Syariah Islam Solusi Kehidupan
© Yuli S Ridwan, S.H.
Pejabat negara, adalah mereka yang sedang memegang jabatan untuk mengurus negara.
Menjadi pejabat negara, harus siap dikritisi, dikoreksi, dinasihati oleh rakyat yang ada dihadapannya.
Menjadi pejabat negara, harus punya daya pendengaran dan daya penglihatan yang visioner.
Pendengarannya sanggup mendengar muhasabah lil hukkam yang disampaikan kepadanya.
Penglihatannya sanggup melihat rumusan saran solusi shohih yang ditawarkan kepadanya.
Kalau penjabat negara sikapnya mudah tersinggung lalu marah-marah ketika dikritisi, dikoreksi, dan atau dinasihati, ini artinya (oknum) pejabat negara tersebut terindikasi terkena sindrom lupa diri.
Jika pejabat negara belum siap mental berhadapan dengan amanah mengurus rakyat, hal ini pun menjadi blunder bagi perpolitikan yang sedang dijalaninya.
Makanya dalam sistem Islam, kerap kali diingatkan agar kita harus tahu diri terlebih dahulu, sebelum akhirnya mengemban amanah untuk menjabat posisi jabatan dalam negara.
Tahu bahwa dirinya adalah hamba Allah, yang menjalani hidup dalam rangka beribadah kepada Allah.
Sehingga, muncul kehati-hatiannya ketika mengemban amanah jabatan negara. Karena, ia merasa diawasi oleh Allah.
Beruntunglah kaum Muslimin dengan ideologi Islam yang diimaninya ini, yang tidak pernah memisahkan persoalan politik dengan dinullah Islam. Berpolitik, untuk mengurusi urusan ummat sesuai hukum syara'.
Sehingga, ketika dikritisi, dikoreksi, dan atau dinasihati, hal utama yang seharusnya diucapkannya adalah rasa syukur, bahwa rakyat masih peduli kepadanya agar tidak salah dalam mengambil keputusan dan kebijakan ketika berhadapan dengan masalah besar.
Beda dengan sistem kapitalis sekular, dimana jabatan negara malah kerap dijadikan wasilah (sarana) perlombaan dalam meraih azas manfaat yang bersifat materialistik.
Lihat saja saat ini dihadapan kita, dalam kondisi penduduk bumi sedang diuji oleh Allah Swt dengan musibah wabah penyakit global virus corona covid-19 (sejak 2019), pejabat dan jabatan negara yang dipegangnya di sistem kapitalis sekular ini, tidak otomatis menjadikan si pejabat yang menjabat jabatan tersebut, serta-merta mampu bersikap negarawan yang siap melindungi rakyatnya.
Mirisnya, saat seluruh penjuru negeri sudah mengambil sikap lockdown (mengkarantina negeri), tapi negeri bermayoritas Muslim ini masih belum mengambil sikap mewaspadai peredaran wabah penyakit global tersebut dengan mengantisipasi sedini mungkin.
Ironisnya, disaat wabah penyakit virus corona covid-19 akhirnya juga singgah di Indonesia, kebijakan publik yang diambil pun malah tidak sejalan dengan aturan yang sudah dibuat. Beginilah potret ambigu.
Aturan yang dibuat, dengan mudah diabaikan, lalu memilih membuat aturan yang lain lagi, yang secara defacto dan dejure, malah tidak sinkron dengan persoalan besar yang sedang dihadapi.
Lagi-lagi, karena negeri ini masih berada dalam sandera sistem kapitalis sekular, maka aturan/mekanisme/sistem seperti karet yang mudah ditarik oleh oknum yang memonopoli segala urusan, sementara rakyat terkatung-katung kondisinya.
Allah Swt menegaskan dalam alQuran
(QS.An-Nisā'):59
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Jelas, bahwa pemimpin pun tidak boleh membuat aturan sesuai hawa nafsunya saja. Hal tersebut bisa fatal bagi negeri yang sedang diurusnya. Pemimpin wajib menundukkan hawa nafsunya sesuai hukum syara'.
Ummat manusia sejatinya pasti butuh solusi hakiki, yang memuaskan akal, menentramkan jiwa dan sesuai fitrah.
Ambillah syariah Islam kaaffah sebagai solusinya. In Syaa Allah, pertolongan Allah Swt akan hadir dihadapan kita. []
#IslamAdalahSolusi
COMMENTS