Anggaran Covid-19
Ketidaksigapan menghadapi pandemi Covid-19, terutama dalam aspek pembiayaan, mendorong Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Dengan Perppu tersebut, Pemerintah berharap mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun yang belum ada dalam APBN 2020.
Menurut Kementerian Keuangan, jumlah tersebut merupakan simulasi anggaran yang dibutuhkan untuk penanganan pandemi Covid-19 yaitu:
Pertama, Anggaran untuk bidang kesehatan sebesar Rp 75 triliun. Antara lain untuk belanja penanganan kesehatan seperti: a) Alat Kesehatan Alat Pelindung Diri (APD), Rapid test, Reagen; b) Sarana Prasarana Kesehatan; c) Dukungan SDM, dan untuk Insentif Tenaga Medis.
Kedua, Anggaran untuk perlindungan sosial, antara lain: Program Keluarga Harapan (PKH) kepada 10 juta keluarga, Kartu Sembako untuk 20 juta keluarga, Kartu Prakerja sebesar Rp 20 triliun, pembebasan biaya listrik 3 bulan untuk 24 juta pelanggan listrik 450VA, dan diskon 50% untuk 7 juta pelanggan 900VA; insentif perumahan bagi pembangunan perumahan MBR; dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok sebesar Rp25 triliun;
Ketiga, Anggaran untuk mendukung dunia usaha sebesar Rp 70,1 triliun antara lain pajak sebesar Rp 52 triliun, pembebasan Bea Masuk sebesar Rp 12 triliun dan Kredit Usaha Rakyat sebesar Rp 6,1 triliun.
Perppu tersebut juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk meningkatkan defisit lebih dari 3% (tiga persen) dari PDB hingga tahun 2022. Dengan kata lain, Pemerintah meningkatkan belanja yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara.
Dengan defisit yang semakin besar tersebut, utang Pemerintah akan semakin besar. Memang Pemerintah dapat menggunakan sumber lain seperti Sisa Anggaran Lebih (SAL) dan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan. Namun, jumlahnya relatif kecil.
Untuk mempermudah Pemerintah meningkatkan jumlah utang, Perppu juga membolehkan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang dapat dibeli oleh Bank Indonesia. Tentu selain para investor swasta yang lazim membeli surat utang Pemerintah.
Dengan demikian, kebijakan selama ini, bahwa BI dilarang membeli langsung surat utang Pemerintah, tidak lagi berlaku. Dengan kata lain, BI dapat mencetak uang secara langsung untuk membiayai defisit Pemerintah. Ini mirip dengan kasus di AS, Eropa dan negara-negara lain. Artinya, bank sentral dapat membeli surat utang Pemerintah secara langsung, atau yang lazim disebut dengan quantitative easing.
Perppu ini juga memberikan relaksasi pajak. Pajak penghasilan perusahaan diturunkan dari 25% menjadi 22% untuk tahun 2020-2021 dan 20% mulai tahun 2022. Uniknya lagi, dalam Perppu tersebut, Pemerintah mendapatkan kekebalan hukum dalam kegiatan pembiayaan dan pembelanjaan APBN untuk menangani Covid-19. Dengan demikian, klausul ini berpotensi ditunggangi oleh pejabat-pejabat yang berniat buruk untuk mengambil keuntungan saat pandemi.
Beberapa hari setelah Perppu tersebut terbit, Kementerian Keuangan tancap gas untuk mencari utang baru. Salah satunya adalah menerbitkan global bond, obligasi dengan mata uang asing, sebesar USD 4,3 miliar. Jumlah itu setara dengan Rp 68,8 triliun (kurs Rp 16.000). Penerbitan obligasi untuk mengatasi pandemi Covid-19 ditargetkan mencapai Rp 449,9 triliun. Selain itu, penerbitan obligasi tersebut juga bertujuan untuk menambah cadangan devisa Bank Indonesia yang tergerus hebat karena harus mengintervensi pasar mata uang. Nilai tukar Rupiah sempat mendekati Rp 17 ribu perdolar AS.
Penerbitan obligasi di tengah tingginya turbulensi ekonomi membuat suku bunga yang ditawarkan Pemerintah menjadi relatif mahal. Tingkat bunga atau yield surat utang Pemerintah dari obligasi di atas tersebut bervariasi dari 3,90% hingga 4,50%. Selain itu, di antara surat utang tersebut ada yang jatuh tempo hingga 50 tahun alias baru lunas tahun 2070. Padahal, semakin panjang jangka waktunya, maka bunga surat utang semakin mahal. Bahkan jika dihitung, akumulasi bunganya akan lebih besar dibandingkan pokok utang itu sendiri. Obligasi yang bertenor 50 tahun, misalnya, nilainya US$ 1 miliar dan bunganya 4,5%. Selama 50 tahun, nilai bunganya akan mencapai 255% atau dua setengah kali lipat dari pokok utang.
