Krisis Layanan Publik
Krisis Layanan Publik di Dunia Islam
Di antara problem mendesak yang dihadapi dunia Islam adalah krisis dalam penyediaan layanan dasar, seperti air, bahan bakar, listrik, infrastruktur, fasilitas umum, kesehatan, pendidikan, dan layanan lainnya, yang semuanya menghadapi kompleksitas krisis yang sulit diatasi.
Di tengah memburuknya krisis layanan publik dan sikap pemerintah yang lemah, gagal atau abai dalam menanganinya, dunia Islam justru menyimpan kekayaan dan sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya ini tersebar di berbagai negara dengan tingkat dan jenis yang beragam, sehingga nyaris tak ada satu pun negara muslim yang benar-benar miskin sumber daya alam. Ironisnya, kondisi umum berbagai negara muslim mengalami krisis layanan dasar di tengah berlimpahnya sumber daya dan kekayaan alam tadi. Artinya, problem layanan publik bukanlah krisis yang tak terpecahkan, dan bahkan tak layak disebut sebagai krisis sejati.
Perlu digaris bawahi, merebaknya berbagai krisis dalam sejarah kontemporer merupakan fenomena global yang tidak hanya dialami dunia Islam. Baik krisis layanan publik maupun bentuk krisis lainnya, semuanya berakar dari dominasi sistem kapitalisme di dunia. Sebagaimana diketahui, krisis merupakan ciri khas yang melekat pada sistem kehidupan kapitalisme. Muncul sebagai konsekuensi tak terelakkan dari dominasi sistem ini, yang secara alami melahirkan berbagai persoalan dan krisis dalam beragam bentuk –baik karena karakter ideologisnya maupun akibat penerapannya. Bukti-buktinya sangat banyak dan nyata dalam berbagai peristiwa dunia.
Bahkan, para kapitalis kerap sengaja menciptakan krisis sebagai strategi neo-imperalisme yang digunakan demi meraih kepentingan politik, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan lainnya. Dalam ranah politik misalnya, mereka merancang konsep yang disebut Creative Chaos Theory (teori kekacauan kreatif) sebuah rencana untuk mencapai tujuan politik, yang bertumpu pada penciptaan kekacauan, konflik, dan destabilisasi rezim demi mendorong perubahan yang menguntungkan pengaruh mereka di wilayah tertentu. Ini menjadi bukti, para penganut sistem kapitalisme memang sengaja menciptakan masalah dan krisis demi meraih keuntungan. Bagi mereka, cara seperti ini bukan hanya lazim, tapi juga dianggap sah dan lumrah.
Dalam konteks krisis layanan dasar, meskipun penyediaan layanan publik merupakan bagian kebijakan internal suatu negara –dan dalam beberapa kasus juga menyangkut kebijakan luar negeri terbatas seperti pengelolaan aliran air lintas negara– negara-negara imperialis mengendalikan persoalan ini di bawah hukum internasional dan melimpahkannya kepada lembaga serta organisasi internasional, padahal ini urusan dalam negeri negara tertentu atau urusan luar negeri yang terbatas. Organisasi-organisasi ini, yang berafiliasi dengan PBB dan bergerak di bidang pangan, kesehatan, pendidikan, pertanian, dan lainnya, sejatinya tidak pernah memberikan solusi nyata persoalan-persoalan global.
Kinerja mereka terbatas pada slogan kosong dan program yang seolah humanis di permukaan, namun sebenarnya merupakan alat kolonialisme yang diberi wewenang ikut campur urusan dalam negeri suatu negara. Mereka mengklaim memperjuangkan hak manusia atas pendidikan, pangan, dan obat-obatan; mengaku menjaga lingkungan, menyediakan layanan kesehatan, memberantas kelaparan dan malnutrisi, serta mengelola air, hutan, dan perikanan; bahkan mengklaim mendukung berbagai negara menyediakan layanan bagi rakyatnya. Namun, semua itu tak pernah terwujud secara nyata; yang dilakukan hanya menyusun laporan tentang kondisi internal negara dan sumber daya ekonominya. Lebih dari itu, mereka menjadi panggung utama penyebaran agenda imperialisme ideologis dan politik yang merusak tatanan masyarakat dari dalam.
Termasuk di antara lembaga internasional yang memiliki kewenangan untuk campur tangan urusan ekonomi domestik dan menetapkan keputusan yang wajib dijalankan oleh suatu negara adalah Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Negara-negara yang menerima pinjaman dari lembaga-lembaga ini harus tunduk pada serangkaian syarat yang ketat, yang menyentuh langsung kebijakan internal dan struktur ekonomi mereka.
