Legalisasi Reklamasi Laut Banten Utara dalam Bayang-bayang Tanah Musnah
Waspada! Legalisasi Reklamasi Laut Banten Utara dalam Bayang-bayang "Tanah Musnah"
Banten – Konsep tanah musnah yang diperkenalkan dalam UU Cipta Kerja berpotensi menjadi celah bagi pengusaha properti untuk melegalkan reklamasi laut di wilayah Banten Utara. Pasal 49 UU Nomor 6 Tahun 2023 yang merevisi UU Nomor 11 Tahun 2020 menyebutkan bahwa tanah yang hilang akibat perubahan fungsi lahan atau bencana alam dapat dimanfaatkan kembali untuk kepentingan usaha sesuai tata ruang wilayah.
Aturan ini semakin diperjelas dalam PP Nomor 18 Tahun 2021 yang mendefinisikan tanah musnah sebagai tanah yang tidak lagi dapat digunakan akibat kerusakan fisik atau ekologis yang tidak dapat dipulihkan. Meski terkesan normatif, konsep ini justru membuka peluang bagi proyek reklamasi skala besar yang diduga melibatkan kepentingan oligarki properti, seperti proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2).
Kontroversi Tanah Musnah dan Reklamasi
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid sebelumnya menegaskan bahwa tanah bersertifikat di Desa Kohod, Banten, telah berubah menjadi laut sehingga dikategorikan sebagai tanah musnah. Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono juga menyatakan bahwa tanah yang hilang akibat fenomena alam otomatis kehilangan hak kepemilikannya.
Namun, di balik pernyataan tersebut, muncul dugaan bahwa status tanah musnah ini justru digunakan sebagai dasar hukum bagi pengembang untuk mengajukan hak reklamasi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 66 PP No. 18 Tahun 2021, yang memberi pemilik tanah musnah—termasuk korporasi besar—prioritas untuk mereklamasi atau merekonstruksi lahan tersebut. Jika reklamasi dilakukan oleh pemerintah atau pihak lain, pemilik tanah tetap berhak atas kompensasi berupa uang kerohiman.
Reklamasi Berkedok Tanah Musnah?
Dalam sebuah diskusi di Channel Diskursus Net (3 Februari), advokat Ahmad Khozinudin menyoroti dampak penerapan istilah tanah musnah terhadap proyek reklamasi yang diduga kuat melibatkan konglomerat properti seperti Agung Sedayu Group dan Anthony Salim.
Menurutnya, konsep ini berpotensi menjadi dalih hukum bagi pengembang untuk mendapatkan izin reklamasi, padahal tanah yang diklaim "musnah" belum tentu pernah ada. Khozinudin menuding adanya kemungkinan sertifikat fiktif yang dibuat dengan pemalsuan dokumen atau keterangan palsu, seolah-olah tanah yang dulunya ada kini hilang akibat abrasi.
"Jika tanah ini benar-benar pernah ada, seharusnya ada bukti fisik atau historisnya. Tapi kalau hanya berdasar klaim sertifikat, bisa saja ini hanya akal-akalan untuk mereklamasi laut," ujarnya.
Dugaan Kepentingan Oligarki dalam Proyek Reklamasi
Polemik pagar laut dan sertifikat laut yang tak kunjung selesai semakin menguatkan dugaan adanya upaya untuk melegalkan proyek reklamasi dengan dalih tanah musnah. Sejumlah pernyataan pejabat, termasuk dari Menteri ATR dan Menteri KKP, dinilai mengarah pada legitimasi reklamasi demi kepentingan bisnis properti.
Masyarakat dan aktivis lingkungan pun diimbau untuk mewaspadai potensi penyalahgunaan konsep tanah musnah ini. Jika tidak dikritisi, kebijakan ini bisa menjadi preseden bagi reklamasi liar yang mengorbankan ekosistem pesisir serta hak masyarakat pesisir atas ruang hidup mereka.
Tim Analisis – trenopini.com
COMMENTS