Waspada Pluralisme Berbasis Kurikulum Cinta
Waspada Pluralisme Berbasis Kurikulum Cinta
Oleh Ummu Habibi (Muslimah Cinta Quran Pessel)
Kementerian Agama telah meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) pada Juli 2025 lalu. Kurikulum ini diharapkan nantinya mampu mendukung transformasi pendidikan madrasah yang lebih inklusif, transformatif, dan berakar pada nilai-nilai kasih sayang.
Ini tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 6077 Tahun 2025 tentang Panduan Kurikulum Berbasis Cinta, The Golden Rule: Cinta dalam Perspektif Beragam Agama yang mendefinisikan cinta dari sudut pandang berbagai agama.
Buku panduan ini diberlakukan untuk seluruh madrasah, baik yang berada di tingkat Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), maupun Madrasah Aliyah (MA). Panduan tersebut akan menjadi acuan dasar bagi para pendidik dalam mengintegrasikan nilai-nilai cinta ke dalam proses belajar mengajar, tidak hanya dalam pelajaran agama, tetapi juga lintas mata pelajaran.
Rencana Kemenag mengembangkan pendidikan berbasis cinta seolah menjadi sesuatu yang baik dan menginspirasi, tetapi sebenarnya sarat dengan pemikiran pluralisme. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Menteri Agama, “Tidak boleh ada anggapan bahwa agamanyalah yang paling benar dan dari situ akan memunculkan kebencian pada agama yang lain.”
Pluralisme agama adalah sebuah pemahaman yang diyakini oleh orang-orang liberal dengan menempatkan kebenaran agama sebagai aspek yang sifatnya relatif. Alhasil, tersebab kerelatifan tersebut seluruh agama tidak boleh meyakini bahwa agamanya yang lebih benar dari agama lain, atau meyakini hanya agamanya yang benar.
Pluralisme agama telah menempatkan posisi semua agama sama dan pada akhirnya telah mengaburkan makna toleransi dalam Islam. Ini karena pluralisme standar kebenarannya bukan lagi Al-Qur’an dan Hadis, melainkan pada akal manusia yang mengukur dengan kemaslahatan manusia.
Pada hakikatnya, ini adalah penjajahan (imperialisme) dalam bidang pemikiran bagi umat Islam. Umat Islam akan dipaksa untuk berpikir dengan standar liberal yang menyesatkan. Cinta kepada manusia lebih dikedepankan dan mengabaikan kecintaan kepada Allah SWT.
Alih-alih mampu mengatasi krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan, penerapan KBC justru membuat kaum muslim membenarkan dan menerima keyakinan agama selain Islam—yang notabene bertentangan dengan hukum syarak. Dengan dalih menghargai dengan penuh cinta, pluralisme pun wajib diterima dengan menggadaikan akidah mengakui Tuhan lain selain Allah Taala, dan hal ini akan masif diopinikan melalui KBC.
Jelas bahwa hal ini membuat kapitalisasi dan liberalisasi berjalan masif di seluruh bidang, termasuk pendidikan. Sehingga bisa dikatakan ini merupakan penjajahan gaya baru negara pengusung kapitalisme global untuk menjajah kaum muslim secara tidak langsung melalui pemikiran. Istilah apa pun yang mengarah pada keyakinan “semua agama adalah sama” yang dibalut dengan kata “cinta” dan yang semisalnya, patut diwaspadai agar tidak merusak akidah.
Islam adalah agama yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dirinya sendiri, dan sesama manusia. Islam merupakan satu-satunya agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan dan diterapkan dalam kehidupan dunia. Allah Swt. tidak membenarkan agama yang lain, hal ini dapat dilihat dari nas-nas yang menyebutkan alasannya.
“Pada hari ini telah Aku menyempurnakan agamamu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu , dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu…” (Terjemah QS Al-Maidah: 3).
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Terjemah QS Ali ‘Imran: 19).
Kemudian dalam firman-Nya, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian(yang menguji kebenaran) terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Terjemah QS Al-Maidah [5]: 48).
Islam menghargai keberagaman pluralitas sebagaimana dalam QS Al-Hujurat ayat 13 yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”
Pluralitas agama adalah sebuah realitas bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Islam mengakui bahwa umat Islam bisa tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan dalam hal di luar akidah dan ibadah.
Islam memaknai toleransi dengan membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agamanya.
Toleransi (tasamuh) artinya sikap membiarkan (menghargai), lapang dada, tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang ia anut.
Toleransi dalam Islam bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan dengan Islam.
Rasulullah ﷺ pun tegas tidak mau berkompromi untuk melakukan “toleransi” dalam bentuk terlibat, memfasilitasi, apalagi mengamalkan ajaran agama lain. Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (20/225) mengungkapkan bahwa ketika masih di Makkah, suatu ketika beberapa tokoh kafir Quraisy menemui Nabi ﷺ. Mereka adalah Al-Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Al-Aswad Ibnu al-Muthallib, dan Umayyah bin Khalaf. Mereka menawarkan toleransi kepada beliau, “Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami? Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebagian ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan mengamalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada sebagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” Kemudian turunlah QS Al-Kafirun [109] ayat 1—6 yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini.
Seorang muslim meyakini agamanya sendiri (Islam) agama yang benar, sedangkan agama lain adalah salah atau sesat, itu tidak serta-merta melahirkan kebencian. Ketika seorang muslim meyakini Islam adalah kebenaran sebagaimana yang Allah Swt. firmankan di dalam Al-Qur’an bahwa hanya Islamlah yang Allah Swt. ridai. Artinya, seorang muslim meyakini jalan keselamatan hanya Islam, sedangkan selain Islam itu adalah jalan kebatilan dan itu membawa kepada siksa dari Allah Taala.
Keyakinan Islam sebagai satu-satunya agama yang benar tidak serta-merta melahirkan kebencian kepada umat agama lain. Tidak serta-merta pula bahwa ketika seorang muslim meyakini Islam itu adalah agama yang membawa keselamatan, lantas membenci pemeluk agama lain. Bahkan, dalam Islam ada konsep yang namanya dakwah ilal Islam, yaitu mendakwahi mereka agar masuk Islam karena kecintaan seorang muslim kepada mereka, karena sayang kepada mereka.
Sungguh, cinta hakiki adalah cinta pada Allah Taala, Rasulullah ﷺ, dan Al-Qur’an. Taat tanpa tapi, taat total tanpa nanti, dan Islamlah yang melahirkan rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a'lam bish-shawwab[]
.jpeg)
COMMENTS