#Investai #Islam #Tsaqafah #Ekonomi
Kegiatan investasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari setiap masyarakat dan negara, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun negara. Tanpa investasi, ekonomi mustahil berkembang.
Hanya saja, model investasi dalam suatu masyarakat atau negara akan mengikuti ideologi yang mereka anut. Masyarakat kapitalis misalnya, akan berinvestasi dengan prinsip kebebasan yang menjadi prinsip utama ideologi itu.
Kata investasi (istitsmar) memang tidak dikenal dalam terminologi ahli fikih klasik. Namun, mereka sebenarnya telah menggunakan istilah yang sama maknanya dengan kata tersebut yaitu: tanmiyah, namâ’, dan istinmâ’. Artinya upaya untuk mengembangkan harta dan memperbanyak jumlahnya.[1]
Sebagai contoh Imam Ibnu Qudamah berkata,
“Manusia membutuhkan kegiatan mudharabah karena dinar dan dirham tidak akan berkembang kecuali dengan transformasi [taqlib] dan perdagangan. Namun, tidak semua orang yang memiliki harta mampu berbisnis, dan tidak semua yang mampu berbisnis memiliki harta. Oleh karena itu, bisnis dibutuhkan bagi kedua belah pihak. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mensyariatkan bisnis untuk memenuhi kedua hajat pihak tersebut.”[2]
Prinsip Dasar
Dalam Islam, kegiatan investasi yang dilakukan seseorang wajib terikat pada syariat Islam. Berbeda dengan amal ibadah mahdhah yang mengharuskan niat yang benar dan pelaksanaan yang sesuai aturan Islam, kegiatan investasi masuk dalam kategori tasharrufat. Yang dinilai adalah kesesuaian perbuatannya dengan syariat Islam saja. Tidak memasukkan faktor niat di dalamnya.
Oleh karena itu, orang yang ingin terlibat dalam kegiatan investasi harus memahami hukum-hukum syariat dengan seksama. Dengan itu ia dapat terhindar dari kegiatan investasi yang haram.
Sebagaimana yang ditulis oleh al-Kattani, beberapa khalifah dan ulama salaf telah mengingatkan agar pelaku bisnis memahami ilmu agama sebelum terjun ke dalam bisnisnya.
Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah berkeliling ke pasar dan memukul sebagian pedagang yang tak memahami syariat dan berkata, “Janganlah berjualan di pasar kami, kecuali orang yang telah memahami agama. Jika tidak, maka ia akan memakan riba, sadar atau tidak.” [3]
Adapun dari sisi permodalan, ia harus merupakan harta yang diperoleh secara halal, baik dari harta milik pribadi ataupun dari sumber lain yang halal.
Harta pribadi berasal bisa dari beberapa sumber yaitu: hasil bekerja (menghidupkan tanah mati, menambang, berburu, makelar, mudharabah, musaqat, dan melakukan ijarah); hasil warisan; harta dari kerabat, orang lain, dan negara untuk melangsungkan kehidupan; pemberian negara semisal subsidi; serta harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta dan tenaga.
Sumber terakhir berasal dari pemberian akibat adanya hubungan personal seperti hadiah, hibah, dan wasiat; kompensasi atas pelanggaran pihak lain atas seseorang seperti diyiat pembunuhan dan luka fisik; mahar, barang temuan, dan kompensasi dari negara.
Adapun bentuk investasinya, baik dalam sektor pertanian, perindustrian hingga perdagangan, juga harus sesuai dengan aturan Islam.
Dalam aspek industri, misalnya, beberapa hukum Islam yang bersinggungan dengan sektor itu harus dipatuhi seperti bentuk syirkah, ijarah, jual-beli, perdagangan internasional, dan istishnâ’.
Sebaliknya, beberapa model transaksi haram diterapkan dalam kegiatan investasi seperti riba, judi, pemberian harga yang tidak wajar, penipuan, penimbunan, dan keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga pasar. Termasuk dalam hal ini adalah model kerja sama yang mengadopsi model kapitalisme seperti saham, asuransi, dan koperasi.
