Ahmad Khozinudin, SH | Aktivis & Advokat Pejuang Khilafah
Oleh : Ahmad Khozinudin, SH | Aktivis & Advokat Pejuang Khilafah
Kasus dugaan pembakaran bendera PDIP bergulir, dalam konstelasi politik, manuver politik dengan membawa kasus pembakaran ini ke proses hukum memiliki tujuan untuk membalikan arah opini. Isu dan arus utama aspirasi tuntutan umat adalah pencabutan RUU HIP, tangkap dalang dan Konseptor RUU HIP, dan bubarkan Partai Politik yang terlibat menginisiasi munculnya RUU HIP.
Melalui langkah hukum yang ditempuh, PDIP berharap narasinya berubah menjadi tuntutan hukum pada pelaku pembakar bendera. Termasuk, mengusut dalang dan aktor dibalik pembakaran bendera.
Dari sembilan fraksi partai politik di DPR, saat ini hanya PDIP yang masih menghendaki agar pembahasan RUU HIP dapat dilanjutkan. Karena itu, tidak keliru jika publik berpraduga PDIP berada dibalik munculnya RUU HIP. Terlebih lagi, pasal kontroversi tentang pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, ternyata sejalan dengan Mukadimah dan Visi Misi PDIP dalam AD ART PDIP periode 2019-2024.
Belum lagi, video pidato ketua umum DPP Megawati Soekarno Putri dalam Forum Hari Ulang Tahun PDIP, sangat jelas menyampaikan konsepsi pikiran PDIP tentang pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Sejalan dengan sang Ketum, Eva Kusuma Sundari, Budiman Sudjatmiko dan Adian Napitupulu, ketiga kader PDIP ini juga pernah mengunggah konsepsi pemeran Pancasila di akun Twitter mereka.
Praduga kuatnya hubungan RUU HIP, kebangkitan Komunisme PKI dan PDIP, juga dapat dibaca melalui pernyataan terbuka Ribka Tjiptaning, kader dan pimpinan teras PDIP yang menyebut bangga menjadi anak PKI. Bahkan, jutaan anak cucu PKI menurut Ribka, semuanya ada di PDIP.
Selain Ribka Tjiptaning, ada juga Rieke Diah Pitaloka (Oneng), yang berkedudukan sebagai Ketua Panitia Kerja RUU HIP, yang juga diduga memiliki kedekatan dengan PKI sebagaimana Ribka Tjiptaning.
Aksi Umat Islam pada Rabu (24/6) dalam tuntutannya tak ada satupun yang meminta PDIP dibubarkan atau petinggi PDIP dipenjara. Aksi ini adalah lanjutan dari deklarasi Aliansi Nasional Anti Komunis (Anak NKRI) yang pada Senin (23/6) membacakan 8 (delapan) poin pernyataan.
Dari delapan poin pernyataan, tidak ada satupun yang menyebut tuntutan pembubaran PDIP. Saat aksi didepan DPR RI, elemen umat Islam juga tak ada yang menuntut PDIP dibubarkan.
Hanya saja, aliansi dan segenap elemen umat Islam menuntut agar dalang dibalik RUU HIP diproses hukum, dan wajar saja jika ada partai politik yang terlibat wajib dibubarkan. Seruan agar proses hukum pada dalang dan aktor dibalik RUU HIP inilah, yang diduga kuat membuat PDIP meradang.
Di media sosial khususnya Twitter, tranding Topic tagar #TangkapMegaBubarkanPDIP. Atas ramainya tagar ini, DPC PDIP Kota Yogyakarta melaporkan tujuh buah akun media sosial ke Polda DIY, pada Rabu (24/6).
Ketua DPC PDIP Kota Yogyakarta, Eko Suwanto menyebut pelaporan tujuh akun itu berkaitan dengan unggahan tagar #TangkapMegaBubarkanPDIP.
Sejalan dengan manuver PDIP Jogja, berikutnya pasca aksi tolak RUU HIP di DPR, PDIP melaporkan aksi dugaan pembakaran bendera PDIP dalam aksi tersebut.
Terkait manuver politik PDIP yang menggunakan sarana hukum ini, dapat terbaca arah orientasi politik yang hendak dituju. Yakni, mengubah posisi PDIP yang sebelumnya menjadi pihak tertuduh dalam diskursus RUU HIP, menjadi pihak terzalimi akibat kasus dugaan pembakaran bendera PDIP.
Selanjutnya, PDIP mengajukan tuntutan balik untuk menyeimbangkan posisi politik. Yakni, meminta aparat penegak hukum untuk menangkap aktor dan dalang dibalik pembakaran bendera PDIP.
Langkah yang ditempuh PDIP ini hanya sekedar membuat posisi tawar (burgaining position), sebagaimana PDIP melalui Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang meminta ajaran khilafah dijadikan paham yang terlarang sebagai kompensasi dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.
Langkah keliru manuver politik PDIP yang memproses hukum dugaan pembakaran bendera PDIP, justru sangat menguntungkan Umat Islam disebabkan :
Pertama, langkah PDIP ini justru membuka front pertarungan secara terbuka. Padahal, selain berhadapan dengan isu RUU HIP, PDIP juga menanggung persoalan kompleks.
Hubungan PDIP dengan Presiden yang panas dingin, koalisi PDIP yang tak solid, problem internal partai, akan menguras energi PDIP. Padahal, PDIP sedang berhadapan dengan kekuatan Ormas dan elemen umat Islam, yang memiliki energi tak terbatas dan tak bisa ditundukkan oleh jabatan atau komitmen kekuasaan.
Kedua, perseteruan ini akan melahirkan perlawanan baik secara hukum maupun politik. Secara hukum, elemen umat Islam bisa saja menempuh laporan balik terhadap PDIP, yang terindikasi dan diduga kuat menjadi dalang dibalik RUU HIP.
Secara politik, perlawanan elemen umat Islam bisa diwujudkan melalui proses elektoral, baik di pilkada tahun 2020, hingga ujungnya di Pemilu dan Pilpres 2024. Kita bisa saksikan, betapa suara Umat Islam sangat menentukan.
Ganjar Pranowo, meskipun di kandang PDIP dipastikan tidak akan mampu memenangkan Pilkada Jateng, jika tidak mengusung sosok Calon Wakil Gubernur dari unsur Islam, yang mampu mendongkrak elektabilitas dari pemilih berbasis Islam.
Jokowi juga tak akan menang Pilpres, jika hanya mengandalkan basis pemilih nasionalis milik PDIP. Posisi Ma'ruf Amien, sangat menentukan kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019, melalui perannya untuk menggaet suara pemilih Islam.
Perseteruan ini, akan melahirkan perlawanan politik terhadap PDIP dimana elemen Islam pasti akan menggaungkan narasi agar Umat tak memilih PDIP. Hal ini adalah konsekuensi wajar dari sikap yang diambil PDIP, yang mempersoalkan pembakaran bendera PDIP.
PDIP tak akan mendapatkan kemenangan, jika hanya mampu memenjarakan 1 atau lima orang yang diduga terlibat pembakaran bendera PDIP. Justru, PDIP akan kalah telak secara politik, jika narasi perlawanan elemen umat Islam mampu menjadikan PDIP sebagai Common Enemy politik.
Disisi lain, partai koalisi semisal Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP akan mengambil sikap diam, menghindari pertarungan PDIP vs elemen umat Islam, sambil ngalap berkah dengan memungut suara mengambang yang lari dari PDIP akibat Perlawanan politik Umat Islam.
Sikap partai koalisi ini dipastikan demikian, sebagaimana saat ini partai politik koalisi PDIP perlahan mundur dan keluar dari kemelut RUU HIP, dan meninggalkannya PDIP sendirian. Hanya PDIP yang masih meminta pembahasan RUU HIP dilanjutkan, sementara partai lain koor bersuara untuk menghentikan bahkan membatalkannya.
Ketiga, kasus pelaporan dugaan pembakaran bendera PDIP ini akan menjadi ajang konsolidasi alamiah umat Islam. Narasinya bertambah, dari yang sebelumnya melawan komunisme PKI yang bangkit melalui RUU HIP, bertambah narasi Perlawanan Terhadap Kezaliman PDIP.
Sampai hari ini, belum ada oknum kader PDIP yang dilaporkan karena diduga kuat terlibat dalam merancang RUU HIP. Padahal, pelanggarannya berat, yakni dugaan makar mengganti dasar Negara.
Sementara PDIP, baru dugaan pembakaran bendera saja langsung lapor polisi, padahal kadernya juga pernah membakar bendera PDIP (kasus DPC PDIP Tabanan, Bali) Karena kecewa dengan struktur PDIP, nyatanya tidak dipersoalkan secara hukum.
Ketiga hal di atas, justru akan mengentalkan arus perlawanan terhadap Komunisme. Tindakan keliru yang ditempuh PDIP, justru menguatkan anasir dan praduga yang mengaitkan PDIP terkait erat dengan RUU HIP.
Karena itu, bagi segenap elemen umat Islam, wajib percaya diri dan tidak perlu gentar. Kemenangan itu begitu dekat. Saat ini, yang wajib diluruskan adalah niat perjuangan semata karena Allah SWT, dan tidak mengajukan tuntutan seruan perjuangan yang tidak syar'i.
Berjuanglah hanya untuk dan karena Islam. Berjuanglah hanya karena membela Islam, bukan Pancasila. Sebab, di akhirat kelak hanya Islam yang bisa menyelamatkan, bukan Pancasila. [].
COMMENTS