guru dalam sistem islam
Oleh: Ninis Ummu Qonita (Aktivis Muslimah)
"Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" kerap disematkan pada para pendidik di negeri ini. Seolah-olah gelar pahlawan itu dianggap cukup untuk menghargai jasa mereka. Memang, sumbangsih mereka bagi bangsa ini tak ternilai jika dibandingkan sejumlah materi. Namun, bukan berarti upah atas jasa mereka diberikan "ala kadarnya" juga. Terlebih di tengah kehidupan yang serba kapitalistik saat ini, biaya hidup yang semakin mahal pastinya mereka juga butuh upah yang layak sekedar untuk menyambung hidup. Yang lebih memprihatinkan adalah nasib sebagian besar guru honorer, setidaknya ada sekitar 1,6 juta orang. Angka tersebut didapati saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengumumkan guru penerima bantuan kuota. (SindoNews.Com).
Meskipun pemerintah sudah membuat Program 1 juta Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), namun menyisakan banyak persoalan. Pasalnya, dengan status PPPK akan menyamakan penghasilan guru honorer dengan PNS. Tetapi mereka tidak mendapatkan pensiun. Dan satu lagi yang membuat was-was, sewaktu-waktu mereka bisa diputus kontrak kerjanya. Sejatinya, PPPK menjadi jalan tengah untuk para guru yang sudah mengabdi puluhan tahun mengingat mereka terbentur Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dimana batas maksimal jadi PNS 35 tahun.
Alhasil, program tersebut menuai kritikan dari Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho. Ia mengkritik pengangkatan proses guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang harus melalui proses seleksi. Dia berpandangan proses pengangkatan guru honorer menjadi PPPK seharusnya dilakukan berdasarkan masa pengabdiannya sebagai guru. Menurutnya, guru yang telah cukup masa mengabdinya seharusnya tidak perlu mengikuti proses seleksi lagi, karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda masa pengabdiannya. (Sindo News.Com).
Dengan seleksi yang berbelit-belit itu, wajar akhirnya masyarakat menganggap pemerintah setengah hati dalam menyejahterakan para guru honorer. Karena diantaranya ada yang sudah mengabdi puluhan tahun dan sudah berusia lebih dari 35 tahun. Ribuan guru honorer pun keberatan dengan beban soal dan tingginya "passing grade" yang ditetapkan. Apalagi bagi guru honorer senior yang sudah puluhan tahun mengabdi. Dengan kompetensi yang minim, mereka akan dihadapkan dengan persaingan yang tidak seimbang. Para guru honorer senior harus bersaing dengan guru yang fresh graduate atau memiliki kompetensi lebih dalam seleksi PPPK. Betapa pilunya nasib guru honorer di negeri ini.
Kebijakan Setengah Hati Sistem Kapitalis
Guru honorer ibarat oase di tengah Padang Pasir, kehadiran mereka tidak bisa dipandang setengah mata. Merujuk data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, terdapat 3.357.935 guru yang mengajar di 434.483 sekolah. Sementara jumlah siswa mencapai 52.539.935. Dengan demikian, rasio rata-rata perbandingan guru dan siswa adalah 1:16. Rasio yang sudah ideal dalam pemenuhan layanan belajar. Namun, jika ditinjau dari status kepegawaian mayoritas guru honorer. Faktanya, saat ini baru 1.607.480 (47,8 persen) guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan sebanyak 62,2 persen merupakan guru honorer. Artinya guru honorer banyak mengisi kekosongan tenaga pengajar selama ini. (data.kemdikbud.go.id, 25/11/2020).
Program PPPK adalah kebijakan setengah hati dalam mengatasi problem kesejahteraan guru. Sejatinya tidak menyentuh akar permasalahannya yakni karena penerapan sistem sekuler kapitalistik dan minim visi. Sektor pendidikan minim perhatian dari pemerintah termasuk hal pendanaannya. Negara hanya menempatkan diri sebagai regulator di sektor pendidikan dan tidak bervisi mencerdaskan generasi. Lagi-lagi ketiadaan anggaran menjadi alasan minimnya pendanaan untuk menggaji guru honorer. Selain problem kesejahteraan guru honorer, sistem ini kerap dihadapkan problem yang tak kunjung usai yakni kualitas guru yang kurang, output anak didik yang bermasalah, infrastruktur yang tidak memadai.
Guru Sejahtera Dalam Naungan Islam
Seorang guru di dalam Islam mendapatkan tempat yang mulia, sebab ditangannya lah lahir generasi berkualitas penerus bangsa. Tidak dibedakan honorer atau PNS, selama mereka mencurahkan pikiran, tenaga sebagai pendidik maka negara wajib menjamin kesejahteraannya. Yakni dengan memberikan upah yang layak dan menjamin kebutuhan pokoknya sehingga seorang guru tak perlu mencari nafkah tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana dicontohkan Khalifah Umar bin Khaththab memberikan gaji pada seorang guru sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Tentunya ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini yang mustahil diwujudkan selama memakai sistem kapitalis.
Selain itu, Islam juga memandang pendidikan adalah hak dasar untuk seluruh masyarakat baik kaya ataupun miskin. Dengan strategi Politik ekonomi Islam serta bervisi mencetak generasi berkualitas, maka negara sepenuhnya menanggung pembiayaan sektor pendidikan. Negara mengcover pembiayaan itu dari pos Baitul mal. Negara menjamin hak itu terpenuhi dengan mekanisme; Pertama, wajib menyiapkan tenaga pendidik yang berkualitas serta upah yang layak. Kedua, wajib menyiapkan infrastruktur untuk kelancaran proses pembelajaran. Ketiga, kurikulum dibuat berasaskan Islam yang bervisi mencetak insan yang beriman, bertaqwa dan memiliki kepribadian Islam.
Demikian strategi dalam sistem Islam (Khilafah) yang sepenuh hati melayani umat, memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk menjamin kesejahteraan para guru tanpa "embel-embel" pegawai kontrak. Wallahu A'lam Bu Showab
COMMENTS