Analisa polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Oleh: Mas Emje | Jurnalis
Rasanya gatel juga untuk tidak menulis tanggapan atas polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Meski pemerintah sudah meminta DPR menunda pembahasannya, bukan berarti RUU tak akan dibahas lagi. Hanya ditunda. Khas Indonesia, kalau ditunda, biasanya nanti pasti jadi UU. Seolah yang menyusun bilang: bagaimana caranya, yang penting disahkan.
Beribu alasan telah diungkapkan oleh para penggagas dan pembelanya. Bla-bla-bla. Namun ada satu hal yang mereka selalu sembunyikan di balik kata-kata dan argumen mereka yang indah-indah dan berbusa-busa. Apa itu? Jangan sampai Islam tampil ke depan sebagai ideologi bangsa. Diikuti oleh anak bangsa. Islam dianggap membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tapi untuk menyebut Islam, mereka tentu tak berani. Ini bisa jadi malapetaka. Maka, muncullah istilah baru: khilafahisme, dari seorang Hasto Christianto--Sekjen PDIP dan kader Kasebul.
Coba buka website BPIP (bpip.go.id) dan cari https://bpip.go.id/bpip/publikasi/1059/587/pointer-garis-besar-haluan-ideologi-pancasila-gbhip.html# Anda akan menemukan alasan mengapa RUU HIP ini diajukan. Ada empat alasan yang melatarbelakanginya. Tiga di antaranya sangat normatif. Alasan yang keempat yakni alasan sosiologis, kita bisa meraba ke mana arah RUU tersebut.
Dari alasan sosiologis, tergambar jelas bahwa
telah terjadi apa yang mereka disebut sebagai lack of ideology sejak masa globalisasi (1989-1990) dan era reformasi (1998) pada generasi muda/millenial. Kalngan muda sudah tak lagi mengenal Pancasila, apalagi melaksanakannya. Ini ditandai dengan sikap hidup individualistis. Muncul fundamentalisme pasar, radikalisme, dominasi sistem hukum modern, dan kosmopolitanisme.
Kita tahu, radikalisme adalah istilah yang tidak kosong. Mengandung makna/konotasi tertentu/khas yakni: Islam. Itu bisa ditelusuri dari fakta global maupun lokal. Tak bisa ditutupi.
Nah, lack of ideology ini justru diisi oleh Islam. Kaum muda yang sebelumnya gandrung dengan kehidupan ala Barat (kapitalisme-liberal), beralih atau hijrah ke dalam Islam. Padahal di era pasca reformasi stigmatisasi negatif begitu gencar diarahkan kepada Islam. Terlebih lagi gerakan ini didukung oleh para publik figur.
Ini menjadi kekhawatiran yang besar kalangan nasionalis--yang mungkin mengenal Islam setengah-setengah. Sebagian mereka masih menganggap ini sebagai kebangkitan ekstrim kanan--meminjam istilah Orde Baru. Itu tidak boleh dibiarkan.
Dari situ kita bisa memahami siapa saja yang mendukung RUU ini.
Tentu, mereka mencari jalan bagaimana proses islamisasi ini bisa dibendung. Membendung dengan kapitalisme liberal tentu tidak mungkin. Bukankah ini semua terjadi karena adanya alam kebebasan? Tak dipungkiri, liberalisme (anak kandung kapitalisme) sudah mengakar dan mengurat, sehingga semuanya berjalan ala kapitalisme. Yang merusak negara, ya kapitalisme itu sendiri.
Maka, jalan yang memungkinkan adalah membenturkan Islam dengan komunisme--Orba menyebut ekstrim kiri. Dalam permainan intelijen: ekstrim kanan harus dibenturkan dengan ekstrim kiri. Jangan heran bila bau komunisme begitu terasa dalam RUU HIP ini. Dan perbenturan ini, tetap akan dimenangi oleh yang dalangnya yakni penguasa dengan ideologi yang dianutnya.
Di sisi lain, oleh kalangan kiri, ini seolah menjadi angin segar bagi eksistensi mereka untuk tampil kembali ke permukaan, mengusung ideologi komunisme yang dulu telah menghancurkan negeri Muslim terbesar ini.
Dari sini, kita bisa mengerti arah RUU HIP ini ke mana. Bukan soal khilafah yang jadi masalah, tapi soal Islam ideologi. Apakah analisa ini benar? Kita tunggu nanti endingnya. [] ian/18062000
COMMENTS