Investasi Milik Umum
Salah satu konsep investasi dalam ekonomi kapitalisme yang sangat kontradiktif dengan Islam adalah kaburnya batasan sektor-sektor yang boleh dan tidak boleh dimasuki oleh investor swasta.
Aturannya bisa berubah-ubah sesuai kebutuhan, baik dengan alasan nasionalisme yang membatasi investasi ataupun yang membukanya secara luas mengikuti prinsip pasar bebas.
Hal tersebut berbeda dengan Islam yang telah memberikan pengelompokan secara tegas termasuk siapa yang berhak mengelolanya.
Sebagai contoh, dalam pengelolaan barang milik umum, misalnya, para ulama telah menjabarkan masalah ini secara detail.
Imam Syafii, sebagaimana yang dikutip Imam al-Mawardi menyatakan, “Asal barang tambang ada dua. Apa yang zhâhir seperti garam yang dijumpai manusia di pegunungan, tidak boleh diberikan sedikitpun dan manusia berserikat atasnya. Demikian pula dengan sungai, air dan tanaman yang tidak dimiliki seseorang. Abyadh bin Hammal telah meminta kepada Nabi saw. agar diberi tambang garam Ma’rib. Lalu ia diberi. Namun, ketika dikatakan kepada beliau bahwa tambang itu seperti air yang mengalir, maka beliau menjawab, ‘Jika demikian, tidak boleh.’”
Imam Syafii melanjutkan, “Serupa dengan barang tersebut, yaitu barang yang zhâhir seperti minyak, asphalt, sulfur, batubara (bitumen) atau batu yang zhâhir yang tidak dimiliki seseorang. Barang-barang itu seperti air dan padang gembalaan; manusia memiliki hak yang sama atasnya.”[4]
Imam Ibnu Qudamah juga merinci masalah ini. Beliau berpendapat bahwa barang tambang yang zhâhir[5] seperti garam, air, sulfur, ter, batubara, minyak bumi, celak, dan yakut, dan semisalnya merupakan milik umum. Tidak boleh dimiliki secara privat dan dikuasakan kepada siapapun, meskipun tanahnya dihidupkan oleh orang tertentu.
Seseorang juga dilarang menguasainya dengan mengabaikan kaum muslim lainnya karena akan membahayakan dan menyusahkan mereka.
Selain itu, barang-barang itu terkait dengan kepentingan umum umat Islam sehingga tidak boleh dihidupkan oleh pihak tertentu (untuk dikuasai), ataupun pemerintah menguasakan barang itu kepada pihak tertentu.
Beliau mencontohkan, jika aliran air dan jalan-jalan umat Islam, yang merupakan ciptaan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang sangat melimpah dan dibutuhkan, dimiliki oleh pihak tertentu, maka ia akan berkuasa untuk melarang penggunaannya.
Beliau mengutip pernyataan Ibn ‘Aqil bahwa hal itu akan menyulitkan manusia. Jika ia mengambil kompensasi maka ia akan membuatnya mahal sehingga ia telah keluar dari ketetapan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى untuk memberikan keumuman kepada pihak-pihak yang membutuhkan tanpa adanya ketidaknyamanan.[6]
Imam al-Kasani juga menyatakan bahwa barang seperti garam, batubara (bitumen), minyak bumi, dan sejenisnya merupakan barang yang dibutuhkan oleh kaum muslim. Dengan demikian, Imam/Khalifah tidak boleh mengkhususkannya kepada pihak tertentu.
Ini karena barang tersebut merupakan hak seluruh kaum muslim sehingga mengkhususkan barang itu untuk orang tertentu akan membatalkan hak mereka.[7]
Penjelasan dan istidlal yang lebih spesifik mengenai harta milik umum dikemukakan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani.
