MEMBACA KEMBALI FIQIH SIYASAH

Referensi FIQIH SIYASAH

Fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah pada hakikatnya merupakan bagian dari tsaqafah Islam, dan wajib dipahami sebagaimana memahami tsaqafah Islam pada umumnya.

Bagi pengkaji kitab kuning alias turats, berbicara fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah tentu bukan barang baru. Kajian ini memang merupakan bagian dari khazanah keilmuan para ulama terdahulu. Dari namanya kita semua tahu, asal usul ilmu ini berasal dari fiqih itu sendiri. Pasalnya fiqih itu merupakan sekumpulan berbagai hukum syara’ yang digali dari dalil-dalil terperinci. Di dalam sekumpulan berbagai hukum syara’ tadi terdapat hukum-hukum seputar tata negara alias al-Ahkam as-Sulthaniyyah atau as-Siyasah asy-Syar’iyyah.

Sebutan al-Ahkam as-Sulthaniyyah dan as-Siyasah asy-Syar’iyyah, lebih populer dalam sejarahnya ketimbang sebutan fiqih siyasah yang muncul belakangan. Hal ini wajar, karena sebutan fiqih siyasah, mungkin saja dikhawatirkan mereduksi definisi awal mengenai fiqih sebagai sejumlah hukum syara’ yang mencakup banyak hukum, sehingga menimbulkan mispersepsi terhadap kajian fiqih yang semestinya menyeluruh malah menjadi parsial.

Terlepas dari itu, ketiga istilah tadi objek kajiannya sama-sama membahas mengenai tata negara dalam Islam. Disebut ahkam sulthaniyyah mungkin karena berkaitan hukum kekuasaan, disebut siyasah syar’iyyah mungkin karena berkaitan kebijakan yang berlandaskan syariah, dan disebut fiqih siyasah mungkin karena berkaitan pemahaman mendalam dalam mengurus berbagai kebijakan negara.

Adapun munculnya disiplin ilmu ini, lebih kepada kebutuhan instan para penguasa muslim pada masa keemasan Islam, sebagai rujukan mengeluarkan kebijakan penguasa, ketika sang penguasa bukan seorang ulama atau mujtahid. Atau dalam konteks fiqih, sebagai panduan bagi mukallaf, baik sebagai rakyat maupun sebagai penguasa dan pejabat, untuk menjalankan hukum syariah dalam konteks bermasyarakat dan bernegara.

Perhatian Ulama Dulu dan Kini

Sebagian peneliti, seperti Dr. al-‘Ubaid menganggap imam al-Auza’i (w. 157 H) dengan kitab as-Siyar, imam asy-Syaibani (w. 189 H) dengan as-Siyar ash-Shagir dan as-Siyar al-Kabir, serta imam al-Fazari (w. 188 H) dengan kitab yang berjudul mirip yakni as-Siyar, merupakan tiga ulama awal yang meski tidak menyeluruh namun mengandung bahasan siyasah syar’iyyah atau fiqih siyasah.

Tak ketinggalan Ibnu al-Mubarak (w. 181 H) dengan kitab al-Jihad, Qadhi Abu Yusuf (w. 182 H) dengan kitab al-Kharaj, Yahya bin Adam (w. 203 H) dengan judul sama al-Kharaj, Sahl bin Harun (w. 215 H) dengan kitab Tadbir al-Mulk wa as-Siyasah, Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) dengan kitab al-Amwal, Ibnu Zanjawaih (w. 251 H) dengan judul sama al-Amwal, Muhammad bin al-Imam Sahnun al-Maliki (w. 265 H) dengan dua kitab: as-Siyar setebal dua puluh jilid dan al-Imamah, Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H) dengan as-Siyar, Ibnu Qutaibah (w. 276 H) dengan kitab al-Harb –adapun kitab al-Imamah wa as-Siyasah sebagian peneliti masih meragukan penisbatan kepada beliau–, Ibnu Abi Dunya (w. 281 H) dengan kitab ar-Ramyu wa an-Nidhal, Ahmad bin ath-Thabib as-Sarakhsi (w. 286 H) dengan kitab as-Siyasah, Ibnu Abi ‘Ashim (w. 287 H) dengan kitab al-Jihad, al-Amir ‘Ubaidullah bin Thahir (w. 300 H) dengan kitab as-Siyasah al-Mulukiyyah dan Ri’asah as-Siyasah, al-Hasan bin ‘Ali al-Uthrus (w. 305 H) seorang imam Zaidiyyah dengan kitab as-Siyar, ath-Thahawi (w. 321 H) dengan kitab Qismah al-Ghanimah wa al-Fa’i, Wazir Khalifah al-Muqtadir ‘Ali bin ‘Isa (w. 334 H) dengan Siyasah al-Mamlakah wa Sirah al-Khulafa’, ath-Thabarani (w. 360 H) dengan kitab Fadhl ar-Ramyi wa Ta’limihi, al-Khaththabi (w. 388 H) dengan kitab al-Jihad, al-Iskafi (w. 421 H) dengan Luthf at-Tadbir fi Siyasah al-Muluk, dan Ibnu Miskawaih (w. 421 H) dengan kitab as-Siyasah.

