Pemblokiran Harta Individu: Buah Sistem Kapitalisme
Pemblokiran Harta Individu: Buah Sistem Kapitalisme
Oleh Ummu Marsa
Pada akhir Juli 2025, publik dikejutkan oleh pernyataan Anggota Komisi XI DPR RI, Melchias Marcus Mekeng, yang menolak langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam memblokir rekening pasif atau dormant. Menurutnya, kebijakan tersebut sama saja dengan mengatur penggunaan uang pribadi seseorang—sebuah tindakan yang dinilai melampaui batas kewenangan negara terhadap hak milik individu (Republika.co.id, 29/7/2025).
Isu ini bukan sekadar teknis perbankan. Ia menyentuh akar persoalan tentang bagaimana negara memperlakukan warganya dalam sistem ekonomi yang dianut. PPATK, di bawah kepemimpinan Ivan Yustiavandana, berdalih bahwa pemblokiran rekening pasif bertujuan melindungi nasabah dari potensi penyalahgunaan rekening untuk kejahatan finansial. Namun, banyak pihak mempertanyakan logika dan dampak kebijakan ini, terutama bagi masyarakat yang sengaja membiarkan rekeningnya idle karena keterbatasan akses atau kebutuhan yang tidak rutin.
Di daerah-daerah, misalnya, rekening bank sering kali digunakan hanya untuk menerima bantuan sosial bagi pelajar, mahasiswa, atau pekerja informal. Rekening itu mungkin jarang dipakai, tetapi tetap penting. Jika kebijakan pemblokiran diterapkan secara kaku, maka kelompok-kelompok rentan ini bisa terdampak secara langsung.
Di sinilah wajah asli sistem kapitalisme mulai tampak. Negara, dalam sistem ini, bukan lagi pelindung rakyat, melainkan alat yang bisa menekan, bahkan merampas harta tanpa hak. Negara seolah terus mencari celah untuk mengambil kepemilikan rakyat secara mutlak, dengan dalih legalitas dan keamanan.
Sistem kapitalisme memiliki karakteristik yang khas:
- Aktivitas ekonomi digerakkan oleh motivasi keuntungan pribadi. Tidak ada batasan agama atau moral yang ketat selama masih legal menurut hukum negara.
- Distribusi kekayaan tidak diatur secara adil. Tanpa mekanisme seperti zakat, harta cenderung menumpuk di tangan segelintir orang atau korporasi besar.
- Negara sering tunduk pada kepentingan korporasi. Dalam banyak kasus, kebijakan negara justru berpihak pada pemilik modal besar, sementara rakyat dikorbankan.
- Pajak menjadi alat dominasi. Ia digunakan untuk mengambil harta rakyat, tetapi tidak selalu dibarengi dengan distribusi yang adil dan transparan.
- Transparansi dan perlindungan data menjadi masalah. Pemblokiran rekening bisa membuka celah bagi penyalahgunaan data atau penyitaan saldo tanpa prosedur yang jelas.
Meski kapitalisme menjunjung tinggi kepemilikan individu, negara tetap memiliki kewenangan untuk menyita atau memblokir harta dalam kondisi tertentu—misalnya jika seseorang diduga terlibat dalam tindak pidana, atau berdasarkan keputusan pengadilan. Mekanisme ini sering disebut sebagai alat penegakan hukum, namun dalam praktiknya bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik, ekonomi, atau bahkan sebagai bentuk represi terhadap oposisi.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memiliki pandangan yang jauh lebih adil dan komprehensif terhadap kepemilikan harta. Dalam Islam, harta adalah amanah dari Allah. Hak individu dijaga dengan ketat, namun negara (khilafah/daulah) tetap memiliki peran dalam mengatur harta masyarakat demi keadilan sosial dan kemaslahatan umum.
Allah SWT berfirman yang artinya:
"Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan batil."
(Terjemah QS. Al-Baqarah: 188)
Negara dalam Islam boleh campur tangan terhadap harta individu hanya dalam kondisi syar’i, seperti:
- Harta diperoleh secara haram.
- Terjadi kezaliman terhadap pihak lain.
- Pungutan zakat dan jizyah sesuai hukum syariat.
Islam tidak mengenal penyitaan harta secara semena-mena. Sebaliknya, Islam mengatur distribusi kekayaan melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang kaya. (Lihat QS. Al-Hasyr: 7)
Dalam sistem khilafah:
1. Harta individu adalah hak yang dijamin syariah.
Kepemilikan individu diakui selama diperoleh secara halal. Tidak boleh ada penyitaan harta tanpa hak, dan negara hanya boleh mengintervensi transaksi yang sah antarindividu.
2. Larangan perampasan dan kezaliman atas harta.
Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah suci atas kalian sebagaimana sucinya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini."
(HR. Bukhari dan Muslim)
3. Negara menjamin keamanan harta.
Khilafah bertanggung jawab menjaga agar harta individu tidak dicuri, dirampas, atau disalahgunakan oleh pihak mana pun, termasuk aparat negara.
4. Larangan pajak tetap atas harta individu.
Pajak hanya boleh dipungut dalam kondisi darurat, bukan sebagai pemasukan rutin. Sumber pemasukan negara berasal dari:
- Harta milik umum (minyak, gas, dll.)
- Zakat (untuk Muslim)
- Kharaj dan jizyah (untuk non-Muslim)
- Ghanimah (harta rampasan perang)
- Fa’i dan usyur
5. Sanksi tegas bagi pelanggaran terhadap harta.
- Pencurian: hukum potong tangan (dengan syarat ketat)
- Perampasan: wajib dikembalikan dan pelaku dihukum
- Riba, penipuan, dan manipulasi: dilarang keras dan dikenai sanksi
Jika sistem Islam diterapkan secara kaffah, maka akan tercipta ketenteraman hidup di dunia dan keselamatan di akhirat. Islam bukan hanya menawarkan sistem ekonomi yang adil, tetapi juga menjamin perlindungan hak milik individu secara menyeluruh.[]
Wallahu a'lam bish-shawab.

COMMENTS