JARING PENGAMAN SOSIAL
Penulis : Diani Aqsyam
Presiden Jokowi telah menyiapkan dana Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial guna mengantisipasi dampak negatif dari wabah virus Corona. Sejumlah program pun telah disiapkan. Mulai dari kartu prakerja, program keluarga harapan (PKH), listrik gratis, hingga bantuan sosial khusus.
Sebelumnya, Jokowi bersikeras menolak opsi lockdown, sebagaimana yang dilakukan negara lain dalam menghadapi wabah Corona. Jokowi lebih memilih menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB.
Untuk menggenapi kebijakannya tersebut, beragam bantuan sosial digelontorkan. Dengan program tersebut, pemerintah berharap bisa “mengamankan” kebutuhan rakyat. Namun, apakah jaring pengaman sosial benar-benar akan menjamin? Nampaknya hal tersebut hanya akan seperti api yang jauh dari panggang.
Mengapa demikian? Ambil saja contoh program listrik gratis bagi pelanggan 450 VA, dan diskon 50% bagi pelanggan 900 VA. Ternyata tidak semua pelanggan listrik 900 VA mendapat diskon tarif. Hanya pelanggan 900 VA berkode R1 atau R1T yang berhak mendapatkan diskon. Lalu bagaimana dengan pelanggan listrik 900 VA berkode R1M? Bukankah masih banyak diantara para pelanggan R1M yang tinggal dirumah kontrakan, dan berpenghasilan rendah.
Menurut Wakil Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, pelanggan R1M tidak eligible untuk mendapatkan diskon. Apakah ini kebijakan yang adil?
Begitu pula dengan kartu prakerja. Kartu prakerja tidak akan berpengaruh banyak untuk para pekerja yang kehilangan pendapatan di tengah wabah. Tidak ada jaminan ada pekerjaan baru, ini hanya buang-buang uang saja karena tidak akan efektif.
Belum lagi penyaluran dana jaring pengaman sosial terkendala data. Pemerintah belum dapat memastikan sistem penyaluran jaring pengaman sosial (social safety net) karena terkendala pendataan pekerja informal yang terdampak virus Corona. Dari total anggara Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun, sebanyak Rp110 di antaranya akan digunakan untuk perlindungan sosial, khususnya bagi masyarakat dengan strata ekonomi lapisan bawah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan anggaran ini masih berbentuk gelondongan karena pihaknya masih mencari data pekerja di sektor informal.
"Data mengenai itu belum lengkap. Indonesia tidak seperti negara lain yang NIK-nya sudah lengkap," ujar Sri Mulyani, Rabu (1/4/2020). Oleh sebab itu, dia menambahkan pemerintah akan mengkoordinasikan data-data ini dengan data BPJS Tenaga Kerja.
Menurut Sri Mulyani, data yang telah lengkap saat ini a.l. data PKH, kartu sembako dan pelanggan listrik 450 VA. "Data ini lengkap by name dan by address," ungkapnya. (ekonomi.bisnis)
Sepintas timbul tanda tanya, jika data penduduknya saja masih belum lengkap, lalu bagaimana pemerintah akan menjamin berbagai kebutuhan rakyat? Akankah distribusi berbagai bantuan tepat sasaran? Disinilah nampak ketidakseriusan rezim ini dalam meriayah rakyat.
Sikap abai dan tidak serius seolah menjadi ciri khas rezim saat ini. Jaring pengaman sosial kapitalis seolah menjadi program setengah hati karena jumlahnya tidak memadai untuk mengantisipasi wabah, penerimanya sangat terbatas dan persyaratannya pun berbelit-belit.
Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular tidak akan efektif tanpa peran negara. Dalam pandangan Islam, negara wajib mengurusi urusan rakyat dengan serius serta menjamin berbagai kebutuhannya.
Hal itu hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah. Sandang, papan, dan pangan sebagai kebutuhan pokok individu dijamin oleh negara khilafah, melalui mekanisme syariah. Begitu juga kesehatan, pendidikan dan keamanan sebagai kebutuhan pokok kelompok juga dijamin oleh negara khilafah. Nabi ﷺ bersabda, “al-Imam ra’in wa huwa mas’ul un ‘an ra’iyyatihi.” (Imam [kepala negara] laksana penggembala, hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya). Karena iu, Khilafah bertanggungjawab penuh untuk mengurus dan menyelesaikan semuanya.[]
Presiden Jokowi telah menyiapkan dana Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial guna mengantisipasi dampak negatif dari wabah virus Corona. Sejumlah program pun telah disiapkan. Mulai dari kartu prakerja, program keluarga harapan (PKH), listrik gratis, hingga bantuan sosial khusus.
