moderasi agama
Oleh : Ati Solihati, S.TP (Aktivis muslimah dan praktisi pendidikan)
Akhir-akhir ini narasi moderasi beragama terus menerus digaungkan. Terutama dalam momen akhir tahun, momen natal dan tahun baru. Terkait momen nataru, sudah bukan hal yang baru terkait tuduhan radikal, oleh kaum pluralis- liberalis, kepada kaum muslimin yang berupaya menjaga aqidahnya dengan tidak mengucapkan “selamat natal dan tahun baru”. Bahkan semakin ngawur mereka menggunakan dalil-dalil yang tidak relevan. Seperti yang pernah dilontarkan oleh seorang “tokoh sensasional” bahwa tidak ada dalil dalam Al-Quran yang melarang mengucapkan “selamat natal”. Bahkan berani menantang akan diberi hadiah Rp 50 juta bagi yang bisa menemukan dalilnya. Sayang tantangannya sepi tanggapan. Tidak level berargumentasi dengan orang yang minus ilmu Islam, tidak memahami sumber-sumber hukum Islam (Al Quran, Hadits, Ijma sahabat, dan qiyas), apalagi cara ’istinbath’ dalil sehingga bisa dihasilkannya suatu hukum.
Ide moderasi beragama semakin meluas. Moderasi beragama dalam parenting. Dimana orang tua dicegah dari menanamkan nilai-nilai agama secara mendalam sejak dini pada putera-puterinya. Agama dilarang diajarkan terlalu mendalam, agar tidak lahir generasi fundamental. Moderasi beragama juga dimunculkan sebagai bagian tes wawasan kebangsaan ASN.
Dalam bidang pendidikan, ide moderasi beragama menyasar Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) terus menderaskan program ini. Hal ini nampak dari banyak berdirinya rumah moderasi beragama, dan beragam kebijakan riset kearah moderasi. Serta moderasi pun masuk dalam kurikulum pendidikan di berbagai jenjangnya. Moderasi beragama pun tercium tatkala ada upaya menghilangkan frasa agama dari peta jalan pendidikan 2022-2035, jika tidak banyak dikritik oleh berbagai kalangan, terutama elemen kaum muslimin. Sementara SKB tiga menteri, meskipun kemudian dibatalkan, telah memberi ruang untuk para siswi muslimah sekolah dasar dan menengah, untuk tidak memakai kerudung di sekolah. Padahal sebagian besar mereka sudah baligh dan sudah terkena kewajiban menutup aurat. Dengan menutup aurat dapat mengurangi arus pergaulan bebas di kalangan remaja. Belum lagi adanya RUU TP-KS Permendikbudristek, yang berpeluang semakin menjerumuskan generasi muda,termasuk generasi muslim dalam pergaulan bebas. Jauh dari gambaran generasi muslim yang semestinya menjadi agen perubahan, yang akan mengembalikan peradaban islam yang agung dan penuh kemuliaan.
Isu moderasi beragama terus digaungkan. Narasi-narasi yang digulirkan pun semakin ngawur. Menampakkan kedangkalan pemahaman tsaqofah islam berselimutkan kepandiran yang diviralkan tanpa rasa malu. Mereka berani jujur bersebrangan dengan pendapat para ulama mu’tabar. Diantara beberapa narasi ngawur : “Islam bukan agama sempurna dan tidak akan pernah sempurna, sehingga perlu dilakukan rekonstruksi“, “Nabi Muhammad tidak membawa agama baru, tetapi membawa sekte baru agama nasrani”, “Mempelajari agama jangan terlalu mendalam”. Narasi yang sama sekali tanpa dalil. Hanya berlandaskan pada hawa nafsu. Hal yang sangat aneh, tidak sedikit para pengusungnya adalah kaum muslimin sendiri. Seakan mereka berikrar bahwa mereka tidak merasa tersanjung, Allah telah melabelkan Islam sebagai agama yang sempurna (lihat QS Al Maidah:3), dan menyematkan bahwa agama yang diridhoi-Nya hanyalah Islam (lihat QS Ali Imran :13). Sepertinya mereka tidak merasa bangga telah dipilih Allah sebagai umat yang terbaik (lihat QS Ali Imran :110). Tidak merasa bersyukur sebagai satu-satunya umat manusia yang berhak menikmati surga-Nya (lihat HR Bukhari no.6851). Serta sepertinya enggan mengakui bahwa Nabi Muhammad sebagai Nabi pembawa risalah baru (Islam) (lihat QS At Taubah : 33).
Semua fenomena di atas tidak terlepas dari peran pemerintah yang menciptakan iklim yang telah menumbuhsuburkan moderasi beragama. Pemerintah mengembangkan multikultural dan multireligius (pendekatan bottom-up), mengintensifkan dialog antar umat beragama berbasis komunitas , dan melibatkan seluruh masyarakat menyelenggarakan kegiatan sosial ekonomi lintas budaya dan agama.
Moderasi beragama bukanlah ide yang bergulir secara alami. Tetapi sebuah agenda besar untuk menghambat laju kebangkitan Islam. Kunci kebangkitan Islam terletak pada kesadaran umat untuk menerapkan Islam secara kaffah. Kesadaran yang membakar semangat memperjuangkan tegaknya Sistem Kehidupan (baca: Khilafah) berlandaskan Islam. Kesadaran umat Islam ini sungguh sangat menakutkan Barat, dengan ideologi kapitalismenya, dan juga menakuti antek-antek serta para pengikutnya. Karena kesadaran ini akan menjadi bola salju yang akan menggulung dan meluluh lantakkan hegemoni mereka selama ini. Sehingga proyek mereduksi Islam, dari kaffah menjadi moderat, menjadi strategi mereka.
Ajaran Islam moderat tidak akan membangkitkan kesadaran umat untuk berIslam secara hakiki. Ajaran islam moderat tidak akan membakar semangat umat untuk menegakkan sistem kehidupan berlandaskan Islam, yang berarti akan mempertahankan hegemoni kapitalisme. Islam moderat tidak akan menumbuhkan keyakinan akan janji Allah bahwa Islam pasti akan kembali berkuasa di muka bumi ini. Bahwa tegaknya kembali peradaban Islam yang agung nan mulia yang pernah menjadi rahmat bagi seisi alam selama 14 abad, akan segera hadir kembali di muka bumi ini.
Hal ini secara jelas terdapat dalam dokumen Rand Corporation, sebuah lembaga think tank AS, Pusat Penelitian dan Kajian Strategis tentang Islam di Timur Tengah. Diantara isi dokumennya adalah pemetaan kekuatan dan kelemahan dari potensi-potensi kekuatan Islam di Negara-negara berkembang. Kemudian dibangun strategi untuk melemahkan dan memecah belah kekuatan-kekuatan islam itu sendiri. Salah satu strategi untuk melemahkan kekuatan Islam adalah menjauhkan umat islam dari ajaran Islam kaffah. Menjadikan umat Islam cukup berislam secara moderat, yang ramah dengan pemikiran-pemikiran Barat (baca:kufur). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Angel Rabasa, peneliti senior Rand Corporation, bahwa moderat artinya orang yang mau menerima pluralisme, feminisme, kesetaraan gender, demokrasi, kemudian humanisme, dan lain sebagainya.
Jelaslah bahaya ide moderasi beragama ini. Sebuah ide yang akan mereduksi beragama hakiki. Menjauhkan umat dari beragama Islam secara kaffah. Para pengusungnya membuat beragam jebakan untuk menjerat. Untuk itu umat mesti waspada. Tidak boleh masuk kedalam perangkapnya. Karena bisa jadi para pengusungnya bermetamorfosis dari serigala tapi berbulu domba. Para pengusungnya membalut racun dengan madu.
Saat ini banyak dari kalangan umat Islam yang sudah masuk ke dalam perangkap moderasi beragama, cara beragama yang tereduksi. Sehingga lebih memilih Islam moderat dari pada Islam kaffah. Bahkan tidak sedikit yang menjadi para pembela dan pejuangnya. Pada akhirnya mereka tidak segan pasang badan membela mati-matian, sekalipun harus menyakiti, melukai sesame muslim, bahkan menodai agamanya sendiri. Padahal Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan:”Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian yang lain”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan tengah (moderat) diantara yang demikian (iman atau kafir). (TQS An Nisa:150-151).
Wallaahua’lam bishshowab
Tangerang, 27 Desember 2021
COMMENTS