Pada kenyataannya, syarat-syarat tersebut justru menghambat negara menyelesaikan krisis ekonomi, bahkan malah memperparahnya. Contohnya adalah Mesir, salah satu negara dengan tingkat pinjaman tertinggi dari IMF di kawasan Arab dan Islam. Meski telah menjadikan IMF sebagai rujukan utama dalam menangani krisis ekonomi selama puluhan tahun, namun alih-alih mengalami perbaikan ekonomi, krisis di Mesir justru semakin memburuk. Kondisi ini disebabkan syarat-syarat yang diberlakukan IMF, seperti: pelepasan nilai tukar mata uang (floating), penghapusan subsidi energi dan kebutuhan pokok, kenaikan harga barang dan jasa, peningkatan pajak, privatisasi aset-aset negara, dan syarat-syarat lainnya yang menyebabkan terjadinya inflasi besar-besaran.
Di sisi lain, negara-negara imperialis telah merancang berbagai perjanjian yang berkaitan langsung dengan sumber daya, seperti perjanjian air dan pengelolaannya –termasuk sungai lintas negara yang membahas pembagian air secara adil bagi masyarakat yang bergantung pada aliran tersebut. Selain itu, ada pula perjanjian yang bersifat tidak langsung seperti kesepakatan iklim, pemanasan global, dan perjanjian industri. Semua perjanjian ini sejatinya merupakan keputusan yang dipaksakan kepada banyak negara, baik dalam urusan domestik maupun kebijakan luar negeri mereka. Dengan demikian, perjanjian-perjanjian tersebut berfungsi sebagai instrumen imperialisme modern.
Dengan demikian, negara-negara besar kapitalis telah melampaui batas mencampuri urusan dalam negeri negara-negara lain, termasuk dalam hal layanan publik, melalui hukum internasional, lembaga-lembaganya, dan berbagai perjanjian global. Campur tangan ini justru memperburuk dan memperumit berbagai persoalan, hingga seluruh dunia kini mengalami kesulitan dalam bidang pangan, kesehatan, pendidikan, dan sektor layanan lainnya –meskipun tingkat penderitaannya berbeda-beda. Adapun dunia Islam, negara-negara di dalamnya merupakan pihak yang paling terdampak dan paling menderita dalam krisis layanan dasar tersebut.
Khusus di dunia Islam, terdapat sejumlah akar permasalahan mendalam yang turut menyebabkan krisis layanan publik, seperti buruknya negara dalam mengurus kepentingan rakyat, lemahnya pengelolaan sumber daya dan kekayaan alam, serta kelalaian dalam membina potensi manusia berupa pemikir, ahli, dan tenaga kerja. Semua ini berpangkal pada penerapan sistem non-Islam, menggantikan sistem Islam yang adil, yang sejatinya mewajibkan pemimpin bersungguh-sungguh mengurus urusan rakyatnya, mengelola kehidupan mereka, dan menjamin kesejahteraan semaksimal mungkin. Bahkan Khalifah Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata di masa pemerintahannya:
لو تعثرت بغلة في العراق لخشيت أن يسألني الله عنها يوم القيامة: لم لم تمهد لها الطريق يا عمر؟
“Seandainya seekor keledai jatuh tersandung di Irak, aku khawatir Allah akan menanyaiku pada hari kiamat: Mengapa engkau tidak memperbaiki jalan untuknya, wahai Umar?”
Termasuk pula penyebab krisis di dunia Islam adalah naiknya para penguasa tiran yang menjadi agen dan pengkhianat, yang menyerahkan negeri-negeri muslim kepada Barat untuk dijarah kekayaan dan sumber dayanya. Mereka menenggelamkan masyarakat dalam berbagai krisis demi mengalihkan perhatian rakyat dari tuntutan perubahan dan dari upaya mengembalikan kekuasaan umat, sekaligus untuk menyenangkan tuan imperialis mereka.
Jika ditelusuri lebih jauh, kekayaan dan sumber daya alam di negeri-negeri Islam sangatlah melimpah dan beragam, cukup untuk menyediakan layanan publik yang berkualitas tinggi bagi masyarakat, menjamin kehidupan yang layak dan bermartabat. Namun, karena beragam sebab yang telah disebutkan, yang tampak bukanlah kemakmuran melainkan krisis demi krisis –terutama kekayaan alam di bawah tanah yang justru diserahkan para penguasa pengkhianat kepada para imperialis agar mereka bisa mengeksploitasi dan menguasai sepenuhnya.
Sebagai contoh, salah satu kekayaan alam yang dimiliki negeri-negeri Islam adalah sumber daya air. Negeri muslim, sangat kaya akan air, baik yang berasal dari permukaan maupun dari bawah tanah. Namun ironisnya, banyak negara tersebut justru mengalami kekurangan air bersih yang layak dikonsumsi. Masalah ini bersifat umum dan meluas.
Contoh faktual, dua negara yang dilalui Sungai Nil, yakni Mesir dan Sudan, menghadapi ancaman serius kekurangan air minum. Keduanya bahkan berisiko masuk kategori wilayah dengan kelangkaan air. Krisis ini muncul akibat pembangunan Bendungan Renaisans Ethiopia yang secara sepihak mengurangi jatah air bagi Mesir dan Sudan secara tidak adil.