Menurut beliau, barang-barang tambang yang masuk dalam kategori milik umum yaitu: barang tambang yang depositnya melimpah. Adapun barang tambang yang depositnya kecil dapat dikuasai oleh individu dan diberlakukan atasnya hukum rikaz dengan memberikan seperlimanya kepada baitulmal. Alasannya, hadis Abyadh bin Hammal di atas mengandung ‘illat, yaitu al-ma’ al-idd.[8]
Dalam kamus Tâj al-‘Arûs, al-mâ’u al-‘idd antara lain diartikan dengan “mengalir terus-menerus laksana air” dan “dalam jumlah yang banyak”.[9]
Dengan demikian barang tambang yang memiliki sifat tersebut digolongkan sebagai barang milik umum yang tidak boleh dikuasai swasta.
Harta kedua, menurut beliau, yang masuk kategori milik umum adalah fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat secara luas.
Kategori berikutnya adalah objek yang secara alamiah mencegah pihak swasta untuk dapat menguasainya seperti sungai, selat, laut, dan sebagainya.[10]
Syahatah memberikan beberapa contoh fasilitas milik umum: sarana untuk ibadah, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial; jalan-jalan, jembatan, pelabuhan dan fasilitas umum lainnya; proyek dasar masyarakat seperti listrik, air, komunikasi, transportasi, pengolahan limbah; tanah-tanah yang diperuntukkan untuk manfaat umum; barang-barang tambang dari tanah umum; laut, sungai, kanal dan tempat penyaringan air.[11]
Dampak Investasi Asing
Harta milik umum sepenuhnya diatur oleh negara. Tidak boleh diserahkan kepada swasta baik dalam bentuk konsesi ataupun privatisasi. Salah satu dampak positif dari larangan swasta untuk berinvestasi pada barang milik umum adalah agar sumber pendapatan umum dan yang penting bagi kehidupan umat manusia tidak dikuasai oleh kehendak individu sehingga ia dapat berbuat sewenang-wenang dengan harta itu.[12]
Selain bertentangan dengan hukum Islam, jatuhnya pengelolaan harta milik umum ke tangan swasta terutama asing, memiliki berbagai dampak negatif. Di antaranya, seperti yang ditulis oleh ‘Alan, adalah terjadinya kecenderungan konsentrasi kepemilikan barang-barang milik umum kepada korporasi yang memiliki modal besar, manajemen, sumber daya manusia dan teknologi yang lebih unggul; kecenderungan investasi asing yang berorientasi bisnis melakukan efisiensi dengan cara pengurangan tenaga kerja dan pemangkasan gaji yang mengarah ke peningkatan pengangguran; semakin rendahnya partisipasi negara dalam memenuhi kebutuhan publik akan mengurangi sumber pendapatan negara sehingga berdampak antara lain keterbatasan anggaran negara dalam memenuhi sebagian kebutuhan dasar publik.[13]
Selain itu, turunnya sumber pendapatan pemerintah akan mendorong pemerintah untuk mencari sumber pembiayaan lain terutama utang, peningkatan pajak, dan peningkatan biaya produk ataupun output barang milik umum yang dimiliki oleh swasta; tereliminasinya sebagian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti listrik, air, dan gas, karena harganya yang semakin sulit dijangkau; mempermudah masuknya pemikiran dan budaya asing kepada masyarakat seperti yang terjadi pada dominasi pada sektor komunikasi dan media; dengan besarnya peran korporasi di negara-negara asing, membuka peluang penjajahan ekonomi dan sebagainya atas negeri kaum muslim.[14]
Peran Negara
Oleh karena itu, pemerintah menurut Islam bertanggung jawab agar investasi dapat berjalan sesuai koridor Islam. Selain menerapkan aturan Islam secara total, termasuk dalam hal investasi, ia juga harus mengawasi pelaksanaannya. Nabi ﷺ dan para khalifah setelah beliau telah mencontohkan bagaimana mereka, misalnya, mengawasi kegiatan perdagangan di pasar.
