sertifikat laut
Cerita dari warung kopi Negeri Konoha: Ketika Laut Jadi SHM
Di sebuah negeri bernama Konoha, keindahan lautnya selalu menjadi kebanggaan. Laut yang luas, ombak yang ramah, dan hasil tangkapan yang melimpah adalah bagian dari hidup warga pesisirnya. Tapi suatu hari, keheningan laut itu pecah. Ada kabar yang membuat semua orang terperangah: laut mereka, yang menjadi sumber kehidupan, mendadak dipagari sepanjang 30 kilometer. Dan yang lebih mencengangkan lagi, kabarnya laut itu sudah bersertifikat SHM (Sertifikat Hak Milik).
Pagi itu, warung kopi di pojok desa penuh sesak. Warga berkumpul, bukan untuk sekadar minum kopi, tapi untuk melampiaskan amarah dan kebingungan mereka.
"Logika anak kecil aja nggak masuk!" seru Pak Darto, pensiunan guru yang selalu menjadi rujukan warga. "Laut dipagerin, terus mereka bilang nggak tahu siapa yang masang? Bohong besar itu!"
Anton, anak muda yang gemar mengikuti berita, menyahut cepat. "Betul, Pak. Kalau mereka bilang nggak tahu, kok bisa keluar SHM? Sertifikat itu jelas ada nama pemiliknya, ada tanggal terbitnya, ada yang tanda tangan. Tinggal dicek aja, kenapa malah bingung sendiri?"
Pak Darto mengangguk sambil menyedot rokoknya. "Ini masalahnya, Ton. Kalau pejabat bilang nggak tahu, ada dua kemungkinan. Pertama, mereka memang nggak becus kerja. Kedua, dan ini yang paling mungkin, mereka sengaja tutup mata karena ada duit di balik semua ini."
Dari sudut warung, Datuk, seorang pedagang ikan, menyela dengan suara lantang. "Pak Darto, saya mau tanya. Kepala desa kita ini tahu nggak soal proyek pagar laut ini? Jangan-jangan dia ikut tanda tangan izin, tapi sekarang pura-pura nggak tahu!"
Semua mata langsung tertuju ke Pak Darto, yang tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kalau menurut saya, Datuk, Pak Kades nggak mungkin nggak tahu. Laut itu wilayah desa kita. Kalau ada proyek sebesar ini, kepala desa pasti setidaknya diberi tahu. Kalau nggak tahu, ya dia memang sengaja tutup mata, atau lebih buruk lagi, dia ikut terlibat."
"Betul, Pak!" sahut Anton sambil mengetuk meja. "Proyek segede ini nggak mungkin jalan tanpa izin desa. Alat berat, pekerja, pagar sepanjang itu, pasti semua itu lewat wilayah kita. Kalau kepala desa bilang nggak tahu, saya curiga dia cuma cari aman."
Datuk makin bersemangat. "Proyek kayak gini pasti ada duit besar di belakangnya. Kepala desa mungkin udah dapat bagian supaya diam. Kalau nggak, mana mungkin pagar itu bisa berdiri tanpa ada yang protes dari awal?"
Di sudut lain, Bu Neneng, istri seorang nelayan, ikut angkat suara dengan nada geram. "Pak Kades itu kan dipilih buat jaga kita, warga desa. Tapi kalau dia beneran terlibat, itu artinya dia tega mengkhianati kita. Gara-gara pagar ini, suami saya nggak bisa melaut. Ikan makin susah, anak saya makan apa?"
"Bu Neneng benar," kali ini Kang Udin, pemilik warung, ikut bicara. "Kalau kepala desa sampai berani kasih izin buat proyek ini, artinya dia nggak peduli sama kita. Dia cuma mikirin kantongnya sendiri."
Pak Darto mencoba menenangkan suasana. "Tunggu dulu. Jangan buru-buru nuduh. Bisa jadi Pak Kades ini cuma jadi korban permainan orang di atas. Tapi kalau memang dia ikut terlibat, ya dia harus bertanggung jawab. Pertanyaannya sekarang, mau nggak dia jujur?"
"Tanggung jawab?" Anton menyahut dengan nada tajam. "Pak Darto, ini bukan soal mau atau nggak. Ini soal siapa yang berani ngecek dia! Pak Kades itu pasti tahu siapa yang masang pagar, siapa yang kasih izin, dan siapa yang bayar proyek ini. Kalau dia nggak buka suara, artinya dia takut rahasianya kebongkar."
Datuk melipat tangan di dada, wajahnya memerah. "Kalau bener dia terlibat, harusnya dia malu! Laut ini bukan cuma milik kita, ini warisan buat anak cucu kita. Kalau dia ikut-ikutan jual laut ini, apa nggak takut dikutuk warga?"
Bu Neneng mendesah berat. "Pak Darto, Kang Udin, semua yang di warung ini... kalau pejabat kita cuma mikir duit, terus kita ini mau gimana? Laut ini hilang, kita nggak punya apa-apa. Anak cucu kita nanti cuma dengar cerita, bahwa dulu kita pernah punya laut."
Warung kopi mendadak hening. Hanya terdengar suara sendok mengaduk kopi, bercampur suara burung di kejauhan. Tapi suasana itu pecah lagi ketika Kang Udin menarik napas panjang dan berkata tegas, "Kalau kita diam, mereka makin berani. Tapi kalau semua warga kecil kayak kita bersuara, mereka nggak bisa terus bohong."
Pak Darto menatap kosong ke cangkir kopinya yang hampir habis. "Iya, Din. Kebenaran itu ada, tapi tergantung siapa yang mau buka. Masalahnya, di negeri Konoha ini, mereka lebih suka saling lempar tanggung jawab daripada menyelesaikan masalah. Laut ini, pagar ini, SHM ini... semua bisa kita bongkar kalau kita bersatu. Tapi mau sampai kapan kita nunggu?"
Dan begitulah cerita di negeri Konoha. Di sana, laut yang seharusnya menjadi milik semua orang perlahan diambil alih oleh mereka yang punya kuasa. Apakah Pak Kades benar terlibat? Ataukah dia hanya bidak kecil dalam permainan besar para penguasa?
Di negeri Konoha, harapan tetap ada. Selama suara kecil dari warung kopi terus bergema, kebenaran pasti suatu hari akan muncul ke permukaan.
COMMENTS