Mahasiswa Demo Pajak
Penolakan Mahasiswa Terhadap PPN 12%: Suara Rakyat yang Terabaikan
Penulis: Lilisumiya
Pemerintah berargumen bahwa peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% diperlukan untuk mendukung program-program pembangunan dan pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Mereka menyatakan bahwa pajak adalah sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur dan layanan publik. Namun, banyak pihak meminta agar pemerintah lebih transparan dalam penggunaan dana pajak dan memastikan manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Penerapan PPN 12% merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Pajak dalam sistem kapitalis menjadi sumber pendapatan utama, sehingga tidak mengherankan jika pajak terus naik dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sumber daya alam Indonesia yang melimpah telah dikuasai oleh pihak asing dan aseng di bawah payung hukum yang mendukung kebebasan berkepemilikan, yang merupakan pilar demokrasi. Dengan demikian, kita dapat melihat kebobrokan dalam praktik demokrasi yang ada.
Menurut pengamat ekonomi Meti Astuti, S.E.I., M.Ek., sistem ekonomi kapitalisme menciptakan "lingkaran setan" di mana ketika ekonomi mengalami inflasi, negara akan menambah beban pajak. Ini menyebabkan ekonomi melambat, dan ketika beban pajak diturunkan, inflasi kembali terjadi. Siklus ini berulang dan menunjukkan betapa rentannya sistem ekonomi kapitalis terhadap krisis.
Sejak awal tahun baru, mahasiswa telah turun ke jalan untuk mengekspresikan penolakan mereka terhadap PPN 12%. Dalam demonstrasi tersebut, mereka menuntut agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mendengarkan suara rakyat. Para mahasiswa menganggap bahwa PPN yang lebih tinggi akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok yang kurang mampu.
Namun, pertanyaannya adalah: apakah aksi demonstrasi dan petisi ini akan merubah kebijakan pemerintah? Faktanya, suara masyarakat sering kali terabaikan, sementara mereka merasa diperas dari segala sisi.
Salah satu dampak paling nyata dari penerapan PPN 12% adalah kenaikan harga barang dan jasa. Dengan pajak yang lebih tinggi, produsen dan pedagang kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produk mereka untuk menutupi biaya pajak tambahan. Hal ini dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi, yang pada gilirannya akan mengurangi daya beli masyarakat.
Daya beli masyarakat diperkirakan akan menurun akibat kenaikan harga barang. Ini menjadi perhatian utama bagi banyak kalangan, terutama di tengah situasi ekonomi yang masih rentan. Masyarakat dengan pendapatan tetap atau rendah akan merasakan dampak paling besar, karena mereka harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, peningkatan PPN juga dapat berkontribusi pada angka kemiskinan, yang akhirnya dapat memicu peningkatan kriminalitas seperti pencurian dan praktik pinjaman online (pinjol).
Meti Astuti menekankan bahwa siklus krisis dalam sistem kapitalisme sering kali berujung pada masalah sosial yang lebih besar.
Reaksi masyarakat terhadap rencana penerapan PPN 12% cukup beragam. Beberapa kelompok mendukung kebijakan ini sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperbaiki infrastruktur. Namun, banyak juga yang menandatangani petisi untuk menolak PPN 12%. Sebuah petisi yang diluncurkan di platform online telah berhasil mengumpulkan hampir 200 ribu tanda tangan dalam waktu singkat, menunjukkan besarnya penolakan terhadap kebijakan ini.
Sistem Perpajakan di Masa Rasulullah SAW
Sistem perpajakan dalam Islam dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Pendapatan negara pada masa itu diperoleh dari beberapa sumber, termasuk zakat, pajak tanah (kharraj), dan pajak kepala (jizyah). Zakat dikenakan kepada umat Muslim sebagai kewajiban agama, sedangkan jizyah dikenakan kepada non-Muslim sebagai bentuk perlindungan.
Dalam konteks Islam, pajak seharusnya menjadi jalan terakhir ketika tidak ada pemasukan lain, dan hanya dikenakan kepada kalangan tertentu saja. Pengumpulan pajak dilakukan secara sukarela berdasarkan kemampuan masing-masing individu, berbeda dengan sistem perpajakan modern yang sering kali dianggap memberatkan masyarakat tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi individu.
Meti Astuti menjelaskan bahwa dalam Islam, pajak hanya boleh dipungut saat kondisi kas negara kosong dan tidak boleh dipungut secara permanen. Pajak seharusnya ditarik sesuai dengan jumlah darurat yang dibutuhkan.
Dalam perspektif Islam, pajak tidak hanya sekadar alat untuk meningkatkan pendapatan negara tetapi juga harus mencerminkan prinsip keadilan sosial. Pajak harus dipungut secara proporsional sesuai dengan kemampuan setiap individu atau kelompok. Tujuan pemungutan pajak dalam Islam adalah untuk mempromosikan kesejahteraan umum dan keadilan sosial.
Islam juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pajak. Penggunaan dana pajak harus diarahkan untuk kepentingan umum, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Kesimpulan
Penolakan mahasiswa terhadap penerapan PPN 12% menggambarkan ketidakpuasan yang meluas di kalangan masyarakat terkait kebijakan fiskal pemerintah. Meskipun ada argumen yang mendukung kebijakan ini sebagai langkah penting untuk meningkatkan pendapatan negara, dampaknya terhadap daya beli masyarakat tidak bisa diabaikan.
Perbandingan dengan sistem perpajakan dalam pemerintahan Islam menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosial dan transparansi sangat penting dalam pengumpulan dan penggunaan dana pajak. Aksi demonstrasi dan petisi penolakan menunjukkan bahwa masyarakat ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.
Penting bagi pemerintah untuk mendengarkan suara rakyat dan mempertimbangkan kembali kebijakan ini dengan melibatkan dialog terbuka dengan berbagai pemangku kepentingan. Hanya dengan cara itu, solusi yang adil dan berkelanjutan dapat ditemukan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat tanpa membebani mereka dengan pajak yang terlalu tinggi.
Referensi:
COMMENTS