Setelah itu munculah kitab paling populer di bidang ini yakni al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Mawardi asy-Syafi’i (w. 450 H), karya ini lalu diringkas oleh Badruddin al-Hasan bin ‘Ali al-Qunawi (w. 776 H) dan al-Hafizh as-Suyuthi (w. 911 H). Selanjutnya ada al-Qudha’i (w. 454 H) dengan Dustur Ma’alim al-Hikam, al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain bin al-Farra’ al-Hanbali (w. 458 H) dengan judul mirip karya al-Mawardi yakni al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini asy-Syafi’i (w. 478 H) dengan Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats azh-Zhulam, Muhammad bin Ahmad as-Sarakhsi al-Hanafi (w. 483 H) dengan Syarh as-Siyar al-Kabir, Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan al-Muradi (w. 489 H) dengan kitab as-Siyasah atau al-Isyarah fi Tadbir al-Imarah, Abu al-Hasan ‘Ali bin Thahir as-Sulami (w. 500 H) dengan kitab al-Jihad al-Musytamil ‘ala al-Hatsts ‘alaih wa at-Targhib fih, al-Muwaffaq al-Baghdadi (w. 629 H) dengan al-Umdah fi Ushul as-Siyasah, Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i (w. 505 H) dengan at-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, Abu Bakar ath-Thurthusyi al-Maliki (w. 520 H) dengan Siraj al-Muluk, Abu al-Qasim bin ‘Asakir (w. 571 H) dengan al-Ijtihad fi Iqamah Fardh al-Jihad, Abddurrahman bin Nashr asy-Syaizari (w. 589 H) dengan al-Minhaj al-Masluk fi Siyasah al-Muluk yang dipersembahkan bagi an-Nashir Shalahuddin al-Ayyubi (w. 589 H), Ibnu al-Faras (w. 597 H) dengan Mukhtashar fi al-Ahkam as-Sulthaniyyah, dan Muhammad bin Abdul Karim al-Haritsi (w. 599 H) dengan al-Hurub wa as-Siyasah.

Termasuk referensi penting juga di bidang ini, al-Injad fi Abwab al-Jihad wa Tafshil Fara’idhih wa Sunnanih karya Ibnu al-Munashif (w. 620 H), lalu Abdullah bin Hamzah (w. 614 H) seorang imam Zaidiyyah dengan ad-Durrah al-Yatimah fi Tabyin Ahkam as-Sabiy wa al-Ghanimah, ‘Ali bin Zhafir al-Azdi (w. 623 H) dengan Asas as-Siyasah, Muhammad bin ‘Ali al-Qal’i (w. 630 H) dengan Tahdzib ar-Riyasah wa Tartib as-Siyasah, Wazir Ibnu Thalhah (w. 652 H) dengan al-‘Iqd al-Farid li al-Malik as-Sa’id, Abdullah bin ‘Umar bin Hammawaih as-Sarkhasi asy-Syafi’i (w. 653 H) dengan as-Siyasah al-Mulukiyyah, Abu Bakar ar-Razi (w. 666 H) dengan Tuhfah al-Muluk, Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dengan as-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah yang mengandung banyak doktrin dan fatwa penting bidang ini, Badruddin Ibnu Jama’ah asy-Syafi’i (w. 733 H) dengan Tahrir al-Ahkam fi Tadbir Ahl al-Islam termasuk karya yang sistematis, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dengan ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah dan Ahkam Ahl adz-Dzimmah, Najmuddin Ibrahim bin ‘Ali ath-Thurasusi al-Hanafi (w. 758 H) dengan Tuhfah at-Turk fima Yajib an Yu’mal fi al-Mulk, Ibnu Ridwan al-Maliqi al-Maliki (w. 783 H) dengan asy-Syuhub al-Lami’ah fi as-Siyasah an-Nafi’ah, Musa bin Yusuf (w. 791 H) seorang penguasa Bani Zayan dengan Qala’id ad-Durar fi Siyasah al-Mulk, Ibnu Farhun al-Maliki (w. 799 H) dengan Tabshirah al-Hukkam fi Ushul al-Aqdhiyyah wa Manahij al-Ahkam, dan Ibnu Khaldun (w. 808 H) dengan Muqaddimah Ibnu Khaldun.

Termasuk referensi bermanfaat di bidang ini, ada Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah karya Ahmad bin Abdullah al-Qalqasyandi (w. 820 H), Mahmud Isma’il al-Jizi (w. 843 H) dengan ad-Durrah al-Gharra’ fi Nashihah as-Salathin wa al-Qudhah wa al-Umara yang dipersembahkan bagi Abu Sa’id Jaqmaq Sulthan Mesir, Ahmad al-Muhammadi al-Hanafi (w. 875 H) dengan al-Burhan fi Fadhl as-Sulthan, ‘Ali bin Muhammad al-Qalshadi al-Maliki (w. 891 H) dengan an-Nashihah fi as-Siyasah al-‘Ammah wa al-Khashshah, Ibnu al-Azraq al-Andalusi (w. 896 H) dengan Bada’i as-Silk fi Thaba’i al-Mulk, Muhammad bin Yahya bin Bahran (w. 907 H) dengan Bahjah al-Jamal wa Mahjah al-Kamal fi al-Madzmum wa al-Mamduh min al-Khishal fi al-Aimmah wa al-‘Ummal, Ibnu al-Mubarrid al-Hanbali (w. 909 H) dengan Idhah Thuruq al-Istiqamah fi Bayan Ahkam al-Wilayah wa al-Imamah, Muhammad bin Muhammad al-Balathunusi asy-Syafi’i (w. 936 H) dengan Tahrir al-Maqal fima Yahillu wa Yahrumu min Bait al-Mal, al-A’raj (w. 925 H) dengan Tahrir as-Suluk fi Tadbir al-Muluk, Ibnu al-Hanbali (w. 959 H) dengan Mashabih Arbab ar-Riyasah wa Mafatih Arbab al-Kiyasah, Ibnu Nujaim al-Hanafi (w. 970 H) dengan as-Siyasah asy-Syar’iyah, Ibrahim Zadah al-Hanafi (w. 973 H) dengan judul sama as-Siyasah asy-Syar’iyah, Syaikh Dadah Khalifah al-Hanafi (w. 975 H) judul sama as-Siyasah asy-Syar’iyah, ‘Ali al-Ahwazi dengan at-Tibr al-Munsabiq fi Tadbir al-Mulk, Abdul Ra’uf al-Munawi asy-Syafi’i (w. 1031 H) dengan al-Jawahir al-Mudhiyyah fi al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Husain bin Ahmad ad-Dawikhi al-Hanafi (w. 1095 H) dengan as-Siyasah, Syaikh Dadah Afandi al-Hanafi (w. 1146 H) dengan tulisan as-Siyasah asy-Syar’iyyah, Ahmad bin Hasan al-Jauhari asy-Syafi’I (w. 1181 H) menulis Faidh al-‘Ali al-Bari fi Tahqiq al-Jizyah al-Ikhtiyari, Muhammad bin Isma’il al-Amir ash-Shan’ani (w. 1182 H) menulis al-Hirasah ‘an Mukhalafah al-Masyru’ min as-Siyasah, Abdul Ghafur al-Amidi asy-Syafi’i (w. 1185 H) menulis as-Siyasah, Ahmad bin Abdul Mun’im ad-Damanhuri al-Madzahibi (w. 1192 H) menulis an-Naf’u al-Ghazir fi Shalah as-Sulthan wa al-Wazir, Muhammad bin Husain bin Bairum at-Tunusi al-Hanafi (w. 1214 H) menulis al-Bairumiyyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, Muhammad Faudi (w. 1253 H) menulis Kifayah al-Muhtadin fi Ahkam al-Mukhallafin min al-Mujahidin, Muhammad al-Mami (w. 1282 H) menyusun Jahr ar-Riyadh al-Waraqiyyah fi ‘Aqd al-Ahkam al-Mawardiyyah, Shiddiq Hasan Khan al-Qanuji (w. 1307 H) menulis Iklil al-Karamah fi Tibyan Maqashid al-Imamah dan al-‘Ibrah bima Ja’a fi al-Ghazwi wa asy-Syahadah wa al-Hijrah, Khairuddin at-Tunusi (w. 1308 H) menulis Aqwam al-Masalik fi Ma’rifah Ahwal al-Mamalik, Ibrahim bin Abdul Hamid al-Kuraidi (w. 1312 H) menyusun Washithah as-Suluk fi Siyasah al-Muluk, Syaikh Damad al-Hanafi (w. 1318 H) menulis as-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Huquq ar-Ra’i wa Sa’adah ar-Ra’iyyah, dan Muhammad al-Ghasym (w. 1355 H) menulis Risalah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah. (Lihat disertasi Dr. Abdullah bin Shalih bin Muhammad al-‘Ubaid, sebagai pengantar kitab Tahrir al-Ahkam fi Tadbir Ahl al-Islam, yang diterbitkan Darul Minhaj 1433 H).

Menurut penelitian penulis Fi Mashadir at-Turats as-Siyasi al-Islami yang terbit tahun 1994 M, secara kuantitas karya di bidang fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah para ulama terdahulu ini hampir mencapai tiga ratus judul literatur. Jumlah tersebut diluar karya anonim dan karya ulama kontemporer.

Adapun karya para ulama kontemporer dalam bidang ini, yang menjadi bukti perhatian serius para ulama masa kini terhadap fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah, bisa kita cermati dari beberapa karya berikut, diantaranya: as-Siyasah asy-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami karya Abdurrahman Taj, al-‘Alaqat ad-Duwaliyyah fi al-Islam karya Muhammad Abu Zahrah, Nazhariyyah al-Islam as-Siyasah karya Abu al-A’la al-Maududi, Naqdh Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm karya cemerlang Muhammad al-Khadhir Husain, at-Taratib al-Idariyyah karya Abdul Hayyi al-Kattani, as-Siyasah asy-Syar’iyyah karya Abdul Wahhab Khalaf, al-Jihad wa an-Nuzhum al-Askariyyah fi at-Tafkir al-Islami karya Ahmad Syalabi, Minhaj al-Islam fi al-Hukm karya Muhammad Asad, al-Islam wa Audha’una as-Siyasah karya Abdul Qadir ‘Audah, al-Madkhal ila as-Siyasah asy-Syar’iyyah karya Abdul ‘Al ‘Athwah, Ahkam adz-Dzimmiyin wa al-Musta’minin fi Dar al-Islam karya Abdul Karim Zaidan, al-Mashalih al-‘Ulya li al-Ummah wa Dharurah Ri’ayatiha wa al-Muhafazhah ‘Alaih karya Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami karya Wahbah az-Zuhaili, al-Qital fi al-Islam Ahkamuh wa Tasyri’atuh karya Muhammad bin Nashir al-Ja’wan, asy-Syura fi Nizham al-Hukm al-Islami karya Abdurrahman Abdul Khaliq, Khasha’ish at-Tasyri al-Islami fi as-Siyasah wa al-Hukm karya Fathi ad-Duraini, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah karya Muhammad Khair Haikal, Ma’alim al-Khilafah fi al-Fikr al-Islami karya Mahmud al-Khalidi, al-‘Alaqat al-Kharijiyyah li ad-Daulah al-Islamiyyah karya Sa’id al-Muhairi, Majmu’ah al-Watsa’iq as-Siyasah li al-‘Ahd an-Nabawiyyah wa al-Khilafah ar-Rasyidah karya Muhammad Hamidullah, al-‘Alaqat ad-Dauliyyah fi asy-Syariah al-Islamiyyah karya ‘Abbas Syuman, ad-Daulah ‘inda Ibnu Taimiyyah karya Muhammad al-Mubarak, al-Fikr as-siyasi ‘inda al-Mawardi karya Ahmad Mubarak, al-Akhlaq as-Siyasah li ad-Daulah al-Islamiyyah fi al-Qur’an wa as-Sunnah karya Muhammad Zakariya an-Naddaf, al-Imamah al-‘Uzhma’ ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah karya ‘Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman ad-Dumaiji, Qira’ah Siyasiyyah li as-Sirah an-Nabawiyyah karya Muhammad Rawwas Qal’ahji, dan ad-Daulah al-Islamiyyah serta Nizham al-Hukm fi al-Islam karya Taqiyyuddin an-Nabhani yang sangat kaya akan tarjih pemikiran.