Langkah Pemerintah mengobral utang untuk mendapatkan dana membiayai pandemi Covid-19, dalam kacamata efisiensi, banyak celahnya. Sebab, masih ada alternatif pembiayaan bencana Covid-19 selain menerbitkan utang. Pemerintah, misalnya, dapat meningkatkan penghematan anggaran dari pos-pos yang tidak terlalu urgen. Pemerintah sendiri mengatakan dapat menghemat Rp 190 triliun dari total kebutuhan dana yang mencapai Rp 405,1 triliun. Jika Pemerintah serius, masih banyak pos anggaran yang sebenarnya tidak terlalu urgen yang dapat dihemat.
Selain itu, Pemerintah dapat menunda atau bahkan membatalkan belanja modal yang tidak mendesak dilakukan. Pada APBN 2020, total belanja modal mencapai Rp 187 triliun. Peruntukan belanja modal tersebut antara lain untuk proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan, bandara, pelabuhan, dan kereta api. Anggaran tersebut juga mencakup anggaran pemindahan ibukota. Secara kumulatif, menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, anggaran pemindahan ibukota sekitar Rp 466 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 19,2 persen atau sekitar Rp 89,2 triliun bersumber dari APBN. Sisanya dari swasta dan kerja sama Pemerintah dan badan usaha (KPBU). Dalam situasi seperti saat ini, rencana pemindahan ibukota bukanlah hal yang bersifat penting dan mendesak.
Peningkatan pembiayaan lewat utang juga akan berdampak buruk pada beban keuangan negara. Pasalnya, anggaran APBN untuk membayar bunga akan semakin besar. Pada APBN 2020, biaya untuk membayar bunga utang mencapai Rp 295 triliun. Tentu yang akan membayar utang-utang tersebut adalah rakyat yang dipungut Pemerintah lewat pajak dan non-pajak. Dampak negatif lainnya adalah pembayaran cicilan bunga utang tersebut akan menambah defisit transaksi berjalan sebab Pemerintah harus rutin membayar bunganya dalam bentuk dollar AS. Dengan demikian, nilai tukar rupiah akan semakin tertekan.
Sistem penyusunan anggaran juga membuat Pemerintah kesulitan untuk melakukan realokasi budget secara cepat dalam jumlah besar. Hal ini karena Pemerintah terikat pada UU yang telah mengatur peruntukan masing-masing pos. Akibatnya, ketika terjadi lonjakan anggaran untuk bencana, maka yang dilakukan adalah menambah defisit, bukan dengan merelokasikan dana yang ada untuk kebutuhan dana yang di luar perencanaan tersebut. Salah satu contohnya, penetapan anggaran pendidikan sebesar 20% dari pengeluaran. Pada saat Pemerintah menaikkan anggaran untuk mengatasi pandemi, anggaran pendidikan, yang tercermin pada kementerian pendidikan, ikut melambung dari Rp 36 triliun menjadi Rp 71 triliun. Padahal, pos anggaran kementerian lain, kecuali Kementerian Kesehatan, telah dipotong.
Persoalan lainnya adalah Undang-undang APBN yang selama ini harus dibahas dan disetujui oleh Parlemen telah dikunci. Bukan rahasia lagi, banyak alokasi anggaran telah dialokasikan untuk kepentingan pihak tertentu. Dalam hal ini, proyek-proyek dari anggaran telah diijon atau dijual oleh legislator kepada para pengusaha atau vendor bahkan sebelum anggaran itu disetujui atau disahkan. Akibatnya, Pemerintah tidak dapat mengoptimalkan penggunaan anggaran untuk kemaslahatan rakyat. Karena itu, tidak heran jika banyak fasilitas umum, seperti jalan, jembatan dan sekolah yang rusak parah tidak dapat segera diperbaiki oleh Pemerintah lantaran ia tidak dianggarkan oleh Pemerintah.
Pembiayaan dalam Islam
Dalam perspektif Islam, pos pendapatan dan pengeluaran anggaran telah ditetapkan oleh syariah. Besar nilainya diserahkan kepada ijtihad Khalifah. Ia dapat menetapkan besaran nilai untuk masing-masing pos penerimaan dan pengeluaran dalam setiap tahunnya.
Sebagaimana halnya, APBN dalam sistem Kapitalisme, defisit anggaran juga berpotensi terjadi pada APBN Negara Islam. Meskipun dalam konteks Indonesia, jika menggunakan syariah Islam maka potensi pendapatan negara akan sangat besar, terutama dari pos harta milik umum, seperti sumberdaya alam yang dikelola oleh negara.
