Pergaulan bebas Sekuler
Liberalisasi Pergaulan, Buah Busuk Sistem Sekuler
Oleh : Ummu Habibi (Muslimah Peduli Generasi)Liberalisasi pergaulan semakin mengerikan. Beberapa waktu lalu, pesta seks swinger (pertukaran pasangan) terungkap setelah sepasang suami istri ditangkap oleh kepolisian di Kabupaten Badung, Bali. Ternyata, pesta seks dan pertukaran pasangan tersebut telah berlangsung sebanyak sepuluh kali.
Berdasarkan keterangan penyidik Polri, Ada pendistribusian dokumen elektronik melalui sebuah situs yang berisi ajakan untuk pesta seks dan bertukar pasangan. Melalui situs tersebut, para tersangka mengajak publik untuk bergabung tanpa memungut biaya dari para pendaftar. Pasangan yang bergabung dalam pesta tersebut juga tidak diberikan bayaran. Artinya dengan kesukarelaan.
Fakta lainnya, di lingkungan remaja arus pergaulan bebas juga semakin deras. Angka dispensasi nikah sepanjang 2024 di Yogyakarta, Kabupaten Sleman mencatat 98 kasus permohonan dispensasi nikah yang dilakukan remaja. Alasan terbanyak pengajuan dispensasi nikah tersebut adalah karena hamil di luar nikah.
Begitu pun di Jombang, Jawa Timur Pengadilan Agama (PA) Jombang mencatat sebanyak 286 anak di bawah usia 19 tahun mengajukan dispensasi nikah. Sebagian besar disebabkan hamil di luar nikah. Di Lamongan, Jawa Timur sepanjang Januari—November 2024 ada 220 pasangan mengajukan dispensasi nikah atau pernikahan dini ke Pengadilan Agama (PA) kelas IA Lamongan. Alasan terbanyak dikarenakan menghindari zina dan takut hamil di luar nikah.
Berdasarkan deretan fakta tersebut, tampak jelas bahwa liberalisasi pergaulan bebas makin mengkhawatirkan. Bukan hanya kelompok dewasa, pelajar dan anak-anak juga rentan terpapar seks bebas karena arus digitalisasi dan informasi berisi konten yang bersifat porno dan pergaulan "kebarat-baratan" yang mudah diakses. Berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Kemen PPPA pada 2021, 66,6% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan di Indonesia sudah pernah menyaksikan kegiatan seksual (pornografi) melalui media daring. Na'udzubillah!
Maraknya pergaulan bebas tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat sekuler-liberal yang ada saat ini. Sekularisme yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan menyebabkan remaja tidak mengenal agamanya dan tidak mengetahui standar halal-haram menurut syariat. Agama tidak mereka jadikan pedoman dalam bertingkah laku dan mengambil keputusan.
Hal ini melahirkan liberalisme, yaitu kebebasan bertingkah laku. Akibatnya, para remaja merasa bebas dan cenderung hanya mencari kesenangan jasmani tanpa mempedulikan dampak perbuatannya, baik bagi diri mereka sendiri, keluarga maupun lingkungannya. Mereka bahkan tidak merasa berdosa saat melakukan perbuatan maksiat.
Liberalisasi yang ada hari ini tidak terjadi begitu saja. Barat telah memastikan invasi budaya yang mereka lakukan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari generasi muda muslim. Miris, negeri-negeri muslim -tidak terkecuali Indonesia- telah mengimpor budaya Barat hingga pemerintahnya membuat berbagai kebijakan yang sejalan dengan penancapan nilai-nilai Barat.
Buktinya, media sering kali menampilkan kehidupan Barat melalui 4F, yaitu food, film, fashion, dan fun. Tidak pelak, makanan yang dikonsumsi, pakaian yang dipakai, hiburan yang dinikmati dan tayangan yang ditonton oleh masyarakat muslim, meniru budaya Barat.
Sejatinya liberalisasi pergaulan adalah buah busuk penerapan sistem sekuler hari ini. Bahkan imbasnya pada semua kalangan usia yang menjadi rusak karena bebasnya mereka melampiaskan nafsu. Paham sekuler liberal telah merusak sendi kehidupan, menghilangkan sensitivitas umat terhadap perilaku maksiat, serta mendangkalkan akidah umat. Islam sebatas agama ritual yang mengatur masalah ibadah semata.
Mirisnya, Negara seakan melegitimasi pergaulan bebas dengan memberikan kebebasan berperilaku pada individu. Alih-alih negara mewujudkan generasi emas, negara dengan sistem kapitalisme sekuler justru melahirkan aturan yang melemahkan moral generasi. Negara hari ini justru memfasilitasi liberalisasi pergaulan, misalnya adanya aturan kontrasepsi untuk pelajar dan pendidikan kespro yang berasaskan peradaban Barat. Juga kebijakan kesetaraan gender dan semua turunannya yang berkiblat pada barat, seperti hak reproduksi dan bodily autonomi.
Islam bukan hanya agama ritual, tetapi merupakan sistem kehidupan yang mampu menangkal generasi dari pemikiran berbahaya dan menyesatkan. Islam memiliki lapisan pelindung menjaga generasi dari paparan sekularisme, liberalisme, dan hedonisme, yaitu
pertama, negara menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam. Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam, yakni pola pikir dan pola sikap sesuai tuntunan Islam.
Kedua, menerapkan sistem sosial sesuai syariat Islam. Di antaranya, (1) Allah telah menetapkan hubungan seksual (shilah jinsiyah) diharamkan untuk dilakukan sebelum pernikahan (lihat QS Al-Isra: 32, An-Nuur: 2); (2) perintah menundukkan pandangan (lihat QS An-Nuur: 30—31); (3) kewajiban menutup aurat bagi perempuan (lihat QS An-Nuur: 31 dan Al-Ahzab: 59); (4) kewajiban menjaga kesucian diri (lihat QS An-Nuur: 33); (5) larangan khalwat; (6) larangan tabaruj bagi perempuan; (7) aturan safar bagi perempuan; dan (8) perintah menjauhi perkara syubhat.
Ketiga, membiasakan suasana amar makruf nahi mungkar dalam kehidupan bermasyarakat.
Keempat, negara mencegah hal-hal yang merangsang naluri jinsiyah (seksual) seperti konten pornografi-pornoaksi, tayangan TV, media sosial, dan sebagainya.
Kelima, menerapkan sistem sanksi Islam secara terpadu sebagai wujud tindakan preventif dan kuratif. Juga sinergi tiga pilar (keluarga, masyarakat, dan negara) yang akan melindungi remaja dari kerusakan jika Islam diterapkan secara kafah. Wallahua'lam bish-shawwab
COMMENTS