Apa itu Deideologisasi
Oleh: Wiwing Noeraini
Harakatuna[dot]com kembali menebar kebencian dan kesesatan dengan mem-posting sebuah tulisan provokatif berjudul “Resistensi Ulama vs Deideologisasi” (12/06/20). Tulisan tersebut memaparkan pentingnya deideologisasi untuk menangkal Islam radikal, utamanya paham Khilafah di kalangan ulama.
Apa itu Deideologisasi?
Istilah deideologisasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah berhentinya proses pendalaman (penyebaran) ideologi. Sedangkan deideologisasi dalam konteks deradikalisasi diartikan sebagai penghapusan ideologi atas agama, serta agama tidak dipandang sebagai ideologi politik melainkan dapat dipahami sebagai nilai-nilai luhur yang menyemai pesan perdamaian (Hikam, Muhammad AS (2016) Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Rradikalisme-Deradikalisasi. Jakarta: Kompas, hlm. Viii).
Dengan merujuk arti deideologisasi di atas, ketika dikatakan bahwa deideologisasi ini ditujukan untuk menangkal ide Khilafah, maka jelas itu hal yang mengada-ada, karena Khilafah bukanlah ideologi melainkan bagian dari ajaran Islam.
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya berdasarkan dalil Alquran, hadis, dan ijmak sahabat. Oleh karena itu, sebenarnya yang dituju dari proyek deideologisasi ini bukan hanya menangkal ide Khilafah, tapi untuk menangkal Islam ideologis.
Proyek ini menginginkan berhentinya proses pendalaman dan penyebaran Islam sebagai ideologi. Targetnya, agar Islam hanya didalami dan disebarkan sebagai sebuah agama ritual.
Bahkan lebih rendah lagi, agar Islam diambil hanya sebagai ajaran yang memuat nilai nilai luhur yang menyemai pesan perdamaian.
Dengan kata lain, ajaran Islam yang dianggap “tidak menyemai pesan perdamaian” akan dimutilasi. Kedudukan Islam akan sama dengan agama-agama lainnya, baik agama samawi seperti Nasrani dan Yahudi, maupun agama nonsamawi seperti Hindu, Buddha, dll. Atau bahkan Islam akan disamakan dengan berbagai aliran kepercayaan seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, dll.
Padahal, Islam berbeda dengan semua agama yang ada di dunia saat ini. KH Hafidz Abdurrahman dalam kitabnya Islam Politik dan Spiritual menjelaskan bahwa semua agama selain Islam adalah agama yang hanya mengajarkan aspek spritualitas (ruhiyah) saja.
Sedangkan Islam, bukan hanya agama yang mengurusi masalah ruhiyah, tapi juga meliputi masalah politik (siyasiyah). Dengan kata lain, Islam adalah akidah spiritual dan politik.
Akidah spiritual adalah akidah atau ajaran yang mengatur masalah yang berhubungan dengan akhirat seperti surga, neraka, pahala, siksa, dan dosa. Termasuk di dalamnya masalah ibadah, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan jihad.
Sedangkan akidah politik adalah akidah atau ajaran yang mengatur urusan kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, hukuman, dll. Oleh karena itu, maka Islam boleh disebut sebagai agama dan ideologi.
Sebagai agama dan ideologi, Islam adalah ajaran yang mengandung akidah dan sistem (aturan/nizham). Atau dalam istilah lain, Islam adalah agama yang mengandung akidah dan syariat (Al Islam, Aqidatan wa Syarii’atan, Prof Dr. Mahmud Syaltut, 11, Nizhom Al Islam, As Syekh Taqiyuddin An –Nabhani, 68).
Akidah yang dimaksud di sini adalah keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Kiamat, dan Qadha dan Qadar, yang baik buruknya semata dari Allah.
Sedangkan nizham atau syariat adalah kumpulan hukum syara’ yang mengatur seluruh masalah manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
Deideologisasi Islam akan mereduksi nizham atau syariat. Syariat yang berkaitan dengan kehidupan dunia (politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dll), sebagian besar akan dibuang dan disisakan sedikit saja, kemudian akan ditambah syariat yang berkaitan kehidupan akhirat (salat, puasa, zakat, dll).