Ketika negara mengalami defisit, maka terdapat tiga sumber pembiayaan yang dibenarkan, yaitu: mengambil dana dari harta milik umum yang diproteksi untuk negara, mengenakan pajak atas kaum Muslim, dan mencari pinjaman.
Sumber pembiayaan lainnya adalah melalui pajak yang ditarik dari penduduk Muslim yang kaya. Penggunaan pajak tersebut dilakukan untuk membiayai jihad, membayar gaji pegawai, menyantuni fakir miskin, membangun infrastruktur vita dan menangani bencana. Meskipun demikian, pajak baru boleh diberlakukan jika kas negara tidak cukup untuk membiayai dan bantuan sukarela (tabarru’at) yang diberikan kaum Muslim tidak memadai.1
Adapun pembiayaan melalui pinjaman harus bebas dari bunga dan syarat yang merugikan negara. Keduanya haram menurut ajaran Islam. Oleh karena itu, pinjaman luar negeri dari negara dan lembaga-lembaga asing, seperti yang lazim di Indonesia, diharamkan. Sebab, mereka mengenakan bunga pada setiap pinjaman tersebut. Mereka juga mengenakan berbagai syarat yang kenyataannya telah menjadi tunggangan untuk memasukkan kepentingan-kepentingan mereka. Akhirnya, negara dipaksa tunduk pada kemauan mereka. Hal ini juga dilarang di dalam Islam, sebab orang-orang kafir tidak boleh menguasai kaum Muslim.
Adapun dalam penanganan bencana, negara sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurus rakyat harus mengerahkan segala potensinya untuk mengurus rakyat yang terkena bencana. Oleh karena itu, di dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Khilafah, terdapat pos pengeluaran yang dikhususkan untuk penanganan bencana. Pos bencana ini mencakup pembiayaan segala bencana yang menimpa rakyat seperti gempa, topan, kelaparan, dan semisalnya. Sumber dananya berasal dari Pos Fai dan Kharaj dan Pos Harta Milik Umum. Jika anggaran tersebut tidak mencukupi alias negara mengalami defisit, kekurangannya diambil dari kaum Muslim, yang melalui pungutan pajak.2
Penarikan pajak untuk membiayai bencana seperti kelaparan, gempa bumi, banjir dan penganan wabah merupakan hal legal dalam pandangan Islam. Sebabnya, syariah telah memerintahkan kaum Muslim untuk memberi makan orang yang kelaparan, menolong orang yang kesulitan dan menyelamatkan orang dari bahaya.
Pada faktanya, penanganan bencana tersebut membutuhkan penanganan yang cepat sehingga harus negara dituntut untuk mengumpulkan dana dari kaum muslim dengan segera. Namun, jika dikhawatirkan terjadi dampak buruk, misal karena penanganan bencana tersebut terlambat karena harus menunggu penarikan pajak tadi, maka terlebih dulu negara dapat mencari pinjaman. Setelah itu, utang tersebut dilunasi dari pajak yang dipungut dari kaum Muslim tadi.3
Hal tersebut sejalan dengan perintah Nabi saw untuk meniadakan madarat. Nabi saw bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan menyebabkan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah).
Menunda penanganan hingga dana terkumpul jelas akan mengakibatkan madarat. Karena itu dalam kondisi tersebut negara harus berutang untuk menghilangkan bahaya tersebut.4
Meskipun demikian, pinjaman tersebut tetap harus sesuai koridor syariah sebagaimana yang disebutkan di atas. Salah satu alternatif yang untuk mendapatkan utang tersebut adalah menerbitkan surat utang tanpa bunga kepada kaum Muslim.
Terakhir, dalam pengelolaan anggaran tersebut, Khalifah dan para pejabat negara tetap wajib terikat pada syariah Islam, seperti tidak boleh menggelapkan anggaran, menerima suap atau hadiah dari pihak lain. Tidak ada diskresi hukum untuk pejabat yang melanggar aturan, meskipun dengan alasan untuk memangkas birokrasi di saat bencana.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Muis/alwaie]
Catatan kaki:
1 Abdul Qadim Zallum, al-‘Amwal Fi Daulah al-Khilafah, cet.ke-4 (Beirut: Dar al-Ummah, 2004), 122.
2 Ibid, 25.
3 Ibid, 129.
4 Muqaddimah al-Dustur aw al al-Asbab al-Maujibat Lahu, cet. ke-2 (Beirut: Dar a-Ummah, 2010), 2: 127.
COMMENTS