Gedung Perpustakaan Tertinggi Tapi Minat Baca Terendah
Ironi Negeri : Gedung Perpustakaan Tertinggi Tapi Minat Baca Terendah
Di tengah kemegahan ibu kota, Indonesia mencatat rekor dengan memiliki gedung perpustakaan tertinggi di dunia. Sebuah pencapaian yang, di atas kertas, membanggakan. Namun, di sisi lain, ada kenyataan yang jauh lebih getir: minat baca masyarakat Indonesia berada di peringkat hampir paling bawah di dunia.
Lantas, apa gunanya gedung tinggi menjulang jika isinya sepi? Untuk apa kita mengejar rekor jika budaya membaca masih jadi sekadar wacana?
Perpustakaan atau Monumen?
Gedung Perpustakaan Nasional Indonesia berdiri megah dengan 24 lantai dan tinggi 126,3 meter. Namun, berapa banyak dari jutaan rakyat Indonesia yang benar-benar mengunjunginya? Berapa banyak yang menjadikan perpustakaan sebagai tempat belajar, bukan sekadar spot foto?
Jika gedung hanya dibangun untuk pamer angka, tanpa strategi nyata untuk meningkatkan literasi, maka ia tak lebih dari sekadar monumen kebanggaan kosong.
Budaya Baca: Sekadar Formalitas?
Data dari World’s Most Literate Nations (2016) menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal literasi. Ini bukan soal kemampuan membaca—karena hampir semua orang bisa membaca—tapi soal kemauan membaca.
Kenapa rendah?
- Akses buku masih sulit, terutama di daerah terpencil.
- Sekolah lebih fokus ke hafalan ketimbang pemahaman.
- Media sosial dan hiburan digital lebih menarik daripada buku.
- Harga buku masih tergolong mahal bagi sebagian besar masyarakat.
Jadi, jangan heran kalau minat baca tak kunjung naik. Membaca belum menjadi bagian dari budaya, hanya sebatas kewajiban sekolah atau tuntutan pekerjaan.
Solusi atau Sekadar Wacana?
Membangun perpustakaan megah tak ada artinya jika tak dibarengi upaya meningkatkan budaya baca. Seharusnya, ada strategi yang lebih dari sekadar membangun gedung:
- Perbanyak perpustakaan kecil di daerah, bukan hanya di ibu kota.
- Buku murah atau gratis, bukan malah dikenakan pajak tinggi.
- Kampanye literasi yang menarik, menggunakan media sosial dan teknologi.
- Pendidikan yang mendorong pemahaman, bukan sekadar menghafal teori.
Tanpa langkah nyata, literasi akan tetap menjadi masalah laten yang dibungkus pencitraan. Kita akan terus membangun gedung-gedung tinggi, tapi tetap merangkak di dasar dalam hal minat baca.
Akhir Kata: Aksi atau Sekadar Pencitraan?
Jika kita serius ingin membangun masyarakat yang berpengetahuan, maka membaca harus dijadikan kebutuhan, bukan sekadar slogan. Gedung perpustakaan tertinggi boleh jadi kebanggaan, tapi jauh lebih membanggakan jika rakyatnya juga memiliki budaya membaca yang tinggi.
Jadi, mau sampai kapan kita terus terjebak dalam ironi literasi ini?
COMMENTS