Kisruh Haji, di Mana Tanggung Jawab Negara ?
Kisruh Haji, di Mana Tanggung Jawab Negara ?
Dalam pandangan Islam, Khalifah (pemimpin umat) adalah raa’in—penggembala yang bertanggung jawab penuh atas urusan umat. Sebagai pemimpin umum kaum Muslimin, seorang Khalifah bertugas memastikan bahwa ibadah haji—rukun Islam kelima—terlaksana dengan sempurna, aman, dan nyaman bagi seluruh jamaah, tanpa terkecuali.
Pelayanan haji tidak sebatas urusan spiritual, melainkan juga teknis dan logistik. Khalifah bertugas mengatur segala kebutuhan jamaah, mulai dari penginapan, tenda, konsumsi, hingga layanan transportasi di wilayah Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Tanggung jawab ini mencerminkan amanah besar yang diemban oleh pemimpin dalam sistem Islam.
Konsep ini ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah dalam As-Siyasah as-Syar’iyyah, bahwa Khalifah diangkat untuk menggantikan fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Maka dari itu, pengurusan haji termasuk dalam tanggung jawab langsung kepemimpinan Islam¹.
Dalam struktur Khilafah, bahkan jika pengurusan teknis haji dilimpahkan kepada penguasa lokal Haramain, tetap Khalifah sebagai kepala negara akan menaungi dan memberi arahan. Gubernur Makkah dan Madinah adalah bagian dari sistem pemerintahan pusat, dan mereka bekerja sesuai instruksi Khalifah demi memastikan kelancaran ibadah haji.
Perhatian ini bukan teori semata. Dalam sejarah Islam, perhatian negara terhadap ibadah haji sangat nyata. Pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur air dan tempat istirahat sepanjang rute haji dari Irak hingga Makkah. Al-Maqrizi mencatat bahwa setiap beberapa jarak tertentu disediakan tempat beristirahat dan air minum bagi jamaah². Hal ini menunjukkan bahwa negara menjadikan haji sebagai tanggung jawab negara, bukan semata-mata urusan individu.
Lebih jauh, pada era Kekhilafahan Utsmaniyah, Sultan Abdulhamid II memprakarsai pembangunan jalur kereta Hijaz Railway yang menghubungkan Damaskus ke Madinah. Jalur ini dibangun bukan semata-mata untuk keperluan militer, tetapi agar jamaah haji dari wilayah Syam, Anatolia, dan sekitarnya bisa berhaji dengan cepat, murah, dan aman³.
Pelayanan teknis juga menjadi perhatian. Negara menugaskan petugas dalam jumlah cukup dan memberikan pelatihan agar bisa melayani jamaah secara profesional. Dalam Fathul Bari, Ibn Hajar menyebut bahwa Khalifah mengangkat amirul hajj—pemimpin rombongan haji—yang bertugas memastikan logistik, keamanan, dan kesehatan jamaah selama perjalanan haji berlangsung⁴.
Yang membuat pelayanan ini berjalan optimal adalah sistem keuangan Islam yang diterapkan dalam Khilafah. Negara Islam memiliki baitul mal, kas negara yang mengelola berbagai sumber pendapatan halal seperti fai’, kharaj, jizyah, zakat, hasil tambang, dan harta milik umum. Semua ini bukan untuk memperkaya elite penguasa, melainkan untuk kemaslahatan rakyat.
Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal menyatakan bahwa baitul mal adalah hak seluruh kaum Muslimin dan Khalifah wajib mengelolanya dengan amanah⁵. Dana ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk membiayai perjalanan haji bagi mereka yang tidak mampu.
Bahkan, dalam Tarikh al-Khulafa’, as-Suyuthi menyebut bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar rakyat yang ingin berhaji tapi tidak memiliki kemampuan, dibantu menggunakan dana baitul mal⁶. Negara hadir sebagai pelindung dan pelayan umat, bukan pedagang yang mencari keuntungan dalam ibadah.
Inilah pelayanan paripurna dalam ibadah haji yang hanya dapat terwujud dalam sistem Khilafah. Ketika seluruh negeri Muslim dipersatukan dalam satu kepemimpinan, potensi ekonomi dan sumber daya akan terkonsolidasi. Sistem ini memungkinkan negara membiayai umat dari berbagai penjuru dunia agar bisa menjalankan ibadah haji dengan khusyuk, aman, dan mulia—tanpa diskriminasi dan tanpa komersialisasi.
Wallahualam bissawab.
Catatan Kaki
¹ Ibn Taymiyyah, As-Siyasah as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah, hal. 5
² Al-Maqrizi, Al-Khitat, Juz 2, hal. 327
³ William Ochsenwald, Religion, Society, and the State in Arabia, Cambridge University Press
⁴ Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Syarh Shahih al-Bukhari, Kitab al-Hajj
⁵ Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam, Al-Amwal, hal. 300–310
⁶ As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, hal. 208
COMMENTS