hukum mengucapkan selamat natal
Oleh : Gita Agustiana,S.Pd. ( Ibu Rumah Tangga Ideologis )
Setiapa akhir tahun, umat islam dibingungkan dengan pendapat boleh tidaknya mengucapkan hari raya natal. Walaupun, Pendapat yang râjih (benar) menurut al-Kitab, as-Sunnah dan para ulama adalah tidak boleh alias haram. Tetap saja ada yang mengambil sikap membolehkan dengan beragam alasan.
Derasnya arus moderasi beragama yang dibawa oleh penguasa membuat umat semakin jauh dari pemikiran islam yang sebenarnya. Umat islam dipaksa untuk memahami agama lain dan menggadaikan akidahnya sendiri. Termasuklah dalam hal pengucapan hari raya natal. Dengan berbagai tindakan, penguasa memberikan kebolehan bagi umat islam dalam mengucapkan hari raya natal. Mirisnya, kebijakan ini mendapat dukungan penuh bagi parpol islam bahkan MUI.
Menurut Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf mengucapan hari raya natal itu boleh. Tetapi hal ini tidak boleh dipaksa, namun jikapun ada yang mau mengucapkannya tidak boleh dianggap keluar agama.
Hal sependapat juga disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis. Beliau menyebutkan mengucapkan selamat Natal itu boleh. Namun hal tersebut hanya dalam konteks saling menghormati dan toleransi antar umat beragama.
Natal adalah hari raya umat Kristiani untuk memperingati hari kelahiran Yesus Kristus sebagai Tuhannya. Jika ada seorang muslim yang mengucapkan selamat hari raya natal, maka sama saja dia sudah membenarkan adanya kekufuran tersebut. Tentu hal ini berpaling pada ketauhidan yaitu menyakini hanya Allah lah yang patut disembah.
Allah SWT dalam firmanNya :
Adapun menurut Fatwa Ibnul Qayyim Dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah beliau berkata, “Mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama. Alasannya karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan.
Sedangkan menurut Fatwa Syeikh Al-'Utsaimin Sebagaimana terdapat dalam kitab Majma’ Fatawa Fadlilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, (Jilid.III, h.44-46, No.403), disebutkan bahwa: Memberi selamat kepada mereka hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seseorang (muslim) atau tidak. Jadi jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhai Allah.
Maka bukanlah alasan bagi kaum muslimin untuk boleh mengucapkan ‘hari raya natal’ dengan tujuan untuk menjaga kekerabatan, hubungan bisnis dan lainnya. Kaum Muslimin tidak boleh meremehkan urusan prinsip agama apalagi yang berkaitan dengan akidah. Umat islam harus memahami bahwa toleransi tidak dengan mengucapkan hari raya natal, tetapi dengan saling menghormati dan melindungi satu sama lain. Sikap toleransi ini telah dicontohkan oleh Rasullulah SAW dan para Khulafur Rasyidin.
Melalui Piagam Madinah itu, Rasul saw. sebagai râ’is ad-dawlah (kepala negara) menunjukkan bukti, betapa beliau sangat menghormati agama lain. Contoh, saat Rasul saw. melihat ada rombongan orang mengusung jenazah Yahudi melewati beliau, beliau sepontan berdiri (sebagai penghormatan). Sahabat protes, “Wahai Rasulullah, bukankah dia seorang Yahudi?” Rasulullah saw. menjawab, “Bukankah dia manusia?”
Di lain kesempatan, ketika Rasul saw. ditanya oleh para Sahabat tentang memberikan bantuan materi kepada non-Muslim, “Apakah kami boleh memberi bantuan kepada kaum Yahudi?” Beliau menjawab, “Boleh, sebab mereka juga makhluk Allah, dan Allah akan menerima sedekah kita.”
Sikap toleransi Islam kepada non-Muslim juga dipraktikkan oleh para Sahabat saat mereka mendapatkan amanah kepemimpinan sebagai para khalifah, menggantikan kepemimpinan Rasul saw. atas umat Islam.
Di antara contoh paling mengemuka adalah saat Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. membebaskan Baitul Maqdis (Yerussalem), Palestina. Saat itu Khalifah Umar menandatangani perjanjian damai dengan Pendeta Sofranius yang merupakan pemimpin umat Nasrani di Yerussalem. Perjanjian yang dinamai Ihdat Umariyah itu memberikan jaminan kepada warga non-Muslim agar tetap bebas memeluk agama dan keyakinan mereka. Khalifah Umar tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam dan tidak menghalangi mereka untuk beribadah sesuai keyakinannya. Mereka hanya diharuskan membayar jizyah sebagai bentuk ketundukan pada pemerintahan Islam. Bahkan Khalifah memberikan keleluasaan kepada mereka untuk tetap memasang salib-salibnya di Gereja al-Qiyamah. Khalifah Umar ra. juga memberikan kebebasan dan hak-hak hukum dan perlindungan kepada seluruh penduduk Yerussalem.
Inilah sikap toleransi yang diajarkan dalam islam. toleransi tidak lantas membenarkan apa yang menjadi keyakinan orang-orang kafir. Sikap toleransi, harmonis, tolong-menolong dan kerjasama umat Islam dengan non-Muslim hanyalah dalam masalah muamalah keduniaan yang tidak berhubungan dengan permasalahan akidah dan ibadah. Wallahu A'lam Bishawab.
COMMENTS