Bisnis Menggiurkan di Balik Punahnya Raja Ampat
Bisnis Menggiurkan di Balik Punahnya Raja Ampat
Oleh : Evie Andriani | Aktivis Muslimah Peduli Umat
Indonesia mampu menghipnotis dunia dengan keindahan dan keanekaragaman alamnya. Salah satunya pulau yang terletak di provinsi Papua Barat Daya yaitu Raja ampat. Pulau yang terkenal dengan sebutan syurga terakhir di muka bumi. Menyimpan lebih dari 553 spesies karang yang merupakan 75℅ spesies karang dunia. Sehingga menjadikannya sebagai salah satu ekosistem laut terkaya.
Tak hanya itu, Raja Ampat memiliki keanekaragaman hayati darat yang luar biasa, seperti burung endemik cendrawasih merah dan burung maleo waigeo. Sehingga menjadikan pulau Gam dan Salawati spot ideal untuk bird watching. Hutan tropisnya habitat mamalia kecil, reptil dan serangga endemik. Vegetasi liar dan tanaman obat tradisional memperkaya ekosistem daratnya. Wajar dan pantas jika UNESCO menjadikan Raja Ampat sebagai Global Geopark yang harus dilindungi kelestariannya.
Keserakahan Oligarki Membawa Petaka Raja Ampat
Di balik kekayaan sumber daya alam dan lautnya, Raja ampat banyak menyimpan cadangan nikel. Tapi hal inilah yang membawa petaka. Karena keserakahan dan ambisi besar penguasa dan pengusaha yang saling bersimbiosis mutualisme ingin meraup keuntungan dari keberlimpahan nikel tersebut.
Aktivitas penambang nikel di Raja ampat telah mengakibatkan deforestasi mencapai ratusan hektar. Deforestasi ini menghilangkan habitat alami berbagai spesies dan meningkatkan terjadinya resiko erosi dan tanah longsor. Penambangan juga memicu sedimentasi tinggi yang mencemari perairan laut. Kekeruhan air laut akibat sedimentasi merusak terumbu karang dan mengganggu kehidupan biodata laut lainnya.
Apa yang terjadi di Raja Ampat akhirnya membuka tabir perburuan bahan tambang nikel oleh para kaum kapitalis/oligarki. Mereka seolah tak peduli dengan kondisi sosial, ekonomi, dan ekologis. Mereka tergiur untuk memperkaya diri dan kroni tanpa memikirkan penderitaan rakyat akibat eksplorasi nikel tersebut.
mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, secara gamblang menyebut nama-nama besar yang menurutnya harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan carut-marut perizinan tambang di Papua Barat. Dalam podcast Abraham Samad SPEAK UP yang tayang pada Kamis (12/6/2025), Said Didu menuding bahwa skandal tambang di Raja Ampat bukan hanya soal tambang ilegal, tapi sudah menyentuh struktur kekuasaan tertinggi. (Bongkar Tambang Raja Ampat: Said Didu Sebut Bahlil, Luhut, hingga Jokowi Harus Bertanggung Jawab)
Hal seperti ini wajar terjadi mengingat negara hari ini diatur dengan sistem kapitalisme. Membuka selebar-lebarnya swasta asing untuk memiliki Sumber Daya Alam (SDA) milik rakyat. Negara dipinggirkan. Negara tak diperbolehkan ikut serta mengelola kekayaan alam milik rakyat. Dalam sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, SDA justru menjadi alat akumulasi kekayaan segelintir elite. Buah dari prinsip dasar kapitalisme itu sendiri yang cacat filosofi dan moral. Itu semua terjadi karena kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai orientasi utama. Akibatnya kerusakan alam dianggap sebagai biaya eksternalitas yang tak diperhitungkan secara serius.
Raja Ampat dalam Sistem Islam
Dalam Islam konsep kepemilikan sangat penting dan menjadi pijakan dalam mengatur hubungan antara manusia dan harta benda. SDA dalam jumlah besar yang berupa air, padang rumput serta isi perutnya (barang tambang) dan api (sumber energi) dikategorikan sebagai milkiyyah a'mmah (kepemilikan umum). Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad.
Hadist mulia ini menjelaskan tiga jenis SDA yang vital tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu dan swasta. Negara memiliki kewajiban mutlak untuk mengelola SDA secara langsung melalui badan badan khusus milik negara.
Islam juga melarang eksploitasi berlebihan yang merusak lingkungan dan mengancam kelangsungan hidup. Allah SWT berfirman dalam sura tar Rum ayat 41 :
Artinya : Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ayat mulia ini mengingatkan bahwa keserakahan manusia termasuk eksploitasi SDA tanpa syari’at membawa bencana ekologis. Karena itu Islam akan memastikan pengelolaan SDA harus sesuai dengan tuntunan syari'at yang tak menimbulkan kerusakan dan kerugian. Hasil eksploitasi SDA tersebut sepenuhnya didistribusikan kepada seluruh rakyat, baik dalam bentuk barang maupun layanan. Sungguh syari’at Islam tak anti penambangan. Tapi Islam mengaturnya dengan dikelola sepenuhnya oleh negara secara benar bagi kemaslahatan umat hari ini dan masa depan.
Wallahu a'lam bish shawabi
COMMENTS