Mengurai Masalah Buruh yang Kompleks Perspektif Islam

Mengurai Masalah Buruh yang Kompleks Perspektif Islam

Mengurai Masalah Buruh yang Kompleks Perspektif Islam Setiap tanggal 1 Mei, biasanya diperingati Hari Buruh Internasional atau May Day. Peringatan itu semenjak 1890 hingga kini, seolah menjadi ritual tahunan para buruh memperjuangkan nasibnya, yang mana selalu mereka gunakan sebagai momentum melakukan aksi besar-besaran untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan. Sungguh tragis memang nasib buruh di negeri ini, niat hati mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit, namun malah mendapatkan banyak masalah baru yang menanti mereka di dunia kerja. Bila dicermati, di negara berkembang umumnya problem buruh berkutat sekitar sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, gaji yang rendah, serta jaminan sosial yang selalu bermasalah. Belum lagi kasus perlakuan pengusaha yang merugikan pekerja, seperti perlakuan buruk, tindak asusila, penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab, beribadah, dan lain sebagainya.  *Akar Masalah Perburuhan*  Masalah perburuhan jelas muncul akibat penerapan ideologi kapitalisme dengan doktrinnya tentang peran negara, kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan standar penentuan upah. Sebagaimana diketahui, kapitalisme menggariskan agar peran negara mengatur urusan masyarakat dibuat seminimal mungkin. Kapitalisme mengajarkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok individu masyarakat baik pangan, papan dan sandang menjadi tanggungjawab individu itu sendiri, begitu pula pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan keamanan.  Sementara problem yang langsung terkait dengan buruh muncul akibat digunakannya kebutuhan hidup (living cost) minimum sebagai standar penetapan gaji. Pekerja tidak mendapatkan gaji mereka yang seharusnya. Mereka hanya mendapatkan sesuatu yang cukup sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Karena itu, terjadilah ketidakadilan dan eksploitasi para kapitalis terhadap kaum buruh. Di situlah kemudian muncul gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dsb. Kaum Kapitalis akhirnya terpaksa memasukkan sejumlah revisi ke dalam konsepnya. Namun karena negara tidak boleh atau harus seminimal mungkin mengurusi urusan rakyat, maka berbagai hal yang menjadi tuntutan itu pun dikaitkan dengan kontrak kerja. Kontrak kerja akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan aturan yang diklaim melindungi kaum buruh dan memberikan hak mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berkumpul dan berserikat, hak mogok, pemberian pensiun, dan pesangon. Juga hak peningkatan gaji, libur dan cuti, jaminan berobat, tunjangan pendidikan dan sebagainya. (Al-Maliki, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutsla, 1963).  Hanya saja, karakter sistem ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan membuat aturan dan ketentuan yang dibuat harus tetap memberikan iklim kondusif bagi investasi. Sedangkan penarik investasi itu adalah upah buruh harus rendah. Namun tentu saja harus tetap bisa dipersuasikan tidak mengorbankan kepentingan buruh. Disitulah akhirnya aturan tetap lebih menguntungkan investor (kapitalis). Disisi lain kepada buruh cukuplah diberikan hak dan kepentingan mereka pada level minimal.  Jadi, problematika ini sebetulnya muncul akibat implementasi kapitalisme dalam mengatur masalah perburuhan secara khusus dan pengelolaan urusan masyarakat secara umum. Dalam menyelesaikan problem ketenagakerjaan ini, Islam memiliki solusi fundamental, yang bisa dijabarkan, sebagai berikut:  *Upah Rendah*  Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya.  Untuk menambal ini, pemerintah biasanya membuat batas minimum gaji yang harus dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK), atau upah minimum sektoral provinsi (UMSP). (UU No. 7, 2013, Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi).  Penetapan upah minimum dan yang sejenisnya sendiri sebenarnya ‘sangat bermasalah’ dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan keadilan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan upah minimum di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh ‘malas’ untuk memaksa pengusaha memberi gaji maksimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi). Di sisi lain upah minimum kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, meskipun si buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi suatu perusahaan. (Serial Syariah Islam: Politik Perburuhan dalam Islam, 2008).  Karenanya menurut Islam, dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan adalah jasa tenaga yang diberikan oleh pekerja, bukan living cost terendah. Sehingga, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para pengusaha. Buruh dan pegawai negeri sama statusya, sebab buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat. Jika terjadi sengketa antara buruh dan pengusaha dalam menentukan upah, maka pakarlah yang menentukan upah sepadan tersebut. Pakar ini dipilih kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negara akan memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negara Islam yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut. Dengan demikian, negara tidak perlu mematok upah minimum tertentu. Bahkan, pematokan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa. Maka, tidak boleh ada pihak lain yang intervensi dalam penentuannya. (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm, 2004).  *Kesejahteraan Hidup*  Problem ini lebih dipengaruhi oleh kebijakan sistem dan politik ekonomi. Dan itu tentu saja adalah ranahnya negara. Karena itu dalam masalah ini, Islam membebankan penyelesaiannya langsung kepada negara. Bukan oleh individu, maupun pengusaha.  Dalam Islam, setiap orang berhak mendapatkan kesejahteraan. Islam menetapkan dua jalan untuk memenuhi semua kebutuhan: Pertama, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, dibebankan kepada setiap individu masyarakat. Baik dipenuhi langsung atau melalui ayah, wali dan ahli waris. Kecuali tidak mampu/lemah maka negara akan berperan langsung. Kedua, kebutuhan biaya pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan, ini adalah tanggung jawab negara secara langsung, untuk menyediakannya bagi masyarakat. Negara tidak membebani rakyat untuk menanggung sendiri biaya pendidikan, kesehatan dan keamanannya, apalagi dengan biaya yang melambung tinggi.  