kekayaan pejabat sistem khilafah
Oleh : Waryati (Pemerhati Kebijakan Publik)
Pengakuan salah satu artis yang duduk di kursi dewan mengenai pendapatan tiap bulannya membuat publik tercengang. Andaipun itu gaji dari pekerjaan sebagai pejabat negara, tentu sebuah ironi di saat negeri ini dilanda pandemi dan rakyat berjuang mati-matian tuk bertahan hidup. Bagi rakyat, jangankan bertambah pundi-pundinya, sekadar menutupi kebutuhan hidup saja merupakan hal yang sangat sulit.
Data yang dihimpun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harta kekayaan para pejabat naik sebanyak 70,3 persen. Menurut Pahala Nainggolan selaku Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, pihaknya mencatat, kenaikan paling banyak terlihat pada harta kekayaan pejabat di instansi kementerian dan DPR angkanya mencapai lebih dari Rp1 miliar. Sedangkan, di tingkat legislatif eksekutif daerah, penambahannya masih di bawah Rp1 miliar, (CNN Indonesia, 07/09).
Nominal gaji yang diterima anggota dewan sungguh telah mengusik rasa keadilan masyarakat. Betapa tidak, pendapatan selangit di tengah kondisi rakyat serba sempit. Sebagai wakil rakyat seharusnya lebih memperhatikan dan membantu rakyat, bukan malah menumpuk harta seolah tak memiliki empati atas kesulitan yang dihadapi rakyat. Alih-alih memperlihatkan kesederhanaan, mereka justru memamerkan gaya hidup serba wah.
Belum lagi, berbagai kebijakan dibuat oleh para wakil rakyat tetapi tidak mewakili aspirasi rakyat. Malah terkesan mengikuti instrumen korporasi dengan menggolkan UU yang justru menghimpit rakyat. Adapun RUU yang dianggap urgen bagi masyarakat pembahasannya tak kunjung selesai, seperti RUU Penanggulangan Bencana juga RUU Perlindungan Data Pribadi. Ini membuktikan abainya para wakil rakyat terhadap urusan dan kemaslahatan rakyatnya.
Berbagai kemalangan yang dialami rakyat sepertinya tak sedikit pun mengetuk hati nurani para pejabat. Saat rakyat hidup serba susah akibat pandemi berkepanjangan, dana yang seharusnya diperuntukan bagi rakyat malah dikorupsi. Seperti kasus Juliari Batubara yang tega mengambil hak rakyat menjadi salah satu contohnya. Kendatipun harta pejabat publik sudah menggunung, namun tetap saja para elite politik mengutak-atik anggaran.
Di tengah kehidupan sekularis liberalis, sangat sulit menemukan pejabat/ pemimpin yang amanah. standar kebahagiaan pada kehidupannya terletak pada seberapa banyak materi yang dimiliki. Oleh karenanya, dalam sistem demokrasi kapitalis, mencari harta sebanyak mungkin adalah suatu keharusan tanpa memikirkan apakah jalan yang ditempuh akan merugikan orang lain atau tidak. Terlebih, dalam sistem ini tak ada patokan halal- haram sebagai dasar dari sebuah perbuatan.
Tak ayal, ketika seseorang mendapat amanah menjadi pejabat publik, hal yang dipikirkan bukan lagi urusan rakyat, namun lebih kepada kepentingan pribadi serta mencari cara tuk mendulang materi. Sudah jamak terjadi pada saat kontestasi mengeluarkan biaya tinggi, tentu ketika menjabat memikirkan bagaimana agar uang kembali. Itulah sistem demokrasi.
Mengharapkan wakil rakyat menjadi pelayan rakyat yang seutuhnya tentu tak akan pernah terjadi. Demokrasi mendidik para elite politik untuk melayani korporasi, bukan rakyat. Politikus yang dilahirkannya hanya politikus pengabdi kursi. Demokrasi pun sibuk mengurusi tentang bagaimana menjaga eksistensi sistem, tanpa peduli permasalahan yang dihadapi rakyat. Yang dipikirkan hanya uang dan kekuasaan.
Sangat berbeda dengan sistem Islam. Kekuasaan adalah amanah. Allah akan mengganjar pahala bagi pemimpin yang melaksanakan tugasnya penuh tanggung jawab. Sehingga negara Islam tidak hanya bicara tentang kekuasaan, namun juga cara menerapkan aturan Allah di setiap sendi kehidupan. Setiap penyelewengan yang dilakukan oknum pejabat ditindak dengan tegas sesuai hukum syariat. Para pejabat di gaji dengan sistem santunan sesuai kebutuhannya, sehingga hal ini dapat meminimalisir lahirnya pejabat korup.
Jika ada harta pejabat yang diragukan dari mana perolehannya, pemimpin Islam segera mengaudit jumlah kekayaan pejabat tersebut. Bila terbukti melebihi dari penghasilan yang seharusnya, maka negara berhak menyita harta tersebut dan mengembalikannya ke baitulmal. Alhasil, Islam dan seperangkat aturannya jika diterapkan secara menyeluruh mampu mencetak pejabat kapabel dan menjadikan negara berkeadilan serta memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Bukan sebaliknya, seperti dalam negara demokrasi yang hanya menciptakan kesenjangan antara si miskin dan si kaya.
Wallahua'lam.
COMMENTS