Selain karya tersebut, mungkin saja masih banyak karya lain yang belum mampu penulis sebutkan. Setidaknya pemaparan ini membuktikan kepada kita, pemikiran politik dan pemerintahan dalam Islam sudah mapan dan jelas. Hanya saja dalam konteks hari ini, pemikiran politik dan pemerintahan Islam, masih berupa ide dan gagasan intelektual, belum terwujud secara formal konstitusional.

Membaca dengan Benar Fiqih Siyasah

Fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah pada hakikatnya merupakan bagian dari tsaqafah Islam, dan wajib dipahami sebagaimana memahami tsaqafah Islam pada umumnya. Karena itu, berdasarkan penelaahan metodologi studi Islam yang telah para ulama terdahulu gariskan, kurang lebih bisa kita rumuskan pembacaan yang benar terhadap fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam mengkaji khazanah fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah ini, seorang pembaca pemikiran tentu harus memiliki niat yang lurus, yakni mengkaji demi kebaikan umat dan agama, bukan kepentingan lain yang bersifat dunia apalagi menyerang ajaran Islam. Penulis Ta’lim al-Muta’allim pada fasal kedua kitab tersebut mengingatkan:

وينبغى أن ينوي المتعلم بطلب العلم رضاء الله والدار الآخرة، وإزالة الجهل عن نفسه، وعن سائر الجهال، وإحياء الدين وإبقاء الإسلام، فإن بقاء الإسلام بالعلم

Dalam mencari ilmu, pengkaji harus berniat mencari ridha Allah dan negeri akhirat, menghilangkan kebodohan diri sendiri maupun kebodohan orang lain, menghidupkan agama dan mempertahankan ajaran Islam, karena ajaran Islam bisa bertahan melalui ilmu.

Kedua, memahami bahwa fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah ini murni berasal dari ajaran Islam, dan tidak terpengaruh ajaran peradaban yang lain. Pasalnya disiplin ilmu ini dibagun berdasarkan dalil-dalil syariah sebagaimana kita pahami dari penjelasan definisi fiqih itu sendiri, karena fiqih itu merupakan sekumpulan hukum syariah yang digali dari dalil-dalil terperinci: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas Syar’i. Konsekuensinya, sebagai bagian dari ajaran Islam, maka berbagai pemikiran siyasah syar’iyyah memiliki perbedaan yang signifikan dengan sistem tata negara peradaban lainnya.

Ketiga, mempelajari ilmu ini hukumnya fardhu kifayah, namun bukan berarti jika disebut fardhu kifayah dianggap tak lebih penting ketimbang fardhu ‘ain, ini jelas pemahaman keliru. Pasalnya antara fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, yang membedakan hanya aspek kondisi pelaksana saja, bukan pada aspek wajib atau tidaknya. Sehingga keduanya sama-sama kewajiban yang harus ditunaikan. Bahkan imam al-Haramain sendiri berkata:

فرض الكفاية أفضل من فرض العين من حيث إن فاعله يسد مسد الأمة ويسقط الحرج عن الأمة وفرض العين قاصر عليه

Fardhu kifayah lebih utama dari fardhu ‘ain, sebab dari sisi pelaksananya yang akan menunaikan kewajiban umat dan menggugurkan dosa umat, sedangkan fardhu ‘ain hanya terbatas pada menunaikan kewajiban dan menggugurkan dosa dirinya sendiri.

Hal ini diamini imam an-Nawawi dalam Muqaddimah al-Majmu’ yang menyatakan:

واعلم أن للقائم بفرض الكفاية مزية على القائم بفرض العين لأنه أسقط الحرج عن الأمة وقد قدمنا كلام إمام الحرمين في هذا في فصل ترجيح الاشتغال بالعلم على العبادة القاصرة

Ketahuilah, orang yang melaksanakan fardhu kifayah memiliki keistimewaan tersendiri ketimbang orang yang melaksanakan fardhu ‘ain, karena pelaksanaannya bisa menggugurkan dosa umat, sebagaimana sudah disebutkan pendapat imam al-Haramain sebelumnya mengenai hal ini, pada fasal keutamaan berkiprah dalam keilmuan ketimbang ibadah sunnah.

Keempat, memahami posisi fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah yang masuk kategori hukum perbuatan atau hukum syara’. Jadi bidang keilmuan ini, masuk kategori syariah dan bukan akidah. Meskipun ada sebagian ulama yang menyimpan sebagian pembahasan fiqih siyasah dalam kitab akidah atau kitab ilmu kalam. Hal ini hanya menunjukkan betapa pentinggnya tata negara dalam Islam, sekaligus cara para ulama Ahlus Sunnah meluruskan topik kepemimpinan dalam Islam yang salah dipahami sebagian kalangan Syiah, Muktazilah dll.

Kelima, sebagaimana karakter fiqih, bidang ini pun memungkinkan terjadinya kesepakatan maupun perbedaan pendapat di kalangan ulama, namun perbedaan pendapat ini bukanlah perbedaan pendapat yang liar. Perbedaan ini harus didasari pada dalil syariah, bukan berdasarkan perspektif diluar dalil syariah.

Keenam, melakukan pembacaan terhadap fiqih siyasah atau siyasah syar’iyah, harus dengan kajian yang mendalam. Sehingga sang pengkaji bisa memahami betul seluk beluk topik kajiannya dengan benar. Karena itu mesti dihindari pembacaan yang dangkal terhadap topik ini.

Model kajian yang cukup mendalam, misalnya kajian imam al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah yang membahas: Hukum syariah seputar imamah, khilafah dan wizarah alias pembantu khalifah dengan klasifikasi dan syarat-syaratnya; pengangkatan penguasa daerah dan panglima perang; otoritas peradilan dan mazhalim; kepemimpinan shalat, otoritas haji dan zakat; kewajiban dan fungsi kepala negara serta hubungannya dengan rakyat; penjelasan hukum fa’i, jizyah, kharaj, menghidupkan tanah mati, hima alias tanah proteksi dan fasilitas umum; pembentukan dan ketentuan diwan alias badan administrasi; ketentuan tindak kriminal dan sanksi sesuai hukum syariah seperti hudud, qishash dan ta’zir.

Untuk ulama kontemporer, ada model kajian Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang disempurnakan Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam Nizham al-Hukm fi al-Islam, kitab ini membahas topik standar yang sudah dijelaskan ulama sebelumnya semisal al-Mawardi, namun lebih sistematis, kaya akan tarjih dan menjawab kebutuhan modern dalam konteks tata negara. Contohnya dalam karya ini, kita diberi kajian serius mengenai perbedaan sistem khilafah dengan kerajaan, republik, imperium dan federasi. Termasuk penjelasan kaidah baku sistem pemerintahan Islam, struktur negara baik pemerintah maupun administrasi, mengenai majelis umat, batas ketaatan kepada penguasa, mekanisme penerapan syariah Islam, kewajiban warga negara dalam konteks kritis terhadap penguasa, bahkan ada pula hukum seputar pendirian partai politik. Semuanya disertai penyebutan berbagai dalil dan kaidah syariah.