Selain itu negara pun memiliki tanggung jawab menyediakan berbagai fasilitas yang memudahkan rakyat untuk berusaha atau bekerja. Mulai dari kemudahan permodalan, keahlian dan regulasi yang mendukung. Adapun subsidi negara dari harta Baitul Mal adalah hak rakyat. Sebagaimana Umar ra mengambil harta Baitul Mal untuk menyediakan benih dan pupuk bagi para petani di Irak. Demikian pula Rasul Saw membayar hutang-hutang seorang warga yang tidak mampu. Abu Bakar dan Umar ra juga memberikan lahan siap tanam kepada warga untuk menjadi modal usahanya. (Al-Badri, Al-Islâm Dhâmin Li al-Hâjât al-Asâsiyyah, 1408).  Dengan diberlakukan sistem ekonomi Islam, negara akan mampu berperan sebagai penanggung jawab terpenuhinya kesejahteraan rakyat. Lapangan kerja tersedia memadai, kualitas SDM unggul disiapkan dengan tanggungan biaya negara, kebutuhan energi (listrik, BBM, transportasi) bisa dijangkau karena harga relatif murah atau bahkan bisa saja gratis. Ditambah biaya pendidikan dan kesehatan yang diperoleh rakyat secara gratis. Dengan semua mekanisme itu, kebutuhan hidup masing-masing warga negara begitu mudah didapat. Maka bekerja akan menjadi salah satu cara seorang muslim menaikkan derajatnya di mata Allah Swt, karena mencurahkan tenaga dan keringatnya untuk beribadah memenuhi kewajibannya dan tidak saja untuk mencari manfaat lebih besar, tetapi juga untuk memberi manfaat lebih besar. Bekerja bukan menjadi satu-satunya cara memperoleh kesejahteraan. Apalagi menjadi buruh (ajir) juga hanya salah satu diantara pilihan pekerjaan, karena lapangan kerja tersedia memadai. Posisi tawar buruh dengan pengusaha adalah setara. Bagi mereka yang memilih membuka usahanya sendiri maka ada banyak kemudahan disediakan oleh negara Islam. (Al Banjary, Bagaimana Islam Mengatasi Persoalan Buruh, 2012).  *Gelombang PHK*  Salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh adalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). PHK ini menjadi salah satu sumber pengangguran di Indonesia. Bila merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di tanah air pada bulan Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang. Pada tahun 2024 ini, data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan, ada 7.694 buruh dalam negeri yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari-Februari 2024. Pada awal tahun ini, pemecatan paling banyak terjadi di DKI Jakarta dengan jumlah 3.651 orang atau 47,45% dari total buruh ter-PHK secara nasional. (databoks.katadata. co. id, 25/4/2024).  PHK sejatinya adalah perkara yang wajar dalam dunia kerja, asalkan sesuai dengan kesepakatan kerja bersama (KKB), baik pihak pekerja maupun pengusaha harus ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja ini. Namun, dalam kondisi ketika tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK bisa menjadi ‘ancaman’ yang sangat menakutkan para buruh. Secara umum PHK terjadi karena beberapa sebab, seperti permintaan sendiri, berakhirnya masa kontrak kerja, kesalahan buruh, masa pensiun, kesehatan atau kondisi fisik yang tidak memungkinkan, atau karena meninggal dunia.  Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan buruh pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan, yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya. Jadi solusinya kembali kepada penyelesaian masalah sebelumnya, yakni terkait peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. (Politik Perburuhan dalam Islam, 2008).  *Problem Tambahan*  Selain masalah yang sudah disebutkan sebelumnya, terdapat pula problem lain yang mencuat dalam masalah ketenagakerjaan ini. Semisal masalah mogok kerja, hak berserikat dan berkumpul, hak jaminan kesehatan, pensiun dll.  Mengenai mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Sebab, kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah merupakan akad yang mengikat, bukan akad sukarela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya ketika demo. Tentang dana pensiun, penghargaan, kompensasi, jaminan kesehatan yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal-sulam sistem ekonomi kapitalisme untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Padahal kewajiban ini merupakan kewajiban negara, bukan kewajiban pengusaha atau perusahaan.  Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para pengusaha. Hanya saja, kebolehan berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda. Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas  pelayanan publik (ri’âyah as-syu’ûn) yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan pelayanan publik tidak diberikan kepada yang lain, selain hanya kepada negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap kewajiban ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh. (Hafidz Abdurrahman, Cara Islam Mengatasi Masalah Perburuhan, 2012).  Kesimpulannya, problem buruh merupakan akibat sistem kapitalisme dalam mengatur masalah ketenagakerjaan. Sedangkan dalam Islam, negara wajib berperan dalam memenuhi kebutuhan rakyat, sehingga penentuan upah bukan berdasar living cost terendah yang dipatok negara, namun kembali pada peran atau jasa yang diberikan pekerja kepada perusahaan. Sehingga tercipta kesetaraan antara pekerja dan pengusaha, dimana PHK bukan ancaman, namun hanya sebuah pemutusan akad biasa. Dan ketika Islam diterapkan, serikat pekerja dan yang semisalnya tidak dibutuhkan, sebab negara sudah menjamin semua kebutuhan rakyat dengan jaminan yang melebihi ekspektasi peradaban manapun. Karena itu ekistensi sistem Islam sejatinya sangat krusial dan satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan tatanan ketenagakerjaan yang adil, manusiawi, dan diridhai Allah SWT.  Disadur & diadaptasi dari buku: Islam Rahmatan Lil Alamin, Solusi Bagi Indonesia. Kaaffah Media (2016): hlm 363-369