Sebelumnya, Jokowi bersikeras menolak opsi lockdown, sebagaimana yang dilakukan negara lain dalam menghadapi wabah Corona. Jokowi lebih memilih menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB.
Untuk menggenapi kebijakannya tersebut, beragam bantuan sosial digelontorkan. Dengan program tersebut, pemerintah berharap bisa “mengamankan” kebutuhan rakyat. Namun, apakah jaring pengaman sosial benar-benar akan menjamin? Nampaknya hal tersebut hanya akan seperti api yang jauh dari panggang.
Mengapa demikian? Ambil saja contoh program listrik gratis bagi pelanggan 450 VA, dan diskon 50% bagi pelanggan 900 VA. Ternyata tidak semua pelanggan listrik 900 VA mendapat diskon tarif. Hanya pelanggan 900 VA berkode R1 atau R1T yang berhak mendapatkan diskon. Lalu bagaimana dengan pelanggan listrik 900 VA berkode R1M? Bukankah masih banyak diantara para pelanggan R1M yang tinggal dirumah kontrakan, dan berpenghasilan rendah.
Menurut Wakil Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, pelanggan R1M tidak eligible untuk mendapatkan diskon. Apakah ini kebijakan yang adil?
Begitu pula dengan kartu prakerja. Kartu prakerja tidak akan berpengaruh banyak untuk para pekerja yang kehilangan pendapatan di tengah wabah. Tidak ada jaminan ada pekerjaan baru, ini hanya buang-buang uang saja karena tidak akan efektif.
Belum lagi penyaluran dana jaring pengaman sosial terkendala data. Pemerintah belum dapat memastikan sistem penyaluran jaring pengaman sosial (social safety net) karena terkendala pendataan pekerja informal yang terdampak virus Corona. Dari total anggara Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun, sebanyak Rp110 di antaranya akan digunakan untuk perlindungan sosial, khususnya bagi masyarakat dengan strata ekonomi lapisan bawah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan anggaran ini masih berbentuk gelondongan karena pihaknya masih mencari data pekerja di sektor informal.
"Data mengenai itu belum lengkap. Indonesia tidak seperti negara lain yang NIK-nya sudah lengkap," ujar Sri Mulyani, Rabu (1/4/2020). Oleh sebab itu, dia menambahkan pemerintah akan mengkoordinasikan data-data ini dengan data BPJS Tenaga Kerja.
Menurut Sri Mulyani, data yang telah lengkap saat ini a.l. data PKH, kartu sembako dan pelanggan listrik 450 VA. "Data ini lengkap by name dan by address," ungkapnya. (ekonomi.bisnis)
Sepintas timbul tanda tanya, jika data penduduknya saja masih belum lengkap, lalu bagaimana pemerintah akan menjamin berbagai kebutuhan rakyat? Akankah distribusi berbagai bantuan tepat sasaran? Disinilah nampak ketidakseriusan rezim ini dalam meriayah rakyat.
Sikap abai dan tidak serius seolah menjadi ciri khas rezim saat ini. Jaring pengaman sosial kapitalis seolah menjadi program setengah hati karena jumlahnya tidak memadai untuk mengantisipasi wabah, penerimanya sangat terbatas dan persyaratannya pun berbelit-belit.
Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular tidak akan efektif tanpa peran negara. Dalam pandangan Islam, negara wajib mengurusi urusan rakyat dengan serius serta menjamin berbagai kebutuhannya.
Hal itu hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah. Sandang, papan, dan pangan sebagai kebutuhan pokok individu dijamin oleh negara khilafah, melalui mekanisme syariah. Begitu juga kesehatan, pendidikan dan keamanan sebagai kebutuhan pokok kelompok juga dijamin oleh negara khilafah. Nabi ﷺ bersabda, “al-Imam ra’in wa huwa mas’ul un ‘an ra’iyyatihi.” (Imam [kepala negara] laksana penggembala, hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya). Karena iu, Khilafah bertanggungjawab penuh untuk mengurus dan menyelesaikan semuanya.[]
COMMENTS