Selain itu, kualitas air Sungai Nil juga semakin memburuk akibat pencemaran limbah kimia, pertanian, dan limbah yang menggangu kesehatan lainnya. Sayangnya, pemerintah di kedua negara belum menunjukkan upaya nyata mencegah atau mengatasi pencemaran tersebut, padahal solusi teknis sangat mungkin dilakukan jika ada komitmen dan kepemimpinan yang bijak.
Kondisi ini diperparah campur tangan asing yang memperdalam krisis, seperti konflik internal di Sudan yang disebut-sebut dikendalikan kepentingan Amerika Serikat. Perang saudara tersebut telah memperburuk situasi air bersih di Sudan, menjadikan krisis semakin kompleks dan mendesak untuk ditangani.
Demikian pula Irak, negeri yang dialiri Sungai Tigris dan Eufrat, kini menghadapi krisis air yang serius. Penyebab utamanya bukan kekurangan sumber daya, melainkan korupsi dalam pemerintahan dan menurunnya debit air akibat pembangunan bendungan besar di wilayah Turki yang mengurangi aliran ke Irak secara signifikan.
Bahkan negeri-negeri yang tidak memiliki sumber air permukaan pun sebenarnya kaya akan air tanah. Banyak negeri muslim seperti Arab Saudi, Aljazair, Yordania dan selainnya mengandalkan air bawah tanah sebagai sumber utama. Artinya, krisis air bersih bukanlah akibat dari minimnya ketersediaan air, melainkan dari buruknya pengelolaan –karena sumber air permukaan maupun air dalam tanah negeri muslim sejatinya berlimpah.
Selain sumber air tadi, melalui teknologi modern seperti desalinasi air laut pun memungkinkan air laut diubah menjadi air layak pakai, termasuk untuk pertanian. Namun, minimnya perhatian pemerintah, maraknya korupsi, dan tunduknya negara-negara tersebut pada tekanan serta perjanjian kekuatan asing justru menciptakan dan memperparah krisis yang ada.
Dalam konteks potensi penduduk, negara-negara di dunia Islam memiliki kekayaan luar biasa dalam bentuk sumber daya manusia. Masyarakat muslim dikenal sebagai masyarakat muda yang antusias dalam bekerja, belajar, dan mengembangkan keterampilan. Namun sayangnya, potensi ini sering kali tidak mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintahnya –mulai dari sistem pendidikan yang lemah hingga minimnya penciptaan lapangan kerja. Padahal, jika potensi ini diarahkan dan difasilitasi dengan baik, maka akan lahir para ahli, teknisi, dan profesional yang mampu memanfaatkan kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan industri untuk menciptakan layanan publik yang berkualitas dan berkelanjutan.
Salah satu contoh nyata lain buruknya layanan publik dalam masalah lingkungan adalah krisis sampah di Lebanon. Pada tahun 2015, masyarakat turun ke jalan menuntut solusi atas masalah sampah yang sudah mencapai titik kritis dan tak tertahankan. Padahal, di banyak negara maju, sampah justru dimanfaatkan sebagai sumber energi. Swedia, misalnya, menjadi pelopor dalam bidang ini dan bahkan mengimpor sampah dari negara lain guna diolah menjadi energi. Ini menunjukkan bahwa dengan teknologi industri yang tepat dan kebijakan yang visioner, masalah lingkungan bisa diubah menjadi peluang pembangunan.
Contoh lain dalam konteks pangan. Negara-negara Islam sejatinya memiliki potensi besar menjadi lumbung pangan dunia. Andai diberi perhatian dan disertai tata kelola sumber daya yang serius, baik dari sektor pertanian maupun peternakan, serta tenaga kerja muda yang siap diberdayakan, dunia Islam mampu memproduksi makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan global. Namun kenyataannya, umat Islam saat ini justru menghadapi kemiskinan dan kelaparan. Bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan karena lemahnya pengelolaan dan minimnya perhatian terhadap sektor pangan.
Kesimpulannya, akar dari berbagai krisis layanan publik di negeri-negeri muslim –mulai dari krisis air, lingkungan, demografi hingga pangan– terletak pada sistem pemerintahan yang ada dan ketundukan terhadap kekuatan imperialis serta perjanjian-perjanjiannya. Solusi mendasar yang ditawarkan adalah pendirian negara Islam yang mampu menjamin kehidupan yang mulia dan sejahtera. Bahkan ketika terjadi bencana alam seperti banjir, gempa bumi, atau kekeringan, sistem ekonomi yang diterapkan negara Islam tetap mampu menyediakan layanan dasar yang layak dan bermartabat bagi seluruh warga dalam segala kondisi.
(Sumber: al-Azmât al-Khidmâtiyyah fi al-‘Âlam al-Islâmî, dalam al-Wa’ie Arab edisi 470, Tahun ke-39, Rabiul Awwwal 1447/September 2025. Alih Bahasa: Yan S. Prasetiadi).

COMMENTS