nunggak spp
Kapitalisasi Pendidikan dan Perundungan, Apa Hubungannya?
Penulis: Ilmi Mumtahanah
Prihatin! Diberitakan seorang siswa kelas IV SD swasta di Kota Medan, berinisial MA, dihukum belajar di lantai oleh gurunya karena belum membayar tunggakan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) selama tiga bulan. Ibu MA, Kamelia (38), mengatakan hukuman itu sudah dijalani anaknya selama dua hari, yaitu pada tanggal 6 dan 7 Januari 2025. Selama itu, MA duduk di lantai dari pukul 08.00 WIB hingga 13.00 WIB. Hukuman tersebut diterapkan karena MA menunggak pembayaran SPP sebesar Rp 180.000. Kamelia mengungkapkan salah satu penyebab tunggakan tersebut adalah karena dana Program Indonesia Pintar (PIP) di akhir tahun 2024 belum cair, sementara ia tidak memiliki uang untuk membayar (Kompas.com, 11-01-2025).
Kasus ini menjadi viral dan memicu berbagai reaksi dari masyarakat. Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, menilai tindakan guru tersebut tidak etis dan melanggar prinsip-prinsip pendidikan. Hetifah menegaskan, meskipun sekolah swasta memiliki kebijakan mandiri dalam pengelolaan keuangan, tetap ada batasan yang harus dijaga agar tindakan mereka tidak mencederai hak-hak siswa. Tindakan seperti itu, menurutnya, secara psikologis bisa berdampak buruk pada kepercayaan diri dan kesehatan mental anak.
Menanggapi kasus ini, Bukik Setiawan, Ketua Guru Belajar Foundation, mempertanyakan pengelolaan manajemen yayasan. Menurutnya, urusan administrasi seperti pembayaran SPP seharusnya bukan menjadi tanggung jawab guru (Detik.com, 16-01-2025). Bukik menduga adanya tekanan dari pihak yayasan yang membuat guru merasa bertanggung jawab atas keterlambatan pembayaran SPP siswa. Akibatnya, tekanan ini mendorong guru memberikan hukuman kepada siswa.
Namun, dugaan ini dibantah oleh pihak yayasan yang menyatakan bahwa tidak ada aturan semacam itu, dan tindakan guru tersebut murni atas inisiatif pribadi. Sebagai buntut dari kejadian ini, guru tersebut akhirnya dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa. Situasi ini pun menjadi dilema.
Sungguh disayangkan. Pada hakikatnya, setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas, terlepas dari latar belakang ekonomi atau status sosialnya. Pendidikan adalah kunci untuk membuka potensi dan membangun masa depan yang lebih baik.
Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, pendidikan sering kali menjadi komoditas. Akses pendidikan yang layak terkadang hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar, sehingga menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan bagi sebagian masyarakat.
Kapitalisasi pendidikan tak ubahnya sebuah lahan bisnis yang menjadikan lembaga pendidikan berorientasi pada keuntungan. Institusi pendidikan lebih mementingkan profit daripada akses universal. Sistem ini menyebabkan kesenjangan dalam akses pendidikan bagi mereka yang kurang mampu. Biaya pendidikan yang tinggi menjadi penghalang untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Akibatnya, prioritas terhadap keuntungan dapat menurunkan kualitas pendidikan. Institusi pendidikan cenderung memprioritaskan aspek komersial daripada pendidikan yang bermakna.
Hal ini berbeda jauh dengan sistem pendidikan dalam Islam, di mana pendidikan yang layak dipandang sebagai kewajiban negara untuk menyelenggarakannya. Pendidikan bukan hanya hak rakyat, tetapi juga tanggung jawab negara untuk memastikan akses yang adil dan berkualitas.
Sistem pemerintahan Islam menyediakan layanan pendidikan gratis, murah, atau terjangkau bagi seluruh warganya tanpa memandang latar belakang ekonomi. Ini memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk maju. Selain itu, sistem pemerintahan Islam juga menekankan kualitas pendidikan. Negara menyediakan dana untuk memastikan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, termasuk guru yang berkualitas. Dana ini diperoleh dari pos-pos pendapatan negara, yang tidak bersumber dari pajak atau utang luar negeri.
Dana pendidikan dalam sistem ini berasal dari kepemilikan umum, seperti zakat, wakaf, dan harta negara. Sistem ini memastikan bahwa pendidikan dapat diakses oleh semua kalangan. Dana tersebut digunakan untuk membangun dan memelihara sarana pendidikan, termasuk gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, dan fasilitas lainnya. Selain itu, dana juga digunakan untuk membayar gaji guru yang berkualitas, sehingga pendidikan dijalankan oleh tenaga pengajar yang kompeten dan profesional.
Dengan sistem pendidikan yang terstruktur dan berfokus pada keadilan, tidak akan ada lagi kasus siswa yang dihukum atau dirundung karena keterlambatan pembayaran biaya pendidikan. Semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Masyarakat akan merasakan manfaat dari pendidikan yang adil dan merata. Generasi muda yang terdidik akan menjadi aset berharga dalam membangun masa depan yang cerah dan sejahtera. Wallahualam.
COMMENTS