Propaganda Terorisme
Oleh : Eva Hana S.Pd. |Pendidik Generasi
Jelang pemilu aksi penangkapan warga yang diduga terlibat terorisme kembali terjadi. Sepanjang bulan Oktober 2023, tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri telah melakukan penangkapan terhadap 18 tersangka pelaku tindak pidana terorisme di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap aksi terorisme, terutama menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 (antaranews.com).
Karo Ponmas Divisi Humas, Brigjen Ahmad Ramadhan, menyatakan
bahwa tidak ada peningkatan ancaman terorisme. Namun, Kapolri Jenderal Listyo
Sigit Prabowo mengingatkan tentang serangan terorisme yang terjadi pada Pemilu
2019, di mana terdapat enam aksi serangan teror. Ia menekankan bahwa hal
tersebut tidak boleh terjadi pada Pemilu 2024.
Melawan terorisme merupakan tugas penting yang harus
dilakukan oleh aparat keamanan. Namun, upaya preventif untuk mencegah
terjadinya aksi terorisme tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Aksi
penangkapan yang tidak didasari oleh ancaman yang akurat tidak bisa disebut
sebagai upaya preventif.
Selain itu, juga tidak dibenarkan bagi aparat keamanan untuk
melakukan penangkapan tanpa bukti yang akurat. Hal ini dapat menimbulkan
berbagai masalah, seperti salah tangkap atau bahkan menghilangkan nyawa orang
yang masih berstatus “terduga teroris”.
Tentu saja, penetapan tersangka harus melalui proses hukum
yang adil dan tidak boleh diskriminatif. Terorisme tidak dapat dipandang
sebagai aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang berjenggot, bercadar, celana
cingkrang, sering ke masjid, atau aktif mengikuti pengajian.
Narasi stereotip yang mengaitkan terorisme dengan penyeru
jihad seringkali diulang-ulang menjelang momen-momen nasional, seperti pemilu
maupun jelang Ramadhan dan Nataru (natal dan tahun baru). Narasi seperti ini
hanya menciptakan diskriminasi dan stereotip yang tidak sehat dalam masyarakat.
Ironisnya, saat ini dukungan masyarakat terhadap rakyat
Palestina semakin meningkat. Namun, sejumlah media internasional telah
mengklaim bahwa para mujahid di Palestina adalah “teroris”. Ini menunjukkan
bahwa label “teroris” seringkali digunakan secara sembrono tanpa memperhatikan
fakta dan konteks yang sebenarnya.
Seiring dengan menguatnya narasi terorisme, Pemerintah
Indonesia melalui Perpres 58/2023 juga melakukan upaya penguatan moderasi
beragama secara terencana, sistematis, koordinatif, kolaboratif, dan
berkelanjutan. Hal ini dianggap sebagai solusi untuk mengamputasi pemikiran
ekstrem yang diyakini telah menjadi landasan bagi para pelaku terorisme.
Padahal kehadiran moderasi beragama telah membuat ajaran
Islam tidak lagi sempurna. Umat Islam tak lagi menjadi umat terbaik, sebab tidak
memiliki pemahaman Islam yang benar. Umat digiring untuk memahami ajaran
moderasi beragama yang telah disesuaikan dengan kepentingan Barat yakni
mematikan benih-benih muruah, kemuliaan, dan keberanian umat Islam hingga ke
akarnya. Dari sinilah narasi moderasi beragama dinilai ampuh dalam mematikan
ajaran Jihad di negeri-negeri muslim.
Padahal kehadiran moderasi beragama telah membuat ajaran Islam tak lagi sempurna. Umat Islam tak lagi menjadi umat terbaik, sebab tak memiliki pemahaman Islam yang benar. Umat digiring untuk memahami ajaran moderasi beragama yang telah disesuaikan dengan kepentingan Barat yakni mematikan benih-benih muruah, kemuliaan, dan keberanian umat Islam hingga ke akarnya. Dari sinilah narasi moderasi beragama dinilai ampuh dalam mematikan ajaran Jihad di negeri-negeri muslim.
Ajaran Jihad tidak bisa disamakan dengan aksi terorisme. Menyamakan keduanya adalah bagian dari penyesatan. Selain itu makna Jihad tak boleh dibelokkan, seperti munculnya pendapat beberapa ulama yang menyatakan bahwa Jihad bukanlah perang, sebab bila diartikan perang akan berbahaya bagi kedamaian dunia. Anggapan tersebut tentu akan menumpulkan semangat kaum muslimin untuk mempertahankan kemuliaan dan kelangsungan kehidupan Islam. Umat Islam akan kehilangan kekuatannya, tidak mampu melawan musuh-musuhnya yang telah mengambil kekayaan alamnya, merampas hak hingga menghancurkan negaranya.
Jihad adalah metode mendasar dalam rangka menegakkan hukum Allah di muka bumi. Hukum Allah yang mengatur seluruh aktivitas kehidupan manusia tanpa terkecuali baik muslim ataupun non muslim. Non muslim tidak dipaksa untuk berpindah agama kepada Islam, mereka hanya diminta untuk menerima dan berhukum dengan islam dalam urusan publik serta membayar jizyah. Jika mereka bersedia, maka mereka akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dimata hukum. Tidak diperangi, dijamin jiwa, harta, kehormatan dan keyakinannya. Namun jika menolak maka negeri mereka akan diperangi sesuai syari'at agar tidak menjadi penghalang bagi diterapkannya Islam dalam kehidupan.
Penerapan hukum Islam tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi, sebab hukum Islam telah terbukti sebagai satu-satunya sistem hidup yang mampu memanusiakan manusia, menjamin keadilan, mencapai kesejahteraan, dan kemuliaan.
Dalam pelaksanaan Jihad, Rasulullah SAW telah memberikan rambu-rambu yang sangat jelas, diantaranya;
1. Dilarang membunuh perempuan dan anak-anak (HR Bukhari 3015 dan Muslim 1744)
2. Dilarang mencuri harta rampasan perang, berkhianat, mencincang mayat musuh, dan membunuh anak-anak (HR Muslim 1731)
3. Dilarang membunuh anak-anak dan para pekerja (HR Ibnu Majah 2842)
4. Dilarang menghacurkan desa dan kota, merusak ladang dan kebun (HR Bukhari, Sunan Abu Dawud)
Selain itu dalam Jihad, IsIam mengajarkan adab yang tinggi dan mulia. Tentu jauh sekali dengan aksi perang yang dilakukan oleh Israel kepada Palestina. Serangan membabi buta, membantai dan melakukan genosida tanpa pandang bulu ini menunjukkan kejahatan yang akan terus terjadi selama pangkal masalah yakni penerapan Kapitalisme yang dikendalikan oleh Amerika dan telah nyata membiarkan, melindungi serta menyokong bantuan kepada Israel, dibiarkan berkuasa. Meskipun mereka sadar apa yang mereka lakukan telah melanggar hukum internasional yang mereka buat sendiri.
Kejahatan mereka hanya bisa dihentikan manakala hukum Islam diterapkan secara sempurna. Menolak sebagian hukum Allah dan menerima sebagiannya, adalah perbuatan yang mengantarkan pada kekafiran. Allah SWT telah mengingatkan kita dalam firmanNya.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (TQS al-Nisa’ [4]: 150-151).
Belajar Islam dengan benar adalah cara agar kita tak lagi mudah disesatkan oleh pemahaman yang keliru. Selain itu kesungguhan dalam berjuang agar hukum Islam dapat diterapkan secara sempurna menjadi tugas bersama yang Allah SWT wajibkan kepada kita semua. Wallahualam bissawab.
COMMENTS