PPKM Darurat solusi ?
Oleh : Wenny Suhartati, S.Si.
Wabah Covid-19 masih terus meningkat. Hal itu bisa terlihat dengan masih naiknya jumlah kasus Covid-19 di Indonesia. Kasus Covid-19 di Indonesia masih belum mereda bahkan terus mencetak rekor dan mencapai penambahan 54 ribu kasus baru dalam satu hari. Bahkan kini Indonesia dinyatakan menjadi episentrum Covid-19 di dunia.
Sepertinya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang berjalan hampir dua pekan pun seperti tidak mampu membendung kasus baru. PPKM dilakukan sejak 3 Juli 2021, dan masih akan berlaku sampai dengan 20 Juli mendatang.
Kementerian Kesehatan hingga Kamis (15/7/2021) pukul 12:00 WIB mencatat jumlah kasus baru sebanyak 56.757 orang. Dengan begitu total kasus Covid-19 di tanah air sebanyak 2.726.803 orang. Jumlah ini kembali memecahkan rekor dari sebelumnya, pada Rabu (14/7/2021) dengan tambahan kasus baru 54.517 orang. Sebelumnya rekor penambahan masih di kisaran 30 ribuan per hari (CNBC Indonesia, 15/7/2021).
Peningkatan jumlah kasus Covid-19 ini yang masih massif meski kebijakan PPKM sudah diberlakukan, seharusnya bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk mengukur tingkat keberhasilan kebijakan PPKM ini. Sudah efektifkah kebijakan PPKM ini untuk memutus rantai Covid-19? Dari aturan yang diterapkan dan implementasi di lapangan ternyata masih banyak yang membingungkan masyarakat sendiri. Bahkan cenderung meningkatkan distrust masyarakat kepada pemerintah.
Bagaimana tidak, kebijakan yang terkesan setengah hati dan solusi yang sekedar tambal sulam belaka semakin menampakkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani wabah Covid-19 ini. Sejatinya inilah sifat dari sistem kapitalisme yang diemban oleh pemerintah saat ini. Mengukur segala kebijakan yang dibuatnya dengan menggunakan asas materi, untung rugi semata. Alhasil kesehatan dan kesejahteraan rakyat bukanlah prioritas utama bagi penguasa.
Terlihat jelas keengganan Pemerintah untuk melakukan karantina total (lockdown) sesuai amanat undang-undang. Bahkan kebijakan yang dibuat selalu berorientasi pada kepentingan ekonomi, yang sejatinya hanya akan menguntungkan segelintir orang saja. Misalnya dengan memberi kelonggaran kedatangan tenaga kerja asing atau tetap diberlakukannya 100% wfo untuk proyek insfrastruktur. Semakin memperkuat bahwa pemerintah sungguh telah abai dengan keselamatan jiwa rakyatnya.
Sedangkan penguasa (pemerintah) yang abai terhadap rakyatnya sangat dicela di dalam Islam. Karena di dalam Islam, tugas pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Sebagai pelayan, penguasa bertugas melayani kepentingan rakyatnya, memenuhi kebutuhan pokoknya, memberikan bantuan dan meringankan kehidupan rakyatnya. Jadi intinya tugas penguasa adalah menyejahterakan rakyatnya.
Bahkan Rosulullah saw mengancam penguasa yang abai dengan rakyatnya melalui hadist Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اللَّهُمَّ، مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ
“Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia” (HR. Muslim, no. 1828).
Dengan demikian jelaslah, selama sistem kapitalisme masih diterapkan oleh penguasa maka kesehatan dan kesejahteraan rakyat akan semakin jauh dari kenyataan. Karena kapitalisme akan selalu berpihak pada kepentingan pemodal semata dan tidak akan pernah berpihak kepada kepentingan rakyat. Sebab kapitalisme adalah aturan yang dibuat berdasar hawa nafsu manusia semata.
Lain halnya jika Islam yang diterapkan, aturan yang bersumber dari Sang Ilahi. Pencipta manusia dan alam semesta, aturan sempurna yang diturunkan kepada manusia untuk mengatur seluruh aspek kehidupannya. Dan hanya dengan aturan Islam semata kehidupan rakyat yang sejahtera akan tercapai dengan ridho-Nya. Wallahu a’lam.
COMMENTS