Kebijakan Tarif Amerika, Badai Ekonomi di Depan Mata
Kebijakan Tarif Amerika, Badai Ekonomi di Depan Mata
Oleh. Umul Istiqomah
Perang fisik atau lebih tepatnya genosida yang sedang terjadi di timur tengah, Palestina, belum juga usai. Namun, bukannya fokus ke sana, di belahan dunia bagian barat, yakni negara adidaya Amerika Serikat justru menggemparkan seluruh dunia dengan menabuh genderang perang dagang global, atas kebijakan presiden mereka yakni Donald Trump yang menaikkan tarif impor dari banyak negara, dengan tujuan untuk menahan laju impor dan menaikkan ekonomi dalam negeri negaranya.
Pada 2 April 2025 lalu, Trump mengumumkan penetapan tarif dasar untuk impor dari lebih dari 180 negara sebesar 10 persen. Kemudian, 90 negara diantaranya dikenai tarif resiprokal yang berkisar mulai dari 11 sampai dengan 50 persen, Indonesia sendiri dikenai tarif sebesar 32 persen oleh Trump. Pasar keuangan kini mengalami gejolak sejak Trump mengumumkan rencana tersebut. (Kompas.com 10/04/2025)
Namun saat ini, fokus perang dagang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semakin mengerucut yakni "AS melawan China". Pasalnya, China menjadi satu-satunya negara yang dikenakan tarif 'gila-gilaan' oleh Trump yakni sebesar 125%. Kenaikan ini akibat respons China yang bersiap membalas dengan tarif 84% untuk barang-barang ekspor dari Amerika. Trump mengatakan aksi ini "kurang menghormati". Sedangkan untuk negara-negara lainnya, bisa bernapas sejenak karena Trump menunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari. Meskipun begitu, negara-negara tersebut masih dikenakan tarif universal sebesar 10%. (BBC.com 13/04/2025)
Penetapan tarif impor ini merupakan bukti nyata dari dominasi dan hegemoni ekonomi Amerika Serikat terhadap negara-negara lain. Pasalnya, dari kebijakan ini banyak negara yang tidak setuju dan merasa dirugikan, apalagi penetapan dilakukan secara sepihak, meskipun Amerika Serikat membuka peluang negosiasi bagi negara-negara yang terdampak kebijakan ini. Namun, AS memiliki posisi strategis dalam perdagangan internasional, ketika tarif tinggi diterapkan pada produk impor, otomatis negara-negara pengekspor akan kesulitan untuk mengekspor barang dagangnya.
Apalagi bagi Indonesia yang dikenai tarif resiprokal atau tarif timbal balik yakni pajak perdagangan yang dikenakan oleh suatu negara terhadap negara lain sebagai balasan terhadap tindakan serupa yang dilakukan oleh negara tersebut. Sehingga hal ini akan berdampak besar bagi Indonesia, karena banyak sekali komoditas Indonesia yang menjadikan Amerika Serikat sebagai andalan tujuan ekspornya seperti tekstil, minyak sawit, perlengkapan elektronik, alas kaki, karet, furnitur, kopi, rempah-rempah dan lain-lain. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Jika tarif ini mulai berlaku, industri di Indonesia tidak hanya kehilangan pasar juga daya saing, namun yang terburuk pun bisa saja terjadi yakni badai PHK yang mulai menghantui di depan mata. Jika sudah seperti ini, makin nyata bahwa kapitalisme adalah sumber penderitaan rakyat.
Pada awal penetapannya, semua negara yang memiliki kerja sama ekonomi dengan AS tentu gempar. Seperti negara-negara Asia yang langsung merespons keras 'Tarif Trump' tersebut, apalagi China yang langsung merespons dengan memberikan balasan telak secara langsung kepada AS dengan menaikkan tarif impor terhadap barang AS hingga 84 persen. Namun, akibat respons China yang di anggap 'kurang bersahabat' itu, maka Amerika Serikat semakin menunjukkan 'superpower'-nya dengan langsung menaikkan tarif hingga 125 persen untuk China, dan perang dagang pun semakin memanas antara AS dan China yang sama-sama tidak mau kalah dalam persaingan ini.
