hadits ilmu dan ulama
إنّ الله تَعَالَى لَا يَقْبِضُ العِلمَ انْتِزاعاً يْنَتزِعُهُ منَ العبادِ ولَكِنْ يَقبِضُ العِلْمَ بقَبْضِ العُلَماءِ حَتَّى إِذا لمْ يُبْقِ عالِماً اتَّخَذَ الناس رءوساء جُهَّالاً فسُئِلُوا فأفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فضلُّوا وأضلُّوا
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu serta merta dari hamba, tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, hingga bila sudah tidak tersisa ulama, manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban, an-Nasa’i dan ath-Thabarani).
Penjelasan singkat: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu” yang menghantarkan kepada makrifatullah, keimanan kepada-Nya dan ilmu mengenai hukum-hukum-Nya, “dengan serta merta” hilang seketika –kata tersebut adalah objek yang mendahului subjeknya– “dari” ingatan “hamba” yakni para ulama, karena karunia Allah kepada mereka tidak mungkin ditarik kembali;
“Tetapi Allah mencabut ilmu” ilmu disini disebut ulang padahal bisa diganti dhamir, menandakan keagungan ilmu, “dengan mewafatkan para ulama” artinya dengan kematian mereka tidak ada orang tersisa yang menggantikan orang sebelumnya, “hingga bila sudah tidak tersisa ulama” penggunaan kata ‘bila’ merupakan sebuah pertanda kondisi ini mungkin saja terjadi, “manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh” baik kebodohan yang ringan maupun kebodohan yang berlipat;
“Ketika ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu” riwayat lain berfatwa dengan pendapat yang sombong dan gengsi menjawab ‘kami tidak tahu’, “maka mereka sesat” diri mereka sendiri, “dan menyesatkan” orang yang meminta fatwanya atau dari jalan yang lurus.
Hadits ini mengandung makna: 1) Peringatan agar tidak mengangkat pemimpin bodoh; 2) Motivasi agar terus belajar dan menjaga ilmu; 3) Celaan bagi siapa saja yang gampang menjawab tanpa meneliti; 4) Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits “Akan senantiasa ada dari umatku yang berada di atas kebenaran…” karena ini konteksnya pokok agama, sedangkan hadits yang kita bahas merupakan cabangnya. (Faidh al-Qadir Syarh al-Jami' ash-Shagir, Dar al-Hadits, II/655-656).
(Yan S. Prasetiadi | 26 Dzulqa'dah 1442 H)
COMMENTS