Mengurai Masalah Buruh yang Kompleks Perspektif Islam

Setiap tanggal 1 Mei, biasanya diperingati Hari Buruh Internasional atau May Day. Peringatan itu semenjak 1890 hingga kini, seolah menjadi ritual tahunan para buruh memperjuangkan nasibnya, yang mana selalu mereka gunakan sebagai momentum melakukan aksi besar-besaran untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan. Sungguh tragis memang nasib buruh di negeri ini, niat hati mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit, namun malah mendapatkan banyak masalah baru yang menanti mereka di dunia kerja. Bila dicermati, di negara berkembang umumnya problem buruh berkutat sekitar sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, gaji yang rendah, serta jaminan sosial yang selalu bermasalah. Belum lagi kasus perlakuan pengusaha yang merugikan pekerja, seperti perlakuan buruk, tindak asusila, penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab, beribadah, dan lain sebagainya.

Akar Masalah Perburuhan

Masalah perburuhan jelas muncul akibat penerapan ideologi kapitalisme dengan doktrinnya tentang peran negara, kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan standar penentuan upah. Sebagaimana diketahui, kapitalisme menggariskan agar peran negara mengatur urusan masyarakat dibuat seminimal mungkin. Kapitalisme mengajarkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok individu masyarakat baik pangan, papan dan sandang menjadi tanggungjawab individu itu sendiri, begitu pula pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Sementara problem yang langsung terkait dengan buruh muncul akibat digunakannya kebutuhan hidup (living cost) minimum sebagai standar penetapan gaji. Pekerja tidak mendapatkan gaji mereka yang seharusnya. Mereka hanya mendapatkan sesuatu yang cukup sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Karena itu, terjadilah ketidakadilan dan eksploitasi para kapitalis terhadap kaum buruh. Di situlah kemudian muncul gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dsb. Kaum Kapitalis akhirnya terpaksa memasukkan sejumlah revisi ke dalam konsepnya. Namun karena negara tidak boleh atau harus seminimal mungkin mengurusi urusan rakyat, maka berbagai hal yang menjadi tuntutan itu pun dikaitkan dengan kontrak kerja. Kontrak kerja akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan aturan yang diklaim melindungi kaum buruh dan memberikan hak mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berkumpul dan berserikat, hak mogok, pemberian pensiun, dan pesangon. Juga hak peningkatan gaji, libur dan cuti, jaminan berobat, tunjangan pendidikan dan sebagainya. (Al-Maliki, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutsla, 1963).

Hanya saja, karakter sistem ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan membuat aturan dan ketentuan yang dibuat harus tetap memberikan iklim kondusif bagi investasi. Sedangkan penarik investasi itu adalah upah buruh harus rendah. Namun tentu saja harus tetap bisa dipersuasikan tidak mengorbankan kepentingan buruh. Disitulah akhirnya aturan tetap lebih menguntungkan investor (kapitalis). Disisi lain kepada buruh cukuplah diberikan hak dan kepentingan mereka pada level minimal.

Jadi, problematika ini sebetulnya muncul akibat implementasi kapitalisme dalam mengatur masalah perburuhan secara khusus dan pengelolaan urusan masyarakat secara umum. Dalam menyelesaikan problem ketenagakerjaan ini, Islam memiliki solusi fundamental, yang bisa dijabarkan, sebagai berikut:

Upah Rendah

Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya.

Untuk menambal ini, pemerintah biasanya membuat batas minimum gaji yang harus dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK), atau upah minimum sektoral provinsi (UMSP). (UU No. 7, 2013, Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi).

Penetapan upah minimum dan yang sejenisnya sendiri sebenarnya ‘sangat bermasalah’ dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan keadilan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan upah minimum di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh ‘malas’ untuk memaksa pengusaha memberi gaji maksimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi). Di sisi lain upah minimum kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, meskipun si buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi suatu perusahaan. (Serial Syariah Islam: Politik Perburuhan dalam Islam, 2008).

Karenanya menurut Islam, dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan adalah jasa tenaga yang diberikan oleh pekerja, bukan living cost terendah. Sehingga, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para pengusaha. Buruh dan pegawai negeri sama statusya, sebab buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat. Jika terjadi sengketa antara buruh dan pengusaha dalam menentukan upah, maka pakarlah yang menentukan upah sepadan tersebut. Pakar ini dipilih kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negara akan memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negara Islam yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut. Dengan demikian, negara tidak perlu mematok upah minimum tertentu. Bahkan, pematokan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa. Maka, tidak boleh ada pihak lain yang intervensi dalam penentuannya. (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm, 2004).

Kesejahteraan Hidup

Problem ini lebih dipengaruhi oleh kebijakan sistem dan politik ekonomi. Dan itu tentu saja adalah ranahnya negara. Karena itu dalam masalah ini, Islam membebankan penyelesaiannya langsung kepada negara. Bukan oleh individu, maupun pengusaha.

Dalam Islam, setiap orang berhak mendapatkan kesejahteraan. Islam menetapkan dua jalan untuk memenuhi semua kebutuhan: Pertama, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, dibebankan kepada setiap individu masyarakat. Baik dipenuhi langsung atau melalui ayah, wali dan ahli waris. Kecuali tidak mampu/lemah maka negara akan berperan langsung. Kedua, kebutuhan biaya pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan, ini adalah tanggung jawab negara secara langsung, untuk menyediakannya bagi masyarakat. Negara tidak membebani rakyat untuk menanggung sendiri biaya pendidikan, kesehatan dan keamanannya, apalagi dengan biaya yang melambung tinggi.

Selain itu negara pun memiliki tanggung jawab menyediakan berbagai fasilitas yang memudahkan rakyat untuk berusaha atau bekerja. Mulai dari kemudahan permodalan, keahlian dan regulasi yang mendukung. Adapun subsidi negara dari harta Baitul Mal adalah hak rakyat. Sebagaimana Umar ra mengambil harta Baitul Mal untuk menyediakan benih dan pupuk bagi para petani di Irak. Demikian pula Rasul Saw membayar hutang-hutang seorang warga yang tidak mampu. Abu Bakar dan Umar ra juga memberikan lahan siap tanam kepada warga untuk menjadi modal usahanya. (Al-Badri, Al-Islâm Dhâmin Li al-Hâjât al-Asâsiyyah, 1408).