Akhirnya, Islam menjadi mandul, hukum/syariatnya tak mampu lagi menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi umat hari ini.
Banyak sekali problem yang seharusnya bisa diselesaikan dengan syariat yang berkaitan dengan aspek siyasiyah (politik), tapi tak digunakan, malah menggunakan syariat yang berkaitan dengan aspek ruhiyah (spiritual).
Menyelesaikan wabah Covid-19 dengan menggelar acara tobat nasional dan doa bersama misalnya, tanpa dibarengi penerapan syariat dalam penanggulangan wabah. Mampukah menjadi solusi? Tentu saja tidak.
Bahkan yang terjadi adalah problem semakin rumit. Rakyat makin menderita. Kesulitan semakin parah. Bahkan di tengah kondisi demikian sulit, penguasa mengeluarkan berbagai kebijakan yang semakin menyulitkan rakyatnya. Negara gagal menanggulangi wabah ini.
Demikianlah ketika ayat-ayat Allah hanya diimani sebagian dan diingkari sebagian lainnya. Hukum-hukum Allah hanya diambil sebagian, sementara sebagian lainnya ditinggalkan.
Maka kehinaan yang akan ditimpakan kepada umat Muhammad (Saw.) ini sebagaimana firman Allah SWT:
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Al–Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (TQS Al Baqarah [2] : 85)
Deideologisasi Ulama, Pengerdilan Potensi Hakiki Ulama
Bahaya semakin mengancam ketika ulama pun ditarget dengan proyek deideologisasi ini. Tujuannya agar mereka tak lagi mendakwahkan Islam sebagai ideologi, mencukupkan diri mengajarkan Islam spiritual, serta menjauhkan dakwah dari Islam politik.
Tentu ini adalah pengerdilan potensi hakiki ulama. Ulama adalah orang yang menekuni dan mendalami agama kemudian mendakwahkannya kepada umat. Mereka adalah orang yang paling takut kepada Allah SWT karena mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al Fatir [35] : 28).
Keluasan ilmu agamanya dan rasa takutnya yang begitu besar kepada Allah SWT, menjadikan para ulama memiliki potensi hakiki sebagai sosok yang tak kenal lelah memberi nasihat kepada siapa pun, baik rakyat jelata maupun kepada penguasa agar senantiasa taat dan berhukum hanya kepada Allah SWT.
Mereka adalah pewaris para nabi sebagaimana sabda Rasulullah (Saw.):
“Dan sesungguhnya, para ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Turmudzi).
Mereka adalah sosok yang berada di barisan terdepan untuk melindungi umat dari berbagai pemikiran berbahaya. Hal tersebut nampak nyata hari ini dengan bersatunya para ulama di dua ormas terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU dan diamini MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam menolak RUU HIP karena dianggap membangkitkan komunisme dan meminggirkan agama.
Tentu ini adalah hal yang patut diacungi jempol. Sudah seharusnya penolakan tersebut dilakukan ulama karena ideologi komunisme bertentangan dengan Islam dan amat sangat berbahaya bagi umat.
Hanya saja, ada ideologi lain yang tak kalah berbahayanya, bahkan bisa jadi lebih berbahaya karena telah dikemas para pengusungnya sedemikian rupa sehingga tampak seperti madu, tapi hakikatnya adalah racun mematikan. Itulah Kapitalisme.
Bahaya Kapitalisme
Dalam kitab Nizhom Al Islam yang ditulis Syekh Taqiyuddin An-Nabhani disebutkan bahwa Ideologi (mabda) di dunia ini hanya ada tiga, yaitu Islam, kapitalisme, dan sosialisme (termasuk komunisme).
Pengategorian ini dijelaskan detail dalam Kitab tersebut berkaitan dengan definisi ideologi. Ateisme atau anti-Tuhan yang menjadi akidah ideologi sosialisme-komunisme membuatnya mudah dipahami sebagai ideologi yang bertentangan dengan Islam. Tapi, ideologi kapitalisme, tak banyak terindra sebagai ideologi yang berbahaya.