Pemerintah juga harus mengelola harta milik umum dan milik negara secara optimal dan penuh amanat, sehingga ia dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi rakyat. Sikap tersebut tercermin dalam pernyataan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.: “Sungguh saya tidak menemukan kebaikan pada harta Allah ini kecuali dengan tiga hal: diambil dengan cara yang benar; diberikan dengan cara yang benar; dan dicegah dari berbagai kebatilan. Ketahuilah, posisi saya atas harta kalian seperti seorang wali atas harta yatim. Jika merasa cukup, saya tidak mengambilnya, namun jika saya membutuhkannya, maka saya akan memakannya dengan cara yang makruf.”15
Faktanya, dalam sistem kapitalisme, penerapan hukum-hukum Islam mengenai investasi, baik oleh individu, korporasi, ataupun negara, sulit untuk diterapkan secara sempurna.
Secara individual, masyarakat banyak yang tidak memahami hukum-hukum syariat dalam investasi dengan benar bahkan buta sama sekali.
Sementara itu, pemerintah yang pada dasarnya memang menganut ideologi kapitalisme telah memberikan kebebasan berinvestasi kepada berbagai pihak tanpa memperdulikan sama sekali sesuai tidaknya dengan hukum Islam.
Akibatnya, pelanggaran syariat Islam merajalela dan melembaga. Sebagai contoh, maraknya transaksi batil seperti riba dan transaksi batil lainnya sebagaimana yang terdapat pada perseroan terbatas, asuransi, dan koperasi.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang mengizinkan swasta terutama investor asing untuk berinvestasi secara bebas, termasuk pada barang umum yang seharusnya menjadi hak publik, selain haram menurut Islam, juga telah menimbulkan madarat bagi negara dan masyarakat secara luas.
Alhasil, mewujudkan investasi yang islami secara paripurna hanya dapat terlaksana jika negara ini mengadopsi risalah Islam secara menyeluruh di bawah institusi Khilafah Islam. (alwaie)
Catatan kaki:
1 Abdul Hafidh, Dhawâbith al-Istithmâr fi al-Iqtishâd al-Islâmy, (Tesis Master, Universitas Hadje Lakhder-Bathnah, 2008)
2 Ibnu Qudâmah, al-Mughny, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1983), V/153
3 Muhammad Abdul Hayyi Al-Kattany, al-Nidhâm al-Hukûmah al-Nabawiyyah (al-Tarâtib al-Idâriyyah), (Beirut: Dar al-Arqam, tt), II/17
4 Al-Mawardy, al-Hâwy al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah), VII/491
5 Barang tambang dhahir adalah barang tambang yang hasilnya dapat dimanfaatkan secara langsung tanpa melalui perlakuan (treatment) meskipun proses penambangannya membutuhkan perlakuan seperti minyak dan sulfur. Sebaliknya barang tambang bathin adalah barang tambang yang hasil produksinya harus melalui treatment seperti emas, perak, besi, dan tembaga, lihat: Wizarâh al-Auqâf wa al-Shu’un al-Islâmy, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, (Kuwait: Dar al-Shafwah, 1994), XXXVIII/194
6 Imam Ibnu Qudâmah, al-Mughny, (Lebanon: Bait al-Afkar al-Dauliyyah, 2004), 1301
7 ‘Alauddin al-Kasâny, Badâi’u al-Shanâ’iy, cet. kedua (Beirut, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), VIII/302
8 Taqiyuddin al-Nabhany, al-Nidhâm al-Iqtishâdy fi al-Islâm, cet. keenam (Beirut: Dar al-Ummah, 2004), 216
9 Muhammad Murtadha Husaini Al-Zabidy, Tâj al-Arûs, cet. kedua, (Kuwait: Mathba’ah al-Hukûmah, 1994), VIII/534
10 Ibid, 215
11 Prof. Dr. Husain Husain Syahatah, Hurmât al-Mâl al-‘آm fi Dhaui al-Syarî’ah al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Nasyr li al-Jâmi’ât), 27
12 Rafiq al-Mashry, Buhûts fi al-Iqtishâd al-Islâmy, (Beirut: Dâr al-Maktaby, 2009), 384
13 Muhammad ‘Ilan, al-Khashkhasah, Majallah al-Waie No, 131, April 1998
14 Ibid.
15 Syahatah, 54
COMMENTS