluarga,50,Keluarga Ideologis,2,kesehatan,83,ketahanan,2,khi,1,Khilafah,289,khutbah jum'at,3,Kitab,3,klarifikasi,4,Komentar,76,komunisme,2,konspirasi,1,kontra opini,28,korupsi,40,Kriminal,1,Legal Opini,17,liberal,2,lockdown,24,luar negeri,47,mahasiswa,3,Medsos,5,migas,1,militer,1,Motivasi,3,muhasabah,17,Musibah,4,Muslimah,87,Nafsiyah,9,Nasihat,9,Nasional,2,Nasjo,12,ngaji,1,Opini,3555,opini islam,87,Opini Netizen,1,Opini Tokoh,102,ormas,4,Otomotif,1,Pandemi,4,parenting,4,Pemberdayaan,1,pemikiran,19,Pendidikan,112,Peradaban,1,Peristiwa,12,pertahanan,1,pertanian,2,politik,320,Politik Islam,14,Politik khilafah,1,propaganda,5,Ramadhan,5,Redaksi,3,remaja,7,Renungan,5,Review Buku,5,rohingya,1,Sains,3,santai sejenak,2,sejarah,70,Sekularisme,5,Sepiritual,1,skandal,3,Sorotan,1,sosial,66,Sosok,1,Surat Pembaca,1,syarah hadits,8,Syarah Kitab,1,Syari'ah,45,Tadabbur al-Qur’an,1,tahun baru,2,Tarikh,2,Tekhnologi,2,Teladan,7,timur tengah,32,tokoh,49,Tren Opini Channel,3,tsaqofah,6,tulisan,5,ulama,5,Ultimatum,7,video,1,
ltr
item
Tren Opini: Meluruskan Metode Tafsir Jilbab ala Liberalis
Meluruskan Metode Tafsir Jilbab ala Liberalis
Gayatri Wedowati kembali melancarkan serangan terhadap syariat jilbab. Setahun yang lalu ia mengajukan surat terbuka kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai capres dan cawapres terpilih untuk menghentikan hijabisasi di Indonesia.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKk1JXowzpGVrNf-RmKlrrhJQYB8LIaOr544C8jO0zw7FWx8tnkjgXmEY9R2j29MBB50Lv5nv92RN6P26vAY_ZAwDxvjbJOGzDd3LMXGKrIKRSktbiyCpzJwrRSdF9_gxvIkNfbBokB3Y/s640/PicsArt_07-25-07.57.48.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKk1JXowzpGVrNf-RmKlrrhJQYB8LIaOr544C8jO0zw7FWx8tnkjgXmEY9R2j29MBB50Lv5nv92RN6P26vAY_ZAwDxvjbJOGzDd3LMXGKrIKRSktbiyCpzJwrRSdF9_gxvIkNfbBokB3Y/s72-c/PicsArt_07-25-07.57.48.jpg
Tren Opini
https://www.trenopini.com/2020/07/meluruskan-metode-tafsir-jilbab-ala.html
https://www.trenopini.com/
https://www.trenopini.com/
https://www.trenopini.com/2020/07/meluruskan-metode-tafsir-jilbab-ala.html
true
6964008929711366424
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share. STEP 2: Click the link you shared to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy