Oleh: Rut Sri Wahyuningsih Institut Literasi dan Peradaban Palembang menyusul kota-kota lain untuk kasus pembunuhan disertai pemerkosaan. ...
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Palembang menyusul kota-kota lain untuk kasus pembunuhan disertai pemerkosaan. Kali ini terjadi pada seorang siswi SMP, lokasi pembunuhan di pemakaman umum Tionghoa, Palembang, Ahad, 31 Agustus 2024.
Kepala Polrestabes Palembang Komisaris Besar Polisi Harryo Sugihartono saat konferensi pers di Mapolrestabes Palembang, mengatakan pelaku pembunuhan adalah 4 orang yakni Is (16) pelaku utama, MZ (13), MS (12) dan AS (12).
Berdasarkan hasil penyelidikan psikologi Biro SDM Kepolisian Daerah Sumsel, jelas Harryo, empat tersangka melakukan tindak pembunuhan dipicu keinginan nafsu birahinya karena sering menonton film porno yang tersimpan di ponsel pelaku.
Para pelaku menyekap korban hingga tewas dan kemudian melakukan rudapaksa terhadap korban secara bergiliran, dengan tersangka IS sebagai pelaku utama. Untuk menghilangkan jejak, mayat korban dipindahkan ke lokasi yang berjarak 30 menit berjalan kaki dari lokasi awal.
Kapolrestabes mengatakan saat ini tersangka utama sudah ditahan, sementara tiga tersangka lainnya atas permintaan keluarganya dilakukan pembinaan rehabilitasi di Dinas Sosial sampai nanti penyerahan tahap dua kepada jaksa penuntut umum.
Dan mereka dijerat pasal penganiayaan dan pencabulan anak, yakni Pasal 76 C dan Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp3 miliar ( republika.co.id, 4-9-2024).
Penjara Bukan Solusi
Terbukti, mereka yang terpapar tayangan porno akan mengalami kegelisahan hingga kerusakan otak. Pada mereka yang rutin mengkonsumsi pornografi disebut sama dengan kerusakan otak karena kecelakaan dan bahkan lebih merusak daripada kerusakan otak karena narkoba. Adiksi pornografi akan merusak lima bagian otak sekaligus. Selain itu, adiksi pornografi bahkan tidak hanya merusak diri sendiri, namun juga dapat merusak atau merugikan orang lain.
Remaja yang kecanduan pornografi akan menunjukkan gejala penurunan prestasi, perubahan pola tidur, pergi tidak mengenal waktu, banyak teman yang tidak dikenal, emosional, banyak persoalan, sehingga menimbulkan berbagai dampak buruk bagi diri sendiri maupun lingkungannya.
Berdasarkan penelitian di Jakarta Selatan dan Pandeglang tahun 2017, disebutkan bahwa sebanyak 94% remaja telah terpapar pornografi. Angka tersebut meningkat menjadi 98% pada 2018. Sedangkan berdasar survey Kementerian Kesehatan Tahun 2017, tiga besar sumber pornografi terbanyak adalah internet (57%) disusul komik (43%), dan media sosial (34%).
Adapun tempat terbanyak melihat pornografi adalah di rumah yaitu sebesar 61%. Potensi anak dan remaja mengakses pornografi dipengaruhi gaya hidup, pengawasan orangtua, serta BLAST (Bored, Lonely, Angry-Afraid, Stress, Tired) (kes.jogjaprov.go.id, 30-3-2019). Penelitian ini di tahun 2017-2018. Bagaimana dengan sekarang? Yang pasti angkanya lebih mengerikan.
Benar saja, BKKBN mencatat bahwa pada remaja usia 16-17 tahun ada sebanyak 60 persen remaja yang melakukan hubungan seksual, usia 14-15 tahun ada sebanyak 20 persen, dan pada usia 19-20 sebanyak 20 persen ( ditsmp.kemdikbud.go.id, 4-8-2023). Nampak jelas usia para remaja yang pernah melakukan seks bebas semakin muda. Tentu penyebabnya masih sama, yaitu pornografi.
Dan sayangnya, ancaman hukumannya hanya penjara. Meski pun nantinya akan ada rehabilitasi dan pendampingan ketika di dalam penjara, tetap tak akan menjerakan. Kerusakan otak bersifat permanen. Jika kembali hasrat seksualnya muncul tentu akan meminta pemenuhan yang lebih dari sebelumnya.
Sekulerisme Sistem Jahat
Persoalan pembunuhan yang diikuti Rudapaksa semakin banyak, dan tidak hanya terjadi di satu daerah, ini menandakan sistem yang menaungi masyarakat bukan sistem yang sahih. Berbagai kebijakan pemerintah yang diberlakukan justru menimbulkan sikap ambigu. Di sisi satu seolah menyelesaikan, namun di sisi lain menghancurkan. Sebut saja salah satu pasal di PP no 28 tahun 2024 tentang UU pelaksana UU kesehatan, yang membolehkan pelayanan kontrasepsi bagi remaja.
Menyinggung masalah remaja, menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan di pasal 98 ayat (1), batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun. Hal ini berlaku jika anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah menikah.
Peraturan ini sangatlah fatal, apalagi dengan gempuran tontonan yang merangsang syahwat, mereka matang sebelum waktunya. Ketika tidak didukung dengan pendidikan yang baik, berbasis akidah Islam maka jadilah mereka masalah di masyarakat, mencari pelampian dengan mindset kebebasan berperilaku sebagaimana aturan yang diterapkan yaitu sekulerisme.
Sekulerisme juga telah membentuk masyarakat individualisme, tak ada lagi nasehat menasehati bahkan marah jika ada kemaksiatan di sekitarnya. Lagi-lagi mereka menganggap hak asasi seseorang untuk berbuat apapun asal bukan keluargaku. Para orangtua yang sibuk mencari nafkah saking mahalnya biaya hidup menjadi keniscayaan abai terhadap fungsi pendidikan di dalam keluarganya. Anak diemong oleh lingkungan.
Islam Solusi Habisi Perzinahan
Tidak bisa tidak, maraknya pemerkosaan, pembunuhan, aborsi hingga pembuangan bayi semestinya sudah menjadi perhatian kita secara mendalam. Ini bahaya, sebab manusia tak lagi memiliki kemuliaan, berkutat dengan urusan esek-esek lupa akhirat. Negara seharusnya berperan aktif dalam mengatasi persoalan ini.
Islam memandang, zina haram bahkan mendekatinya saja sudah haram sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya," "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (TQS. Al-Isra: 32). Maka, menjadi kewajiban negara memastikan larangan itu bisa diterapkan. Melalui pendidikan, berbasis akidah Islam yang menanamkan rasa takut kepada Allah sehingga terbentuk sosok berkepribadian Islam.
Melarang ikhtilat ( bercampur baur perempuan dan laki-laki tanpa adanya hajat syari), berkholwat ( berdua-dua), memerintahkan menutup aurat sempurna baik bagi pria maupun wanita. Dan yang terpenting, penerapan sanksi hukum yang tegas. Jika terbukti bersalah, bukan penjara tapi razam, apalagi jika disertai pembunuhan maka harus ada qisos.
Penetapan hukum dalam Islam memiliki dua fungsi, yaitu jawabir ( sebagai penebus dosa) dan zawajir ( sebagai efek jera). Tak ada HAM, sebab ketika zina dinormalisasi maka yang ada adalah kehancuran yang lebih parah.
Negara juga menjamin pemenuhan kebutuhan pokok lainnya selain pendidikan, yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan keamanan mudah diakses masyarakat.
Dengan mengelola kekayaan alam yang menjadi kepemilikan umum ( tambang, energi dan lainnya) dan kepemilikan negara ( fa'i, jizyah, kharaz dan lainnya) tanpa melibatkan swasta asing maupun dalam negeri, kemudian menyimpannya di Baitulmal untuk dibagikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan fasilitas publik.
Ketiadaan kesejahteraan mengakibatkan banyaknya kriminal, dan Islam menghapusnya dengan mekanisme yang berasal dari Allah SWT. Maka, masihkah berharap pada sistem hari ini yang sekuler untuk menyelesaikan seluruh persoalan umat?
Wallahualam bishawab.
COMMENTS