Menggagas Kembali Peradaban Islam dari Pesantren: Antara Seruan dan Realitas
Menggagas Kembali Peradaban Islam dari Pesantren: Antara Seruan dan Realitas
Oleh: Markiningsih (Komunitas Muslimah Rindu Jannah)
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar membuka secara resmi Musabaqah Qira’atil Kutub Internasional (MQKI) yang berlangsung pada 1–7 Oktober 2025 di Pesantren As’adiyah Wajo, Sulawesi Selatan. Dalam sambutannya, beliau mengajak seluruh komponen pondok pesantren di Indonesia untuk menjadikan MQK Nasional dan Internasional sebagai “anak tangga pertama menuju kembalinya The Golden Age of Islamic Civilization”—Zaman Keemasan Peradaban Islam.
Menag menegaskan bahwa kebangkitan kembali peradaban emas Islam harus dimulai dari lingkungan pesantren. “Mari kita bangun kembali masa kejayaan keilmuan Islam seperti pada masa Baitul Hikmah di Baghdad. Kebangkitan ini haruslah dimulai dari lingkungan pesantren,” ujar beliau penuh semangat.
Seruan ini tentu menggugah semangat kaum muslimin, terlebih di momentum menjelang Hari Santri Nasional 2025 yang mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Sekilas, tema ini tampak memberi harapan besar bahwa pesantren akan kembali menjadi pusat kebangkitan ilmu dan moral bangsa. Namun, dalam konteks kehidupan modern yang dikuasai oleh paham sekularisme-liberalisme, arah dan makna kebangkitan yang dimaksud perlu dikaji lebih dalam melalui kacamata Islam kaffah.
Sekularisme: Ancaman Tersembunyi dalam Narasi Kebangkitan
Sekularisme bukan sekadar pandangan akademis, melainkan ideologi turunan kapitalisme Barat yang dengan sengaja dipropagandakan untuk melemahkan umat Islam. Ia memisahkan agama dari kehidupan, serta menafikan peran Islam dalam mengatur urusan politik, ekonomi, dan negara.
Sayangnya, infiltrasi pemikiran sekuler ini tidak jarang masuk bahkan ke lembaga-lembaga Islam seperti pesantren, melalui narasi-narasi modernisasi, moderasi beragama, dan pemberdayaan ekonomi santri. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, upaya ini sejatinya adalah proses distorsi terhadap peran hakiki pesantren—dari pusat lahirnya ulama dan pemimpin peradaban Islam menjadi sekadar agen sosial budaya dan motor ekonomi lokal.
Dalam narasi sekuler, santri diarahkan menjadi duta perdamaian, penggerak toleransi, dan pelaku ekonomi kreatif. Peran tersebut secara tidak langsung menjauhkan santri dari identitas aslinya sebagai waratsatul anbiya’ (pewaris para nabi) yang semestinya menegakkan Islam secara kaffah, termasuk dalam ranah politik dan pemerintahan.
Kebangkitan Peradaban Tidak Cukup dengan Seruan
Kebangkitan Islam sejati bukanlah slogan, melainkan kewajiban ideologis setiap mukmin. Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menegakkan kehidupan yang diatur sepenuhnya oleh syariat, sebagaimana firman-Nya, yang artinya:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma’idah: 50)
Maka, membangun peradaban Islam bukan sekadar tentang mencetak ilmuwan, teknokrat, atau tokoh-tokoh agama, tetapi membangun sistem kehidupan yang berasaskan akidah Islam, di mana seluruh aktivitas manusia—politik, ekonomi, pendidikan, sosial, hingga budaya—diukur dengan tolok ukur syariat, bukan manfaat atau kepentingan duniawi.
Pesantren: Salah Satu Pilar, Bukan Satu-Satunya
Pesantren memang memiliki posisi istimewa sebagai benteng moral dan pusat pembelajaran Islam. Namun, kebangkitan peradaban Islam tidak akan lahir hanya dari pesantren semata, melainkan dari sinergi seluruh elemen umat—keluarga, masyarakat, dan negara—yang berjuang dalam satu arah: menegakkan kembali sistem kehidupan Islam secara menyeluruh.
Tanpa sistem yang mendukung penerapan syariat secara total, ilmu yang dilahirkan pesantren akan terkungkung dalam ruang moral individual, tidak berdaya menghadapi arus kapitalisme global yang menguasai tatanan dunia hari ini.
Peradaban Islam Hakiki Hanya dalam Naungan Khilafah
Jika kita menelusuri sejarah The Golden Age of Islamic Civilization, semua puncak kejayaan—baik dalam ilmu pengetahuan, budaya, maupun tata pemerintahan—lahir di bawah naungan Daulah Islam (Khilafah). Di sanalah para ulama, cendekiawan, dan ilmuwan bekerja dalam satu visi ideologis: li i’lai kalimatillah, meninggikan kalimat Allah dalam seluruh aspek kehidupan.
Oleh karena itu, jika benar kita ingin membangkitkan kembali peradaban Islam, maka arah perjuangan pesantren dan umat Islam harus dikembalikan pada jalur dakwah politik Islam, bukan sekadar pada aspek kultural atau ekonomi. Peradaban Islam sejati hanya akan terwujud ketika syariat kembali ditegakkan dalam institusi yang menaunginya: Khilafah Islamiyah.
Penutup
Seruan Menag untuk menghidupkan kembali peradaban Islam melalui pesantren adalah langkah yang patut diapresiasi. Namun, agar tidak sekadar menjadi jargon seremonial, kebangkitan itu harus dipahami dan diwujudkan dalam kerangka Islam kaffah, bukan dalam batas sekularisme yang memisahkan agama dari realitas kehidupan.
Pesantren harus menjadi motor dakwah ideologis, mencetak generasi ulama dan pemimpin yang memahami Islam sebagai sistem hidup yang sempurna. Hanya dengan demikian, umat Islam akan benar-benar mampu mengembalikan kejayaan peradaban sebagaimana masa Baitul Hikmah di Baghdad—peradaban yang berdiri di atas fondasi tauhid dan keadilan ilahiah.
WalLaahu a'lam.
.jpeg)
COMMENTS