Di Kitab yang sama, dijelaskan juga bahwa bahaya kapitalisme yang sangat mendasar adalah karena ideologi ini lahir dari akidah batil sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Sekularisme menjadi asas sekaligus qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) dan qoidah fikriyah (kaidah berpikir) kapitalisme. Berlandaskan qoidah fikriyah ini, mereka berpendapat bahwa manusia berhak membuat peraturan hidupnya. Mereka pertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan berakidah, berpendapat, hak milik, dan kebebasan pribadi.
Tentu ini ideologi yang sangat berbahaya karena memberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada manusia tanpa boleh ada campur tangan agama sedikit pun.
Dari ide kebebasan hak milik inilah lahir sistem ekonomi kapitalis, yang termasuk perkara paling menonjol dalam ideologi ini. Sebab itulah ideologi ini dinamakan kapitalisme. Sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dari ideologi tersebut.
Sistem ekonomi kapitalis bertentangan secara diametral dengan sistem ekonomi Islam. Di dalam kitabnya yang lain, yaitu Nizhom al Iqtishodi fil al Islam, Syekh Taqiyuddin menjelaskan pertentangan kedua sistem ekonomi ini dengan sangat rinci.
Prinsipnya, sistem ekonomi Islam hanya mengambil hukum hukum syariat sebagai pemecahan berbagai problem ekonomi, yang digali dari dalil-dalil syariat. Sementara pemecahan-pemecahan sistem ekonomi kapitalis bukan merupakan hukum syariat, melainkan sistem kufur.
Dan fakta yang tak bisa dipungkiri, bahwa sistem ekonomi kapitalisme inilah yang menyebabkan ketamakan luar biasa dari negara-negara pengadopsi dan pengembannya (baca: negara-negara maju), sehingga dengan neoimperialismenya, mereka memeras habis negara-negara jajahannya (baca: negara-negara berkembang).
Sistem inilah yang menyebabkan penderitaan luar biasa yang dialami umat manusia di berbagai penjuru dunia saat ini.
Adapun dalam sistem politiknya, ideologi kapitalisme menganut demokrasi yang berasal dari pandangannya bahwa manusia berhak membuat peraturan sendiri. Rakyat dianggap sebagai sumber kekuasaan, maka rakyatlah yang berhak membuat peraturan.
Menurut mereka, rakyat adalah sumber kekuasaan. Kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat dengan kepala negara, yang digaji untuk menjalankan pemerintahan sesuai undang-undang yang dibuat rakyat. Tentu ini sangat bertentangan dengan sistem politik Islam.
Muhamad Husain Abdullah, dalam Kitabnya Dirasat fi al Fikri al Islami menyatakan bahwa sistem politik Islam tegak berdasarkan asas bahwa hukum hanya milik Allah, berdasarkan firman-Nya: “Hendaklah kamu menghukumi di antara mereka berdasarkan apa yang diturunkan Allah.” (TQS Al Maidah[5]: 49).
Sistem politik Islam juga tegak atas asas bahwa kedaulatan di tangan syariat. Ini artinya, baik rakyat maupun penguasa dituntut untuk mengendalikan seluruh aktivitasnya sejalan dengan perintah dan larangan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: “Taatilah Allah dan taati Rasul–Nya, dan ulil amri di antara kalian…”(TQS An Nisa [4]: 59).
Masih banyak lagi pertentangan ideologi kapitalisme dengan Islam yang menunjukkan dengan zhahir bahwa ideologi ini tak kalah berbahayanya dengan ideologi komunisme sehingga harus ditolak.
Dengan demikian, maka jelas bahwa para ulama seharusnya menolak segala upaya deideologisasi Islam. Justru para ulama harus berpegang teguh kepada ideologi Islam dan menolak serta membuang jauh ideologi komunisme maupun kapitalisme.
Bahkan, para ulama hendaknya mengerahkan segenap upaya untuk membentengi umat dari kedua ideologi kufur ini dan memperjuangkan agar Islam kembali menjadi ideologi tunggal bagi umat muslim.
