Bank Dunia menaikkan peringkat Indonesia dari negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan menengah atas. Status baru ini berlaku mulai 1 Juli 2020.
Oleh: Ragil Rahayu, S.E.
Sungguh aneh, Bank Dunia menaikkan peringkat Indonesia dari negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan menengah atas. Status baru ini berlaku mulai 1 Juli 2020.
Kita patut bertanya, ada apa di balik penetapan ini? Padahal fakta yang kita rasakan menunjukkan bahwa ekonomi makin sulit. Apalagi di masa pandemi ini, banyak keluarga yang jatuh miskin. Penetapan itu terasa absurd karena tak sesuai dengan realitas.
Sebagaimana diberitakan kompas.com (2/7/2020), kenaikan status tersebut diberikan setelah berdasarkan assessment Bank Dunia terkini Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia tahun 2019 naik menjadi 4.050 dollar AS dari posisi sebelumnya 3.840 dollar AS. Kenaikan status tersebut membawa Indonesia setara dengan beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, dan China. Meski, GNI Indonesia masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan ketiga negara tersebut.
Berdampak Buruk
Meski terkesan wah karena naik kelas, status baru Indonesia justru berdampak buruk. Menurut peneliti dari Indef, Bhima Yudhistira, kenaikan kelas ini berpotensi buruk bagi perekonomian negara. Indonesia akan dipandang sebagai negara yang mumpuni secara ekonomi, sehingga tidak layak menerima keringanan fasilitas perdagangan. Salah satunya adalah pembebasan tarif. Bhima juga menilai tak ada jaminan investor asing akan melirik Indonesia. Sebab, saat pandemi, investor justru akan melirik negara dengan kelas berpenghasilan menengah ke bawah atau rendah.
Kalangan buruh juga pesimis dengan kenaikan status ini. Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Dian Septi menilai kenaikan kelas Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas tak akan berpengaruh terhadap kualitas hidup buruh (bbc.com, 3/7/2020). Sementara terkait klaim penguasa bahwa status baru akan meningkatkan investasi, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan realisasi investasi tidak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja dari investasi mengalami penurunan.
Skenario Amerika
Kenaikan status Indonesia oleh World Bank tidak lepas dari pengaruh negara adidaya dunia yakni Amerika Serikat. Pada Februari 2020, Kantor perwakilan dagang Amerika Serikat di Badan Perdagangan Dunia (WTO) menyebut Indonesia berstatus negara maju, bukan lagi negara berkembang. Klaim ini tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Secara makro Indonesia memang masuk kelompok negara dengan perekonomian besar di dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berada di kisaran 5%. Namun faktanya, pembangunan di
Indonesia tidak merata. Kue ekonomi hanya dinikmati segelintir (1%) penduduk saja.
Dominasi AS dalam lembaga dunia bukanlah isapan jempol belaka. AS menjadi pengatur utama atas lembaga-lembaga internasional. World Bank secara struktural berada di bawah Persatuan Bangsa-bangsa (PBB). Namun secara operasional, AS adalah pengendalinya. AS merupakan pemegang saham terbesar dan suara mayoritas pada hak pemungutan suara Bank Dunia. Sebagaimana diberitakan tirto.id (9/1/2019), sejak 1946, sebanyak 12 presiden
Bank Dunia selalu dipilih oleh pemerintahan Negeri Paman Sam. Ini artinya kebijakan Bank Dunia disetir oleh AS.
Keputusan AS menaikkan status Indonesia bukan berbasis kondisi ekonomi yang ada. Tapi lebih condong pada upaya proteksionisme yang dibangun oleh Donald Trump. Salah satunya Trump ingin membalik posisi defisit perdagangan AS dengan sejumlah negara, termasuk Indonesia. Selama ini neraca perdagangan Indonesia selalu surplus terhadap AS. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia dengan AS mengalami surplus sebesar US$ 3,58 miliar selama Januari-April 2020.
Kebijakan proteksi perdagangan antar negara telah diserukan Trump sejak terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan nasional. Dengan membatasi pasar dalam negeri dari produk impor, Trump berharap ekonomi AS kembali bergeliat dan serapan tenaga kerja meningkat. Trump ingin industri dalam negeri AS mampu menguasai pasar domestik. Ini menunjukkan bahwa kebijakan Bank Dunia pada Indonesia adalah demi kepentingan ekonomi AS. Negara adidaya ini mulai ngos-ngosan menghadapi gempuran produk asing, utamanya dari China.
Sayangnya penguasa Indonesia tidak menyadari bahaya kenaikan status Indonesia. Mereka justru bangga dan mencanangkan tahun 2045 yakni saat HUT ke 100 Indonesia akan menjadi negara maju. Padahal status itu bersifat semu. Hanya stempel tanpa makna demi mengabdi pada kepentingan negara penjajah.
Kita tak seharusnya bangga dengan label yang diberi negara penjajah. Sementara realitasnya tak demikian. Kita baru boleh bangga jika kemiskinan benar-benar musnah dari bumi Indonesia. Kesejahteraan bisa terwujud merata. Ekonomi untuk semua, bukan hanya untuk korporasi. Kesejahteraan itu mustahil terwujud selama sistem ekonomi kita terjajah. Sistem kapitalisme telah menjadikan kita terjajah, sumber daya alam kita dirampok atas nama investasi.
Kita hanya bisa sejahtera dengan sistem Islam. Sistem ekonomi Islam adalah sistem yang bebas dari penjajahan asing. Kekayaan alam dikembalikan pada pemiliknya, yakni rakyat. Negara bekerja untuk menyejahterakan rakyat, bukan untuk korporasi.
Sistem Islam yakni khilafah adalah negara besar, bukan negara pengabdi asing. Khilafah akan menolak hegemoni AS dan semua lembaga bentukannya pada umat Islam. Khilafah akan menyejahterakan dan sekaligus memuliakan umat Islam. Hingga nantinya, Amerika pun akan tunduk di hadapan khilafah. Sebagaimana dulu Amerika Serikat menyampaikan Surat Ucapan Terima Kasih kepada Khilafah Utsmaniyah atas bantuan pangan yang dikirim khalifah kepada AS yang sedang dilanda kelaparan pasca perang dengan Inggris (abad 18). [MNews]
COMMENTS