Inilah yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalisme, para pemilik modal memiliki kuasa atas segalanya, begitu pun di AS. Sehingga para produsen (pengusaha) mendominasi atas konsumen (masyarakat). Sedikit orang yang memiliki perusahaan besar, baik itu perusahaan minyak, mobil, industri berat, dan lainnya, bisa berperan sentral menguasai dan mendominasi kebanyakan konsumen sekaligus dan juga mampu memaksa konsumen untuk membeli barang dengan harga tertentu.
Selain itu, para pengusaha tadi memiliki kewenangan untuk memberikan hak kepada negara (penguasa) dalam melakukan intervensi harga pada kondisi-kondisi tertentu dengan alasan untuk melindungi ekonomi dalam negeri. Hal ini makin menegaskan, bahwa sistem ekonomi kapitalisme benar-benar dikendalikan oleh para kapitalis (pemodal) sesuai dengan namanya, sedangkan penguasa tampil sebagai pemanis untuk merealisasikan “pesanan” para kapitalis itu. Terjadinya perang ekonomi/perang dagang global yang sedang berlangsung saat ini merupakan bukti nyata adanya persekutuan dari para konglomerat raksasa sebagai wujud atas tindakan mereka menjadikan harga sebagai pengendali distribusi kekayaan.
Akibatnya, kapitalisme menjadikan orang-orang kaya akan makin kaya dengan segala kemudahan yang mereka peroleh karena harta berputar di kalangan mereka saja. Sedangkan yang miskin pun akan makin miskin, mereka akan sulit memperoleh barang/jasa sekalipun itu kebutuhan primer karena segala sesuatu itu harus diperoleh dengan membayarkan sekian nominal uang terhadap harga barang/jasa tersebut sedangkan mereka hanya memiliki sedikit harta.
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, sistem kapitalisme menjadikan posisi tarif ekspor/impor seperti halnya pajak yang menjadi sumber utama pemasukan negara. Sehingga dalam konteks perdagangan luar negeri, keberadaan tarif ekspor/impor dijadikan alat oleh negara yang kuat untuk menekan negara yang lemah. Namun, berbeda dengan sistem ekonomi di dalam Islam, posisi pajak bukanlah sumber utama pemasukan negara, ada pos-pos lain yang lebih utama seperti zakat, rikaz, fai, kharaj, usyr, jizyah, khumus, ganimah, dan harta kepemilikan umum seperti sumber daya alam tambang dan migas yang di kelola oleh negara bukan swasta.
Adapun pemungutan bea masuk perdagangan (cukai) seperti halnya tarif impor, di dalam sistem Islam disesuaikan dengan perbedaan pelaku bisnisnya, bukan komoditasnya. Jika yang menjadi pelaku bisnis adalah warga negara Khilafah, baik muslim maupun kafir dzimmi (orang non-Muslim yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam), komoditas mereka tidak dikenai pungutan apa pun. Kemudian, jika pelaku bisnisnya adalah kafir mu'ahad (orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan umat Islam) mereka dikenai cukai sesuai dengan isi perjanjian negeri mereka dengan Khilafah. Sedangkan jika pelaku bisnisnya adalah dari negara kafir harbi (non-Muslim yang memerangi kaum Muslim), maka Khilafah akan memungut cukai dari mereka sesuai dengan jumlah yang negara mereka pungut dari para pelaku bisnis warga Khilafah. Namun, cukai yang dipungut dari kafir harbi ini mengikuti ketentuan Khilafah. Atau dengan kata lain, pemungutan itu bisa diberlakukan, dengan nominal yang sedikit maupun banyak, atau justru dibebaskan. Namun dengan catatan, nominal tersebut tidak boleh melebihi jumlah yang negara kafir harbi itu pungut dari pelaku bisnis warga Khilafah.
Dengan demikian, dalam Islam, prinsip utama dalam menjalin semua sub sistem negara, termasuk dalam sistem perdagangan luar negeri, adalah mengaplikasikan regulasi yang berasal dari akidah Islam. Hubungan tersebut tidak dilakukan dengan tujuan untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya di negara lain. Namun, dalam rangka menyebarkan risalah Islam, hubungan dagang antarnegara akan dibangun menurut prinsip yang membawa kemaslahatan bersama.
Wallahu a'lam bishowab
COMMENTS