Dengan diberlakukan sistem ekonomi Islam, negara akan mampu berperan sebagai penanggung jawab terpenuhinya kesejahteraan rakyat. Lapangan kerja tersedia memadai, kualitas SDM unggul disiapkan dengan tanggungan biaya negara, kebutuhan energi (listrik, BBM, transportasi) bisa dijangkau karena harga relatif murah atau bahkan bisa saja gratis. Ditambah biaya pendidikan dan kesehatan yang diperoleh rakyat secara gratis. Dengan semua mekanisme itu, kebutuhan hidup masing-masing warga negara begitu mudah didapat. Maka bekerja akan menjadi salah satu cara seorang muslim menaikkan derajatnya di mata Allah Swt, karena mencurahkan tenaga dan keringatnya untuk beribadah memenuhi kewajibannya dan tidak saja untuk mencari manfaat lebih besar, tetapi juga untuk memberi manfaat lebih besar. Bekerja bukan menjadi satu-satunya cara memperoleh kesejahteraan. Apalagi menjadi buruh (ajir) juga hanya salah satu diantara pilihan pekerjaan, karena lapangan kerja tersedia memadai. Posisi tawar buruh dengan pengusaha adalah setara. Bagi mereka yang memilih membuka usahanya sendiri maka ada banyak kemudahan disediakan oleh negara Islam. (Al Banjary, Bagaimana Islam Mengatasi Persoalan Buruh, 2012).

Gelombang PHK

Salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh adalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). PHK ini menjadi salah satu sumber pengangguran di Indonesia. Bila merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di tanah air pada bulan Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang. Pada tahun 2024 ini, data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan, ada 7.694 buruh dalam negeri yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari-Februari 2024. Pada awal tahun ini, pemecatan paling banyak terjadi di DKI Jakarta dengan jumlah 3.651 orang atau 47,45% dari total buruh ter-PHK secara nasional. (databoks.katadata. co. id, 25/4/2024).

PHK sejatinya adalah perkara yang wajar dalam dunia kerja, asalkan sesuai dengan kesepakatan kerja bersama (KKB), baik pihak pekerja maupun pengusaha harus ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja ini. Namun, dalam kondisi ketika tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK bisa menjadi ‘ancaman’ yang sangat menakutkan para buruh. Secara umum PHK terjadi karena beberapa sebab, seperti permintaan sendiri, berakhirnya masa kontrak kerja, kesalahan buruh, masa pensiun, kesehatan atau kondisi fisik yang tidak memungkinkan, atau karena meninggal dunia.

Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan buruh pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan, yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya. Jadi solusinya kembali kepada penyelesaian masalah sebelumnya, yakni terkait peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. (Politik Perburuhan dalam Islam, 2008).

Problem Tambahan

Selain masalah yang sudah disebutkan sebelumnya, terdapat pula problem lain yang mencuat dalam masalah ketenagakerjaan ini. Semisal masalah mogok kerja, hak berserikat dan berkumpul, hak jaminan kesehatan, pensiun dll.

Mengenai mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Sebab, kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah merupakan akad yang mengikat, bukan akad sukarela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya ketika demo. Tentang dana pensiun, penghargaan, kompensasi, jaminan kesehatan yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal-sulam sistem ekonomi kapitalisme untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Padahal kewajiban ini merupakan kewajiban negara, bukan kewajiban pengusaha atau perusahaan.

Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para pengusaha. Hanya saja, kebolehan berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda. Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas pelayanan publik (ri’âyah as-syu’ûn) yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan pelayanan publik tidak diberikan kepada yang lain, selain hanya kepada negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap kewajiban ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh. (Hafidz Abdurrahman, Cara Islam Mengatasi Masalah Perburuhan, 2012).

Kesimpulannya, problem buruh merupakan akibat sistem kapitalisme dalam mengatur masalah ketenagakerjaan. Sedangkan dalam Islam, negara wajib berperan dalam memenuhi kebutuhan rakyat, sehingga penentuan upah bukan berdasar living cost terendah yang dipatok negara, namun kembali pada peran atau jasa yang diberikan pekerja kepada perusahaan. Sehingga tercipta kesetaraan antara pekerja dan pengusaha, dimana PHK bukan ancaman, namun hanya sebuah pemutusan akad biasa. Dan ketika Islam diterapkan, serikat pekerja dan yang semisalnya tidak dibutuhkan, sebab negara sudah menjamin semua kebutuhan rakyat dengan jaminan yang melebihi ekspektasi peradaban manapun. Karena itu ekistensi sistem Islam sejatinya sangat krusial dan satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan tatanan ketenagakerjaan yang adil, manusiawi, dan diridhai Allah SWT.

Disadur & diadaptasi dari buku:
Islam Rahmatan Lil Alamin, Solusi Bagi Indonesia. Kaaffah Media (2016): hlm 363-369

COMMENTS

Name

afkar,6,agama bahai,1,Agraria,2,ahok,2,Analysis,52,aqidah,9,artikel,13,bedah buku,2,bencana,25,berita,49,berita terkini,228,Breaking News,8,Buletin al-Islam,13,Buletin kaffah,54,catatan,5,cek fakta,2,Corona,122,curang,1,Dakwah,42,demokrasi,52,Dunia Islam,2,Editorial,5,Ekonomi,203,fikrah,8,Fiqih,18,fokus,3,Geopolitik,18,gerakan,5,Hukum,95,ibroh,17,Ideologi,72,Indonesia,1,info HTI,10,informasi,1,inspirasi,32,Internasional,3,islam,192,Kapitalisme,23,keamanan,8,keluarga,53,Keluarga Ideologis,2,kesehatan,89,ketahanan,2,khi,1,Khilafah,292,khutbah jum'at,3,Kitab,3,klarifikasi,4,Komentar,76,komunisme,2,konspirasi,1,kontra opini,28,korupsi,40,Kriminal,1,Legal Opini,17,liberal,2,lockdown,24,luar negeri,52,mahasiswa,3,Medsos,5,migas,1,militer,1,Motivasi,3,muhasabah,18,Musibah,4,Muslimah,91,Nafsiyah,9,Naratif Reflektif,1,Nasihat,9,Nasional,2,Nasjo,12,ngaji,1,Opini,3740,opini islam,91,Opini Netizen,2,Opini Tokoh,102,ormas,4,Otomotif,1,Pandemi,4,parenting,5,Pemberdayaan,1,pemikiran,22,Pendidikan,129,Peradaban,1,Peristiwa,19,pertahanan,1,pertanian,2,politik,327,Politik Islam,14,Politik khilafah,1,propaganda,5,Ramadhan,6,Redaksi,3,remaja,14,Renungan,5,Review Buku,5,rohingya,1,Sains,3,santai sejenak,2,sejarah,70,Sekularisme,5,Sepiritual,1,Sistem Islam,1,skandal,3,Sorotan,1,sosial,78,Sosok,1,Surat Pembaca,1,syarah hadits,8,Syarah Kitab,1,Syari'ah,47,Tadabbur al-Qur’an,1,tahun baru,2,Tarikh,2,Tekhnologi,2,Teladan,7,timur tengah,35,tokoh,49,Tren Opini Channel,3,tsaqofah,8,tulisan,5,ulama,5,Ultimatum,7,video,1,
ltr
item
Tren Opini: Mengurai Masalah Buruh yang Kompleks Perspektif Islam
Mengurai Masalah Buruh yang Kompleks Perspektif Islam
Mengurai Masalah Buruh yang Kompleks Perspektif Islam
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4uJkg7ppUghrup0zhtYK1qmsbMlQsjCHS9MDCkjSkXZMXWgDI2Xc4wq0Nt6pprsRY11RDLlcqbQUl-KbEGtzpaIJke2ORqpR-yZgPuCAJVSgDsFlf2ZUekmSRvLao3dUjcsuL11csFVlrx-K5fpcNTNnbfZ5Z4hTiv7hpj_CIM8-5o9R67g7Qn3sOXvU/w640-h480/Picsart_25-05-30_23-50-10-475.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4uJkg7ppUghrup0zhtYK1qmsbMlQsjCHS9MDCkjSkXZMXWgDI2Xc4wq0Nt6pprsRY11RDLlcqbQUl-KbEGtzpaIJke2ORqpR-yZgPuCAJVSgDsFlf2ZUekmSRvLao3dUjcsuL11csFVlrx-K5fpcNTNnbfZ5Z4hTiv7hpj_CIM8-5o9R67g7Qn3sOXvU/s72-w640-c-h480/Picsart_25-05-30_23-50-10-475.jpg
Tren Opini
https://www.trenopini.com/2025/05/mengurai-masalah-buruh-yang-kompleks.html
https://www.trenopini.com/
https://www.trenopini.com/
https://www.trenopini.com/2025/05/mengurai-masalah-buruh-yang-kompleks.html
true
6964008929711366424
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share. STEP 2: Click the link you shared to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy