Oleh : Wenny Suhartati, S.Si Wajah dunia pendidikan tinggi kembali tercoreng setelah viral dua video berisi pasangan mahasisw...
Sungguh telah nyata
rusaknya pergaulan mahasiswa saat ini. Bahkan dengan lingkungan pendidikan yang notabene berbasis agama Islam
pun tidak bisa menjadi benteng dari tindak asusila yang masih marak terjadi.
Terbukti, pendidikan di kampus Islam pun
juga tidak otomatis menjamin kualitas keimanan dan ketakwaan mahasiswanya.
Dengan kata lain, meski berkuliah di kampus Islam ternyata menghasilkan para
mahasiswa yang berperilaku liberal dan terlibat pergaulan bebas.
Lantas apa yang dipelajari mahasiswa dalam pendidikannya? Pendidikan yang seharusnya bisa memperbaiki perilaku dan akhlak seseorang, namun faktanya masih jauh panggang dari api. Oleh karena itu, pasti ada kesalahan orientasi pendidikan yang sedang berjalan saat ini. Pendidikan adalah sebuah proses yang bisa merubah pola pikir dan pemahaman seseorang sehingga menghasilkan pola sikap yang diharapkan. Dalam hal ini tentu saja Islam. Sehingga pendidikan tinggi Islam harusnya bisa menghasilkan mahasiswa yang mempunyai pola pikir dan pola sikap Islam.
Pendidikan Kehilangan Arah
Jika kita melihat
pada sistem kehidupan saat ini, jelas bahwa kehidupan saat ini tidak diatur
dengan aturan Islam. Krisis multidimensional terlihat dalam segala aspek
kehidupan karena jauhnya dari nilai-nilai agama. Akibatnya munculah tatanan
ekonomi yang kapitalistik, budaya hedonis, perilaku politik yang oportunis,
kehidupan sosial yang egois dan individual, pluralisme serta paradigma
pendidikan yang materialistik.
Dan sistem pendidikan
yang materialistik ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang
sekaligus menguasai iptek. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat
individual. Dan dirasa tidak perlu
dijadikan sebagai standar penilaian proses pedidikan. Tempatnya digantikan oleh
kepentingan yang bernilai materi juga. Mereka hanya disiapkan untuk menjadi
lulusan yang siap menghadapi dunia kerja, dengan mendapatkan gelar, jabatan dan
kekayaan materi. Dan ini merupakan basis pemikiran kapitalisme bahwa kesuksesan
itu haruslah bisa terukur secara materi. Sehingga pada akhirnya, semua itu
menjauhkan manusia dari hakikat kehidupannya sendiri. Manusia telah dipalingkan
dari hakikat penciptaannya.
Inilah sekulerisme,
dibangunnya struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam). Secara
formal kelembagaan pun, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya
dua kurikulum pendidikan keluaran dua departemen yang berbeda, yakni Depag dan
Depdikbud. Terdapat kesan yang kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan
(iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama
sekali tidak tersentuh oleh standar nilai agama. Sementara itu, pembentukan
karakter mahasiswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan
justru tidak tersentuh.
Moderasi Beragama Menjauhkan dari Islam
Proses distorsi pemikiran mahasiswa
bertambah dengan program moderasi
beragama yang dimasukkan dalam agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang kemudian diperkuat sisi hukumnya dengan Perpres
No.58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Moderasi beragama dapat
diartikan sebagai cara pandang, sikap dan perilaku yang selalu mengambil posisi
di tengah-tengah, selalu bertindak adil dan tidak ekstrem dalam beragama. Oleh
karena itu, mahasiswa harus dikenalkan dengan moderasi beragama yang muatannya
adalah komitmen persahabatan, toleransi, anti kekerasan dan akomodatif terhadap
budaya lokal, agar tercipta suasana yang rukun dan saling menghargai di
tengah-tengah keragaman lingkungan kampus.
Dengan dalih untuk mewujudkan
Indonesia emas 2045, maka moderasi beragama diperlukan guna menjaga
keharmonisan antara hak beragama dan kewajiban berbangsa dan bernegara, salah
satunya di lingkungan kampus. Alhasil, dunia pendidikan sebagai target utama
moderasi beragama ini, langsung berbenah diri dengan diadakannya Rumah Moderasi
Beragama hampir di seluruh perguruan tinggi yang ada. Tujuannya sebagai
eksekutor dari program moderasi beragama ini.
Hingga pada akhirnya mahasiswa dan civitas akademika kampus terperangkap dalam pemahaman moderasi beragama ini, dan menganggap inilah nilai Islam yang sesungguhnya. Serta menilai moderasi beragama ini sebagai langkah strategis untuk membentengi mahasiswa dan masyarakat dari intoleransi, radikalisme dan ekstremisme. Padahal realitanya, moderasi beragama ini
bukanlah ajaran Islam, tapi ajaran yang lahir dari paham sekulerisme. Dan bukan sekedar agenda lokal atau nasional. Tetapi merupakan strategi dalam pertarungan antara ideologi Islam dan sekuler kapitalisme. Moderasi beragama merupakan agenda kafir Barat dalam skala global untuk merespon dan melawan apa yang mereka sebut sebagai radikalisme, terorisme dan ekstremisme.Kafir Barat menilai, setelah runtuhnya
komunisme, tantangan selanjutnya bagi hegemoni Barat adalah Islam. Agar tidak
menjadi ancaman, dunia Islam harus dibuat ramah terhadap demokrasi dan
modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan
perdamaian global. Semua rencana ini, terbaca sangat nyata dalam dokumen yang
dikeluarkan oleh Rand Corporation pada 2007, berjudul “Building
Moderate Muslim Network”. Dalam dokumen itu dijelaskan juga karakteristik
muslim moderat, yakni muslim yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci
peradaban demokrasi, termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, serta
menerima sumber-sumber hukum nonsektarian.
Karena mereka tidak akan pernah ridho jika
umat Islam kembali bangkit. Mereka terus berupaya memadamkan cahaya Islam. Dana
digelontorkan dan strategi sistemik pun dirancang untuk tujuan besar itu. Salah
satunya adalah dengan menderaskan arus sekularisme melalui program moderasi
beragama. Dengan dalih menyesuaikan zaman, hukum-hukum Islam diubah
sesuai kehendak kafir Barat. Syariat Islam distigma negatif, sehingga harus
dihilangkan dari benak umat Islam.
Sekulerisme Pendidikan
Maka tak heran jika
kemudian terbentuklah generasi mahasiswa
yang memiliki pemikiran rusak dan berdampak pada rusaknya tingkah laku dalam
kehidupan. Mahasiswa yang harusnya menjadi agent
of change menuju peradaban Islam yang mulia malah berbalik arah menjadi phobia dan membenci ajaran Islam itu
sendiri. Mereka juga tidak lagi peduli dengan aktivitas keharaman, bahkan
tindakan seperti perbuatan asusila pun bisa dilakukan dimana saja dan kapan
saja semau mereka. Mereka juga tidak peduli dengan sistem sanksi yang ada,
karena lemahnya sistem hukum di negeri ini sehingga tidak membuat rasa takut
pada diri pelaku ketika melakukan pelanggaran.
Alhasil, masyarakat
termasuk mahasiswa di dalamnya dengan mudah melakukan kejahatan. Ditambah lagi
dengan kerancuan definisi kejahatan itu sendiri tanpa adanya standar yang jelas
semakin memicu terjadinya tindak kejahatan seperti tindakan asusila. Sebab
tindakan asusila tidak bisa dipermasalahkan jika dilakukan atas dasar suka sama
suka. Sebagaimana kasus asusila diatas, menjadi masalah karena dilakukan di
ruang publik yang berada di area kampus sehingga dipandang tidak etik dan harus
diberi sanksi.
Salah satu contoh
kebijakan yang dihasilkan dari pendidikan sekuler ini adalah diterbitkannya
Permendikbud no.30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual di Perguruan Tinggi. Permendikbud PPKS ini yang telah menuai
kontroversi sejak awal kelahirannya karena adanya pasal karet yang disinyalir
memiliki potensi pelegalan zina karena ada nya frasa consent/ijin/persetujuan yang terdapat pada pasal 5 ayat 2 pada
aturan tersebut. Maka tak heran jika perilaku asusila juga masih marak di
kalangan civitas akademika kampus.
Solusi Fundamental
Akar permasalahan
dalam dunia pendidikan saat ini adalah tegaknya sistem kehidupan sekuler. Dari
sistem ini lahirlah paradigma pendidikan yang materialistik. Sekulerisme memang
nyata-nyata bertentangan dengan Islam. Secara paradigmatik, pendidikan harus
dikembalikan pada asas Islam. Dalam pendidikan Islam, aqidah Islam menjadi
dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan menjadi
panduan bagi seluruh kegiatan dalam sistem pendidikan. Dan tujuan pendidikan
dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang berkarakter yaitu
berkepribadian Islam (Syakhshiyyah
Islamiyyah), menguasai tsaqofah
Islam dan menguasai ilmu kehidupan (sains teknologi dan keahlian) yang memadai.
Sehingga dengan sistem pendidikan Islam akan dihasilkan output yaitu generasi yang siap menghadapi kehidupan untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Di dunia mereka akan menjadi kontributor
terwujudnya peradaban yang mulia sedangkan untuk akhirat mereka terobsesi untuk
meraih kebahagiaan surga.
Penjagaan generasi dari aktivitas maksiat tidak hanya dilakukan melalui pendidikan Islam yang membentuk individu yang sholih, tetapi juga dari masyarakat islami. Masyarakat islami adalah masyarakat yang mempunyai standar Islam dan akan saling menjaga individu dalam masyarakat melalui amar ma’ruf nahi munkar. Di sisi lain negara juga mempunyai sistem sanksi Islam yang jelas dan tegas menjerat setiap pelaku kemaksiatan, sehingga mampu terbentuk efek jera yang efektif menghentikan mata rantai kemaksiatan.
Sistem sanksi dalam Islam mempunyai 2 fungsi
yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).
Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan
tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar
hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya. Sebab, aturan Islam mengenai
perzinaan sangatlah tegas. Allah Taala berfirman, “Perempuan yang berzina
dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.” (QS An-Nuur [24]: 2).
Juga hadist Rasulullah saw., “Ambillah dari
diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar
(hukuman) untuk mereka (pezina). Jejaka dan perawan yang berzina hukumannya
dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dan janda
hukumannya dera seratus kali dan rajam.” (HR Muslim).
Sistem pendidikan Islam ini pernah diterapkan
pada masa kejayaan Islam. Berdasarkan sirah
Nabi saw dan tarikh Daulah Khilafah,
negara memberikan jaminan pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan
kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik
mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan
beban yang harus dipikul negara serta diambil dari kas baitul mal. Sistem pendidikan bebas biaya tersebut didasarkan atas
ijma’ sahabat yang memberi gaji kepada para pengajar dari baitul mal dengan jumlah tertentu.
COMMENTS