Tak hanya Indonesia, tapi juga umat muslim seluruh dunia. Saat itulah Khilafah tegak dan menerapkan syariat secara sempurna. Dalam waktu dekat, in syaa Allah. [MNews]
Harakatuna[dot]com kembali menebar kebencian dan kesesatan dengan mem-posting sebuah tulisan provokatif berjudul “Resistensi Ulama vs Deideologisasi” (12/06/20). Tulisan tersebut memaparkan pentingnya deideologisasi untuk menangkal Islam radikal, utamanya paham Khilafah di kalangan ulama.
Apa itu Deideologisasi?
Istilah deideologisasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah berhentinya proses pendalaman (penyebaran) ideologi. Sedangkan deideologisasi dalam konteks deradikalisasi diartikan sebagai penghapusan ideologi atas agama, serta agama tidak dipandang sebagai ideologi politik melainkan dapat dipahami sebagai nilai-nilai luhur yang menyemai pesan perdamaian (Hikam, Muhammad AS (2016) Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Rradikalisme-Deradikalisasi. Jakarta: Kompas, hlm. Viii).
Dengan merujuk arti deideologisasi di atas, ketika dikatakan bahwa deideologisasi ini ditujukan untuk menangkal ide Khilafah, maka jelas itu hal yang mengada-ada, karena Khilafah bukanlah ideologi melainkan bagian dari ajaran Islam.
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya berdasarkan dalil Alquran, hadis, dan ijmak sahabat. Oleh karena itu, sebenarnya yang dituju dari proyek deideologisasi ini bukan hanya menangkal ide Khilafah, tapi untuk menangkal Islam ideologis.
Proyek ini menginginkan berhentinya proses pendalaman dan penyebaran Islam sebagai ideologi. Targetnya, agar Islam hanya didalami dan disebarkan sebagai sebuah agama ritual.
Bahkan lebih rendah lagi, agar Islam diambil hanya sebagai ajaran yang memuat nilai nilai luhur yang menyemai pesan perdamaian.
Dengan kata lain, ajaran Islam yang dianggap “tidak menyemai pesan perdamaian” akan dimutilasi. Kedudukan Islam akan sama dengan agama-agama lainnya, baik agama samawi seperti Nasrani dan Yahudi, maupun agama nonsamawi seperti Hindu, Buddha, dll. Atau bahkan Islam akan disamakan dengan berbagai aliran kepercayaan seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, dll.
Padahal, Islam berbeda dengan semua agama yang ada di dunia saat ini. KH Hafidz Abdurrahman dalam kitabnya Islam Politik dan Spiritual menjelaskan bahwa semua agama selain Islam adalah agama yang hanya mengajarkan aspek spritualitas (ruhiyah) saja.
Sedangkan Islam, bukan hanya agama yang mengurusi masalah ruhiyah, tapi juga meliputi masalah politik (siyasiyah). Dengan kata lain, Islam adalah akidah spiritual dan politik.
Akidah spiritual adalah akidah atau ajaran yang mengatur masalah yang berhubungan dengan akhirat seperti surga, neraka, pahala, siksa, dan dosa. Termasuk di dalamnya masalah ibadah, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan jihad.
Sedangkan akidah politik adalah akidah atau ajaran yang mengatur urusan kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, hukuman, dll. Oleh karena itu, maka Islam boleh disebut sebagai agama dan ideologi.
Sebagai agama dan ideologi, Islam adalah ajaran yang mengandung akidah dan sistem (aturan/nizham). Atau dalam istilah lain, Islam adalah agama yang mengandung akidah dan syariat (Al Islam, Aqidatan wa Syarii’atan, Prof Dr. Mahmud Syaltut, 11, Nizhom Al Islam, As Syekh Taqiyuddin An –Nabhani, 68).
Akidah yang dimaksud di sini adalah keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Kiamat, dan Qadha dan Qadar, yang baik buruknya semata dari Allah.
Sedangkan nizham atau syariat adalah kumpulan hukum syara’ yang mengatur seluruh masalah manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
Deideologisasi Islam akan mereduksi nizham atau syariat. Syariat yang berkaitan dengan kehidupan dunia (politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dll), sebagian besar akan dibuang dan disisakan sedikit saja, kemudian akan ditambah syariat yang berkaitan kehidupan akhirat (salat, puasa, zakat, dll).
Akhirnya, Islam menjadi mandul, hukum/syariatnya tak mampu lagi menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi umat hari ini.
