Jika orang kurang ilmunya dipastikan kerjaannya akan banyak menyalahkan orang lain, sebagaimana perkataan Al-Habib Abu Bakar dalam kitab "Kifayatul Atqiya
Pernah suatu ketika Syekh Muhammad al-Ghazali Mesir sedang mengajar di majelisnya.
Diantara murid-muridnya ada yang selalu berulang-ulang menggosok-gosokkan siwaknya ke giginya saat ia sedang duduk belajar di hadapan sang guru, sehingga hal itu membuat sang guru terganggu konsentrasi mengajarnya.
Syekh Ghazali menegur muridnya:
"Tidak bisakah kau berhenti menggosok-gosokkan siwak dihadapanku, nak?! Tegur Syekh Ghazali.
Bukannya menurut, sang murid malah balik memprotes.
"Wahai Syekh, mengapa Anda memintaku untuk menghentikan bersiwak? Bukankah ini sunnah Nabi! Apakah Anda mengingkari sunnah Nabi?!"
Syekh Ghazali kaget dengan jawaban muridnya yang kurang sopan itu. Lantas, Syekh Ghazali menimpali:
"Jika bersiwak itu sunnah Nabi, maka mencabut bulu ketiak juga merupakan sunnah Nabi, Nak! Apakah kau juga akan mencabut bulu ketiakmu saat belajar seperti ini?!
Spontan semua murid lainnya yang hadir tertawa.
Kisah di atas sederhana, namun sangat mendalam menggambarkan fenomena beragama hari ini.
Harus diakui hari ini kita bahagia ketika banyaknya umat Islam mulai menyadari dan mengamalkan sunnah-sunnah Nabi.
Sunnah itu bagus, karena mengikuti amalan perilaku Nabi Saw. Namun, seseorang yang mengamalkan sunnah pun harus mampu menempatkan kapan kesunahan itu diamalkan, bukan?
Dalam konteks sunnah, para ulama menyatakan, ".. diperbolehkan mengambil satu amalan kesunahan, dan meninggalkan kesunahan yang lainnya.."
Namun, sayangnya hari ini, ada orang yang baru belajar sunnah saja sudah sedemikian semangatnya, sehingga menempatkan amalan kesunahan hampir serupa pada tingkatan kewajiban.
Bahkan, tak jarang, hanya atas dasar sunnah-sunnah Nabi juga dijadikan dalil untuk menyerang dan mengatakan orang yang tidak melakukan sebagaimana yang biasa dia lakukan sebagai sikap dan perilaku tidak "Nyunnah".
Padahal, sedemikian banyaknya aneka sunnah itu memberikan kita masing-masing pilihan untuk bisa mengamalkan sunnah mana yang bisa kita lakukan dan amalkan semampunya, bukan sebagai senjata untuk saling mengklaim dan senjata menyerang orang berbeda amalannya.
Para sahabat Nabi dahulu, ada yang mengamalkan sunnah puasa senin kamis.
Namun, mereka tidak mengklaim dan menyalahkan para sahabat yang tidak mengamalkan puasa senin kamis, sebab mereka ada yang tidak berpuasa sunnah, disebabkan lebih banyak berada di medan pertempuran atau mencari nafkah atau menuntut ilmu.
Jadi, semua kembali pada ilmu.
Makanya, di dalam kitab Shahih Bukhari ada bab "Al-Ilmu Qabl 'Amal. Berilmu sebelum beramal." Berilmu dulu, baru mengamalkan.
Jika orang kurang ilmunya dipastikan kerjaannya akan banyak menyalahkan orang lain, sebagaimana perkataan Al-Habib Abu Bakar dalam kitab "Kifayatul Atqiya:
مَنْ قَلَّ عِلْمُهُ كَثُىرَ اعْتِرَاضُهُ
"Barang siapa yang sedikit ilmunya, pastinya akan banyak menyalahkan orang lain."
Wallahu 'alam
*Ust. Miftah el-Banjary
COMMENTS