siswa SD dihukum duduk dilantai
Kapitalisasi Pendidikan Berujung Bullying
Oleh: Ross A.R | Aktivis Dakwah Kota Medan
Pendidikan adalah hak mendasar dan penting bagi generasi penerus bangsa. Seharusnya, pendidikan menjadi hak setiap rakyat tanpa diskriminasi. Namun, dalam sistem kapitalisme yang berlaku saat ini, negara sering kali tidak hadir secara nyata dalam mengurus kebutuhan mendasar umat, termasuk pendidikan. Fakta menunjukkan banyak anak putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Sistem kapitalis sekuler membuat orang tua harus mengeluarkan biaya besar demi mendapatkan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka. Akibatnya, banyak orang tua yang tergiur menyekolahkan anak di sekolah swasta berkualitas tinggi dengan biaya mahal, namun terjebak dalam tunggakan administrasi karena ekonomi yang semakin sulit.
Kasus terbaru yang viral menunjukkan seorang siswa di Medan terpaksa duduk di lantai saat pelajaran karena belum membayar uang sekolah. Peristiwa ini terjadi di SD swasta Abdi Sukma, Medan Johor, Sumatera Utara. Dinas Pendidikan Kota Medan segera memeriksa wali kelas terkait pada Sabtu (11/1/2025) di ruang kepala sekolah. Langkah ini diambil setelah video kejadian tersebut viral di media sosial [1].
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, turut angkat bicara. Ia menilai tindakan guru tersebut tidak etis dan melanggar prinsip pendidikan. Meskipun sekolah swasta memiliki kebijakan mandiri dalam pengelolaan keuangan, tetap ada batasan agar hak-hak siswa tidak dicederai. Tindakan seperti ini mencederai prinsip pendidikan yang mengutamakan hak anak untuk memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi, sebagaimana kasus murid yang diminta belajar di lantai karena menunggak SPP selama tiga bulan [2].
Pendidikan seharusnya diakses semua rakyat tanpa kecuali. Namun, dalam sistem kapitalisme, negara menyerahkan tanggung jawab ini kepada pihak swasta yang berorientasi profit. Pendidikan menjadi ladang bisnis, dan akibatnya kasus seperti hukuman kepada siswa yang menunggak SPP menjadi hal yang tidak terhindarkan. Jika pendidikan dapat diakses gratis, kasus seperti ini tentu tidak akan terjadi.
Namun, dalam sistem kapitalisme saat ini, mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas tinggi masih jauh dari harapan. Viral kasus seorang siswa yang dihukum karena belum melunasi SPP hanyalah puncak gunung es. Realitas ini menyebabkan banyak anak di Indonesia tidak dapat melanjutkan sekolah. Data menunjukkan, sekitar tiga juta anak diperkirakan tidak diterima pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2024 [3]. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka putus sekolah pada 2022 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tingkat SMA, angka putus sekolah meningkat dari 1,12% pada 2021 menjadi 1,38% pada 2022. Artinya, dari 1.000 anak, terdapat 13 anak yang putus sekolah. Peningkatan juga terjadi di tingkat SMP (dari 0,90% menjadi 1,06%) dan SD (dari 0,12% menjadi 0,13%) [4].
Kapitalisasi pendidikan menyebabkan pendidikan berkualitas hanya dapat diakses masyarakat kelas menengah ke atas, sementara masyarakat kurang mampu terus terpinggirkan. Fenomena ini diperparah oleh kebijakan kurikulum yang sering berubah, mengakibatkan orang tua harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli buku baru yang tidak dapat digunakan generasi berikutnya.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab mutlak untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat. Negara diwajibkan menjamin akses pendidikan yang sama, baik bagi masyarakat kelas menengah ke bawah maupun kelas menengah ke atas, tanpa perbedaan kualitas fasilitas dan tenaga pengajar. Pendidikan tidak menjadi komoditas bisnis, melainkan tanggung jawab negara untuk mencerdaskan generasi.
Dalam Islam, pembiayaan pendidikan bersumber dari Baitul Mal, yang dikelola melalui beberapa pos, seperti fai dan kharaj (termasuk ghanimah, khumus, dan jizyah), serta dari kepemilikan umum, seperti hasil kekayaan alam, tambang minyak, gas, dan laut. Dengan mekanisme ini, negara dalam sistem Islam mampu menyediakan pendidikan gratis bagi seluruh rakyat, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Sumber Referensi:
- Beritasatu.com, 11 Januari 2025.
- Kompas.com, 12 Januari 2025.
- Tribunnews.com, 8 Juli 2024.
- Badan Pusat Statistik (BPS).
COMMENTS