Banyak sekali problem yang seharusnya bisa diselesaikan dengan syariat yang berkaitan dengan aspek siyasiyah (politik), tapi tak digunakan, malah menggunakan syariat yang berkaitan dengan aspek ruhiyah (spiritual).
Menyelesaikan wabah Covid-19 dengan menggelar acara tobat nasional dan doa bersama misalnya, tanpa dibarengi penerapan syariat dalam penanggulangan wabah. Mampukah menjadi solusi? Tentu saja tidak.
Bahkan yang terjadi adalah problem semakin rumit. Rakyat makin menderita. Kesulitan semakin parah. Bahkan di tengah kondisi demikian sulit, penguasa mengeluarkan berbagai kebijakan yang semakin menyulitkan rakyatnya. Negara gagal menanggulangi wabah ini.
Demikianlah ketika ayat-ayat Allah hanya diimani sebagian dan diingkari sebagian lainnya. Hukum-hukum Allah hanya diambil sebagian, sementara sebagian lainnya ditinggalkan.
Maka kehinaan yang akan ditimpakan kepada umat Muhammad (Saw.) ini sebagaimana firman Allah SWT:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ ٱلْكِتَٰبِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْىٌ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلْعَذَابِ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Al–Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (TQS Al Baqarah [2] : 85)
Deideologisasi Ulama, Pengerdilan Potensi Hakiki Ulama
Bahaya semakin mengancam ketika ulama pun ditarget dengan proyek deideologisasi ini. Tujuannya agar mereka tak lagi mendakwahkan Islam sebagai ideologi, mencukupkan diri mengajarkan Islam spiritual, serta menjauhkan dakwah dari Islam politik.
Tentu ini adalah pengerdilan potensi hakiki ulama. Ulama adalah orang yang menekuni dan mendalami agama kemudian mendakwahkannya kepada umat. Mereka adalah orang yang paling takut kepada Allah SWT karena mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلْأَنْعَٰمِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al Fatir [35] : 28).
Keluasan ilmu agamanya dan rasa takutnya yang begitu besar kepada Allah SWT, menjadikan para ulama memiliki potensi hakiki sebagai sosok yang tak kenal lelah memberi nasihat kepada siapa pun, baik rakyat jelata maupun kepada penguasa agar senantiasa taat dan berhukum hanya kepada Allah SWT.
Mereka adalah pewaris para nabi sebagaimana sabda Rasulullah (Saw.):
“Dan sesungguhnya, para ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Turmudzi).
Mereka adalah sosok yang berada di barisan terdepan untuk melindungi umat dari berbagai pemikiran berbahaya. Hal tersebut nampak nyata hari ini dengan bersatunya para ulama di dua ormas terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU dan diamini MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam menolak RUU HIP karena dianggap membangkitkan komunisme dan meminggirkan agama.
Tentu ini adalah hal yang patut diacungi jempol. Sudah seharusnya penolakan tersebut dilakukan ulama karena ideologi komunisme bertentangan dengan Islam dan amat sangat berbahaya bagi umat.
Hanya saja, ada ideologi lain yang tak kalah berbahayanya, bahkan bisa jadi lebih berbahaya karena telah dikemas para pengusungnya sedemikian rupa sehingga tampak seperti madu, tapi hakikatnya adalah racun mematikan. Itulah Kapitalisme.
Bahaya Kapitalisme
Dalam kitab Nizhom Al Islam yang ditulis Syekh Taqiyuddin An-Nabhani disebutkan bahwa Ideologi (mabda) di dunia ini hanya ada tiga, yaitu Islam, kapitalisme, dan sosialisme (termasuk komunisme).
Pengategorian ini dijelaskan detail dalam Kitab tersebut berkaitan dengan definisi ideologi. Ateisme atau anti-Tuhan yang menjadi akidah ideologi sosialisme-komunisme membuatnya mudah dipahami sebagai ideologi yang bertentangan dengan Islam. Tapi, ideologi kapitalisme, tak banyak terindra sebagai ideologi yang berbahaya.
Di Kitab yang sama, dijelaskan juga bahwa bahaya kapitalisme yang sangat mendasar adalah karena ideologi ini lahir dari akidah batil sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Sekularisme menjadi asas sekaligus qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) dan qoidah fikriyah (kaidah berpikir) kapitalisme. Berlandaskan qoidah fikriyah ini, mereka berpendapat bahwa manusia berhak membuat peraturan hidupnya. Mereka pertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan berakidah, berpendapat, hak milik, dan kebebasan pribadi.
Tentu ini ideologi yang sangat berbahaya karena memberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada manusia tanpa boleh ada campur tangan agama sedikit pun.
Dari ide kebebasan hak milik inilah lahir sistem ekonomi kapitalis, yang termasuk perkara paling menonjol dalam ideologi ini. Sebab itulah ideologi ini dinamakan kapitalisme. Sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dari ideologi tersebut.
Sistem ekonomi kapitalis bertentangan secara diametral dengan sistem ekonomi Islam. Di dalam kitabnya yang lain, yaitu Nizhom al Iqtishodi fil al Islam, Syekh Taqiyuddin menjelaskan pertentangan kedua sistem ekonomi ini dengan sangat rinci.
Prinsipnya, sistem ekonomi Islam hanya mengambil hukum hukum syariat sebagai pemecahan berbagai problem ekonomi, yang digali dari dalil-dalil syariat. Sementara pemecahan-pemecahan sistem ekonomi kapitalis bukan merupakan hukum syariat, melainkan sistem kufur.
Dan fakta yang tak bisa dipungkiri, bahwa sistem ekonomi kapitalisme inilah yang menyebabkan ketamakan luar biasa dari negara-negara pengadopsi dan pengembannya (baca: negara-negara maju), sehingga dengan neoimperialismenya, mereka memeras habis negara-negara jajahannya (baca: negara-negara berkembang).
Sistem inilah yang menyebabkan penderitaan luar biasa yang dialami umat manusia di berbagai penjuru dunia saat ini.
Adapun dalam sistem politiknya, ideologi kapitalisme menganut demokrasi yang berasal dari pandangannya bahwa manusia berhak membuat peraturan sendiri. Rakyat dianggap sebagai sumber kekuasaan, maka rakyatlah yang berhak membuat peraturan.
Menurut mereka, rakyat adalah sumber kekuasaan. Kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat dengan kepala negara, yang digaji untuk menjalankan pemerintahan sesuai undang-undang yang dibuat rakyat. Tentu ini sangat bertentangan dengan sistem politik Islam.
Muhamad Husain Abdullah, dalam Kitabnya Dirasat fi al Fikri al Islami menyatakan bahwa sistem politik Islam tegak berdasarkan asas bahwa hukum hanya milik Allah, berdasarkan firman-Nya: “Hendaklah kamu menghukumi di antara mereka berdasarkan apa yang diturunkan Allah.” (TQS Al Maidah[5]: 49).
Sistem politik Islam juga tegak atas asas bahwa kedaulatan di tangan syariat. Ini artinya, baik rakyat maupun penguasa dituntut untuk mengendalikan seluruh aktivitasnya sejalan dengan perintah dan larangan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: “Taatilah Allah dan taati Rasul–Nya, dan ulil amri di antara kalian…”(TQS An Nisa [4]: 59).
Masih banyak lagi pertentangan ideologi kapitalisme dengan Islam yang menunjukkan dengan zhahir bahwa ideologi ini tak kalah berbahayanya dengan ideologi komunisme sehingga harus ditolak.
Dengan demikian, maka jelas bahwa para ulama seharusnya menolak segala upaya deideologisasi Islam. Justru para ulama harus berpegang teguh kepada ideologi Islam dan menolak serta membuang jauh ideologi komunisme maupun kapitalisme.
Bahkan, para ulama hendaknya mengerahkan segenap upaya untuk membentengi umat dari kedua ideologi kufur ini dan memperjuangkan agar Islam kembali menjadi ideologi tunggal bagi umat muslim.
Tak hanya Indonesia, tapi juga umat muslim seluruh dunia. Saat itulah Khilafah tegak dan menerapkan syariat secara sempurna. Dalam waktu dekat, in syaa Allah. [MNews]
COMMENTS