Ketujuh, pengkaji bidang ini harus mampu berpikir objektif, sehingga bisa menempatkan isu sejarah, realitas kekinian dan mashlahat secara benar. Maksudnya, isu sejarah, realitas kekinian dan mashlahat memang sesuatu yang boleh dipertimbangkan menjadi objek kajian, namun statusnya tidak boleh menjadi sumber pemikiran, dalil atau menggantikan dalil yang sudah fix, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas Syar’i. Pasalnya fiqih siyasah dari awal memang bukan kajian sejarah, bukan sesuatu yang didasarkan pada realitas kekinian dan pandangan mashlahat subjektif manusia. Tapi sebuah kajian terhadap ajaran Islam dalam bidang tata negara, yang merujuk pada bagaimana metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun negara di Madinah dan ijma’ al-Khulafa’ ar-Rasyidun setelahnya dalam menjalankan sistem Khilafah. Dengan prinsip seperti ini, para pembaca fiqih siyasah tidak akan kebingungan menyikapi pasang surut penerapan Islam dan berbagai intrik politik yang terjadi pada era khilafah umayyah, abbasiyyah dan utsmaniyyah. Karena sumber pemikiran adalah dalil syariah.

Kedelapan, pemisahan agama dari kehidupan alias sekularisme merupakan hambatan terbesar, dalam menjalankan ajaran Islam di bidang tata negara. Hal ini perlu disadari sejak awal dalam kajian fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah. Sebab isu sekularisme sangat bertentangan dengan topik relasi agama dan negara dalam Islam, yang pada gilirannya isu sekularisme inilah yang melandasi konsep nation state alias negara bangsa. Jadi sekularisme dan nation state, bukan topik asli kajian fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah. Namun suatu problem pemikiran yang dialami Barat akibat konflik berkepanjangan kalangan agamawan Eropa dengan para politisi atau filosof mereka. Faham ini tentu tidak boleh menjadi sumber pemikiran bagi para pengkaji siyasah syar’iyyah, akan tetapi jika dijadikan objek kajian kritik, dijelaskan aspek kekeliruannya dan dijelaskan pula pemikiran Islam yang sebenarnya mengenai relasi negara dan agama, maka ini sangat diperbolehkan.

Dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad karya imam al-Ghazali disebutkan:

الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع

Agama merupakan pondasi dan kekuasaan merupakan penjaga, sesuatu yang tidak memiliki pondasi pasti akan runtuh dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga pasti akan hilang.

Dalam kitab Ihya Ulumiddin, beliau pun berkata:

وأحكام الخلافة والقضاء والسياسات بل أكثر أحكام الفقه مقصودها حفظ مصالح الدنيا ليتم بها مصالح الدين

Berbagai hukum mengenai khilafah, peradilan Islam, siyasah Islam, serta seluruh hukum fiqih bertujuan menjaga kebaikan bagi dunia sehingga kebaikan agama menjadi sempurna.

Kesembilan, topik siyasah syar’iyyah atau fiqih siyasah bukan dikaji dalam konteks teoritis belaka, namun harus dipahami bahwa ini adalah ajaran Islam yang bisa diterapkan dalam menjawab masalah kehidupan di bidang tata negara. Karena itu kita bisa berhipotesis, umumnya karya ulama di bidang ini, ditulis bukan demi kepuasan intelektual pribadi semata, namun dipersembahkan sebagai “naskah akademik” para penguasa muslim masa terdahulu dalam menjalankan roda pemerintahan.

Dalam muqaddimah al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya imam al-Mawardi, dijelaskan motif penulisan kitabnya:

ولما كانت الأحكام السلطانية بولاة الأمور أحق، وكان امتزاجها بجميع الأحكام يقطعهم عن تصفحها مع تشاغلهم بالسياسة والتدبير، أفردت لها كتابا امتثلت فيه أمر من لزمت طاعته، ليعلم مذاهب الفقهاء فيما له منها فيستوفيه، وما عليه منها فيوفيه، توخيا للعدل في تنفيذه وقضائه، وتحريا للنصفة في أخذه وعطائه...

Tatkala berbagai hukum ketatanegaraan ini bagi para penguasa sangat serius, serta berbagai hukum tersebut masih bercampur dengan hukum fiqih yang lain, yang menghalangi para penguasa tersebut menelaahnya disertai konsetrasi yang terbagi dengan urusan pemerintahan dan ketertiban masyarakat, maka aku tulis sebuah kitab mengenai hukum ketatanegaraan, demi melaksanakan perintah seseorang yang harus ditaati, agar beliau mengetahui beragam pendapat fukaha, terkait berbagai kewenangan yang mesti digunakan dan berbagai kewajiban yang mesti ditunaikan, supaya arah kepemimpinan dan keputusannya bisa adil, supaya dalam menghukum dan mengampuni bisa seimbang.

Demikianlah beberapa poin penting dalam membaca secara benar fiqih siyasah. Wallahu a’lam.

Yan S. Prasetiadi
26 Jumada’ al-Akhirah 1444 H

COMMENTS

Name

afkar,5,agama bahai,1,Agraria,2,ahok,2,Analysis,50,aqidah,9,artikel,13,bedah buku,1,bencana,23,berita,49,berita terkini,228,Breaking News,8,Buletin al-Islam,13,Buletin kaffah,54,catatan,5,cek fakta,2,Corona,122,curang,1,Dakwah,42,demokrasi,52,Editorial,4,Ekonomi,186,fikrah,6,Fiqih,16,fokus,3,Geopolitik,7,gerakan,5,Hukum,90,ibroh,17,Ideologi,68,Indonesia,1,info HTI,10,informasi,1,inspirasi,32,Internasional,3,islam,192,Kapitalisme,23,keamanan,8,keluarga,51,Keluarga Ideologis,2,kesehatan,83,ketahanan,2,khi,1,Khilafah,289,khutbah jum'at,3,Kitab,3,klarifikasi,4,Komentar,76,komunisme,2,konspirasi,1,kontra opini,28,korupsi,40,Kriminal,1,Legal Opini,17,liberal,2,lockdown,24,luar negeri,47,mahasiswa,3,Medsos,5,migas,1,militer,1,Motivasi,3,muhasabah,17,Musibah,4,Muslimah,87,Nafsiyah,9,Nasihat,9,Nasional,2,Nasjo,12,ngaji,1,Opini,3556,opini islam,87,Opini Netizen,1,Opini Tokoh,102,ormas,4,Otomotif,1,Pandemi,4,parenting,4,Pemberdayaan,1,pemikiran,19,Pendidikan,112,Peradaban,1,Peristiwa,12,pertahanan,1,pertanian,2,politik,320,Politik Islam,14,Politik khilafah,1,propaganda,5,Ramadhan,5,Redaksi,3,remaja,7,Renungan,5,Review Buku,5,rohingya,1,Sains,3,santai sejenak,2,sejarah,70,Sekularisme,5,Sepiritual,1,skandal,3,Sorotan,1,sosial,66,Sosok,1,Surat Pembaca,1,syarah hadits,8,Syarah Kitab,1,Syari'ah,45,Tadabbur al-Qur’an,1,tahun baru,2,Tarikh,2,Tekhnologi,2,Teladan,7,timur tengah,32,tokoh,49,Tren Opini Channel,3,tsaqofah,6,tulisan,5,ulama,5,Ultimatum,7,video,1,
ltr
item
Tren Opini: MEMBACA KEMBALI FIQIH SIYASAH
MEMBACA KEMBALI FIQIH SIYASAH
Referensi FIQIH SIYASAH
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgElZ8YY26H6yEgQiBMEc2RINmZDAVv71aQRv9TlgnWpiiLtxz814EgGDLL7rrd6sVx70dVNrzlWdK5RHzu_xLMOQr2RZk4TMj6EowiWsUlsdZEFDIXPd-b5BcULNy8dkmcRuXVoGKua3h4Bof7oCVzvTbXdD4Nbvm3UwtSWDzCbtpnqLMe2yiX0Bvd/s16000/20230118_235945_0000_compress8.webp
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgElZ8YY26H6yEgQiBMEc2RINmZDAVv71aQRv9TlgnWpiiLtxz814EgGDLL7rrd6sVx70dVNrzlWdK5RHzu_xLMOQr2RZk4TMj6EowiWsUlsdZEFDIXPd-b5BcULNy8dkmcRuXVoGKua3h4Bof7oCVzvTbXdD4Nbvm3UwtSWDzCbtpnqLMe2yiX0Bvd/s72-c/20230118_235945_0000_compress8.webp
Tren Opini
https://www.trenopini.com/2023/01/membaca-kembali-fiqih-siyasah.html
https://www.trenopini.com/
https://www.trenopini.com/
https://www.trenopini.com/2023/01/membaca-kembali-fiqih-siyasah.html
true
6964008929711366424
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share. STEP 2: Click the link you shared to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy