Haji politik persatuan umat
Oleh: Ummu Rufaida ALB (Pegiat Literasi dan Kontributor Media)
Daftar tunggu calon jamaah haji Indonesia sudah sangat tidak masuk akal. Bayangkan, berdasarkan data yang dirilis situs resmi haji.kmenag.go.id, di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan calon jamaah haji harus rela menunggu 97 tahun, nyaris satu abad. Wajar jika para calon jamaah merasa kecewa lantaran pemerintah baru-baru ini tidak mengambil tambahan kuota yang diberikan pihak pemerintah Arab Saudi.
Dilansir oleh kumparan.com (03/07/2022), alasan pemerintah Indonesia tidak mengambil 10 ribu tambahan kuota jamaah haji karena waktu yang terlalu mepet untuk mengurusi keberangkatan jamaah. Sebab Kemenag menerima surat pemberitahuan pada 21 Juni 2022 malam, sementara batas akhir proses pemvisaan jamaah haji regular tanggal 29 Juni 2022. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Prof Hilman Latief, menegaskan menerbangkan 10 ribu jamaah haji tidak seperti penerbangan domestik, waktu 10 hari bukan hal mudah.
Bukan hanya jamaah haji reguler saja yang berpolemik, tahun ini lebih dari 4.000 jamaah haji furoda gagal berangkat akibat persoalan visa (sindonews.com, 08/07/2022). Sudahlah harganya berkali-kali lipat haji reguler, regulasinya pun sangat rumit. Wajar masyarakat semakin kecewa, untuk menunaikan kewajiban haji butuh antrian yang sangat panjang, birokrasi yang rumit, transparansi pengelolaan dana haji.
Mengenai tidak diambilnya kuota tambahaan jamaah haji, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) menyayangkan sikap oleh Kemenag. Padahal setidaknya kouta tambahan ini bisa mengurangi antrian panjang haji. Terlebih keputusan ini tidak dimusyawarahkan secara formal dengan DPR. Mengingat selama ini komisi VIII DPR RI mngusulkan agar pemerintah melakukan lobi tingkat tinggi agar mendapatkan tambahan kuota haji sehingga bisa memangkas lama antrian jamaah. (detik.com, 01/07/2022).
Bukankah wajar, jika akhirnya masyarakat bertanya-tanya, benarkah penolakan kuota haji dari Arab Saudi hanya persoalan teknis semata? Atau adakah persoalan lain, semisal tidak adanya dana haji? Pasalnya publik tahu bahwa dana haji diinvestasikan ke deposito di beberapa perbankan syariah dan sukuk Negara. Belum lagi fakta bahwa beberapa kali pihak Kemenag ditangkap KPK karena kasus penyelewengan dana haji.
Terlepas ada atau tidaknya penyelewengan dana haji, tentu alasan menolak kuota tambahan jamaah haji karena mepetnya waktu tidak perlu terjadi. Mengingat pelaksanaan haji adalah agenda rutin tahunan, seharusnya pemerintah sudah mampu mengatasi berbagai kesulitan agar urusan haji tetap berjalan dengan lancar.
Selain itu, lemahnya diplomasi Indonesia di hadapan Arab Saudi menjadi sorotan. Terkait 10 ribu kuota tambahan misalnya, jikalau haji reguler tidak siap untuk diberangkatkan sebab persoalan birokrasi, seharusnya pemerintah bisa melobi Arab Saudi untuk melimpahkannya pada haji khusus yang kini sebagian besarnya juga gagal berangkat. Pun masalah visa, seharusnya pemerintah bisa melobi untuk mempercepat keluarnya visa.
Pengurusan haji seharusnya bukan hanya dianggap sebagai persoalan teknis. Melainkan, pemerintah hendaknya memberikan pelayanan maksimal dan memfasilitasi warganya untuk melakukan ibadah haji dengan lebih khidmat dan khusyu, tanpa dibebankan masalah teknis lainnya. Penguasa yang amanah tentu akan membuat regulasi yang memudahkan warganya dalam beribadah. Misalnya, dengan memperbaiki administrasi, memprioritaskan yang sudah mampu, tidak adanya dana talangan haji, selain berbasis riba, mengingat ini akan menambah panjang daftar antrian haji. Padahal diketahui bahwa mereka yang belum mampu belum wajib menunaikan ibadah haji.
Belum lagi ongkos naik haji (ONH) yang kini terus naik, seharusnya disesuaikan dengan kebutuh para jamaah haji, bukan berdasarkan untung rugi. Oleh karenanya, harus ada departemen khusus yang mengurus urusan haji yang terintegrasi dari daerah hingga pusat.
Andaikan ada kesatuan politik, tentu rumitnya birokrasi dan tingginya ONH tidak perlu terjadi. Terlebih jika seluruh negeri memiliki paradigma yang sama, yaitu mempermudah urusan haji. Andaikan adanya penghapusan visa haji dan umrah, tentu tak ada lagi problem gagal berangkat lantaran visa. Andaikan negeri-negeri muslim bersatu di bawah satu institusi, maka tak perlu lagi visa untuk masuk ke sebuah Negara.
Sungguh, faktor terbesar rumitnya permasalahan birokrasi haji adalah nasionalisme. Inilah yang membuat kaum muslim tersekat-sekat oleh batas imajiner Negara sehingga membuat rumit urusan haji. Jika saja berada dalam satu kepemimpinan, tentu masalah pembangunan infrastruktur pun akan terselesaikan. Sehingga tak perlu lagi ONH dengan harga yang fantastis.
Sejarah Islam pernah membuktikan bahwa pada masa kekhilafahan Utsmani, khalifah Sultan Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Sehingga jamaah haji dari berbagai pelosok daerah dapat dengan mudah melaksanakan ibadah haji.
Pun pada masa Abbasyiyah, khalifah Harun Ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Mekkah-Madinah). Pada masing-masing titiknya dibangun pos pelayanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi jamaah yang kehabisan bekal.
Oleh karenanya, penyelenggaraan urusan haji tentu sangat membutuhkan kesatuan politik umat Islam. Ya, umat butuh khilafah yang akan memudahkan sejumlah regulasi terkait haji dan memudahkan muslim sedunia untuk melaksanakan haji tanpa kendala mahalnya biaya ataupun urusan birokrasi. []
COMMENTS