Musibah Banjir
Abu Inas (Tabayyun Center)
Negeri ini seakan dikepung musibah dari sisi air, daratan, maupun udara. Kota Jabotabek didera air bah yang diperkirakan menimbulkan sejumlah korban dan kerugian fisik sangat besar. Sebagian warga harus mengungsi. Kerugian materi ditaksir mencapai miliaran. Banjir juga melanda di sejumlah luar pulau Jawa.
Semua itu baru kerugian fisik ekonomis itu, belum memperhitungkan kerugian atau dampak psikologis dan mental yang tak dapat diangkakan, seperti hilangnya rasa aman, makin meningkatnya rasa cemas atau tertekan, dan tekanan kesulitan hidup sebagai dampak lanjutan dari musibah yang terjadi. Musibah yang bertubi-tubi dan menimbulkan kerugian begitu besar ini, harus kita renungkan dan maknai untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik ke depan baik di dunia dan terutama di akhirat.
Pondasi Iman
Berbagai musibah yang melanda itu terjadi atas izin dan sesuai kehendak Allah sebagai ketetapan-Nya. Allah berfirman:
﴿قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ﴾
"Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (TQS. at-Tawbah [9]: 51).
Sebagai ketetapan (qadha’) maka musibah itu harus dilakoni dengan lapang dada, perasaan ridha, disertai kesabaran dan tawakkal kepada Allah (QS al-Baqarah: 155-157). Hanya saja, kesabaran yang harus dibangun bukan hanya kesabaran yang bersifat pasif dan kepasrahan, melainkan kesabaran yang positif dan aktif. Yaitu kesabaran yang disertai perenungan untuk menarik pelajaran guna membangun sikap, tindakan dan aksi ke depan demi membangun kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.
Renungan
Musibah dari sisi air dan daratan didatangkan oleh Allah untuk mengingatkan dan mengembalikan kesadaran spiritualitas manusia akan azab Allah SWT. Firman-Nya:
﴿أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (١٦) أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (17)﴾
"Apakah kamu merasa aman terhadap (hukuman) Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Atau apakah kamu merasa aman terhadap (azab) Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan angin disertai debu dan kerikil, maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?" (TQS al-Mulk [67]: 16-17)
Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya Ma'alim at-Tanzîl menjelaskan: “Ibn Abbas ra berkata: "aamintum man fii as-sama'i -apakah kamu merasa aman dari yang ada di langit-" yakni dari azab Zat yang ada di langit jika kamu bermaksiyat kepada-Nya. "An yakhsifa bikum al-ardha faidzâ hiya tamûr -Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kamu sehingga bumi bergoncang." Al-Hasan berkata: 'bumi bergerak beserta penduduknya. Dan dikatakan ambruk pada mereka.’ Maknanya, Allah menggerakkan bumi pada saat perjungkirbalikan sehingga bumi melemparkan mereka ke bawah, bumi lebih tinggi dari mereka dan berjalan di atas mereka."
Allah menutup ayat berikutnya dengan memberitahukan "fasata'lamûna kayfa nadzirin". Imam Ibn Katsir menjelaskan dalam Tafsir al-Qur'an al-'Azhîm: "yakni bagaimana peringatanku dan kesudahan orang yang menyimpang darinya dan mendustakannya."
Jadi musibah yang Allah timpakan itu pada dasarnya untuk memberi peringatan dan mengembalikan kesadaran pada diri manusia terhadap keMahakuasaan Allah Pencipta alam semesta. Mengingatkan dan mengembalikan kesadaran betapa lemahnya manusia, dan betapa terbatasnya pengetahuan manusia. Mengembalikan kesadaran sebagai makhluk ciptaan dan sebagai hamba dari al-Khaliq yang tidak layak bermaksiyat kepada-Nya dan menyimpang atau menyalahi peringatan yakni wahyu-Nya serta mendustakannya[]
Sumber : SUC
COMMENTS