Kontroversi Pagar Laut PIK-2: Polisi Dinilai Lamban
Kontroversi Pagar Laut PIK-2: Polisi Dinilai Lamban Tindak Pelanggaran
Jakarta – Kasus pemasangan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, yang menjadi bagian dari proyek reklamasi PIK-2, memicu sorotan tajam terhadap sikap aparat kepolisian. Beberapa pihak menilai polisi terkesan lamban dan tidak tegas dalam menangani kasus ini. Bahkan, muncul tuduhan bahwa polisi lebih berpihak kepada pengembang daripada kepentingan masyarakat dan lingkungan.
Kepala Korps Kepolisian Perairan dan Udara (Korpolairud) Polri, Irjen Mohammad Yassin, menyatakan hingga saat ini belum ditemukan unsur pidana dalam kasus tersebut. Ia menegaskan bahwa pihaknya masih menunggu keputusan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menentukan langkah lebih lanjut.
Namun, sikap tersebut justru menuai kritik keras dari berbagai pihak. Ahmad Khozinudin, Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR), menilai bahwa pemasangan pagar laut tersebut sudah jelas melanggar berbagai aturan hukum.
Potensi Pelanggaran Hukum
Menurut Ahmad, pagar laut yang dibangun dengan struktur bambu dan diberi beban pasir dalam karung telah merusak ekosistem laut. Hal ini, kata dia, masuk dalam kategori tindak pidana konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya. Selain itu, pembangunan pagar laut tanpa izin juga diduga melanggar aturan tentang pelanggaran wilayah dan berbagai pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ia juga menyoroti pasal-pasal pidana lingkungan hidup yang mengatur sanksi terhadap pencemaran lingkungan dan kelalaian pejabat dalam memberikan izin tanpa analisis dampak lingkungan (AMDAL). "Sejak bambu pertama ditancapkan di perairan laut Banten, Polisi Air semestinya langsung menangkap pelakunya karena itu jelas pidana," tegas Ahmad.
Tudingan Keberpihakan Polisi
Ahmad menilai kepolisian terlalu lamban dan tidak tegas dalam menindak pelanggaran ini, seolah berpihak kepada pengembang proyek, Aguan. Ia bahkan menuduh polisi bersikap seperti "centeng" pengusaha besar, mengingat hubungan erat yang terjalin antara Polri dan pihak pengembang.
Tudingan semakin diperkuat dengan adanya laporan bahwa Aguan pernah memberikan hibah kepada Polri untuk pembangunan gedung Batalion A Brimob Polda Metro Jaya yang berlokasi di kawasan PIK-2. Ahmad menilai kehadiran Brimob di kawasan tersebut lebih terlihat seperti pengamanan aset pengembang daripada melindungi masyarakat.
Langkah Masyarakat Sipil
Berbeda dengan sikap aparat kepolisian, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Muhammadiyah bersama koalisi masyarakat sipil telah mengantongi sejumlah bukti yang menunjukkan adanya tindak pidana dalam kasus ini. Bahkan, mereka telah melaporkan kasus tersebut ke Bareskrim Polri dengan menyertakan nama enam individu dan perusahaan yang diduga terlibat dalam pemasangan pagar laut.
"Ini menjadi ironi ketika masyarakat kecil begitu mudah diproses hukum, sementara pengembang besar seperti ini seolah mendapat perlakuan istimewa," ujar Ahmad.
Harapan Penegakan Hukum
Kasus pagar laut PIK-2 menjadi ujian bagi aparat kepolisian dalam membuktikan independensinya. Publik berharap polisi dapat bertindak tegas dan profesional, bukan malah memperlihatkan keberpihakan kepada pihak tertentu. Penegakan hukum yang tegas dan adil dinilai penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan melindungi lingkungan dari kerusakan lebih lanjut.
Kasus ini juga menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap proyek-proyek besar yang berpotensi merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat sekitar.
sumber
- "Polisi Sebut Belum Ada Unsur Pidana Pagar Laut PIK-2" (Jakartasatu.com)
- "LBH PP Muhammadiyah Bantah Pernyataan Warga yang Ngaku Pasang Pagar Laut" (Disway.id)
- fb ahmad khozinudin
COMMENTS