definisi dharar
Manusia tidak boleh menimbulkan bahaya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Berbagai nash dan kaidah syara’ yang digali dari nash yang ada, sudah menjelaskan hukum seputar bahaya (dharar) ini. Ragam bahaya itu ada banyak, ada yang dibahas nash dengan sebutan tertentu dan ada yang dibahas nash dengan sifat tertentu, sehingga tercakup dalam nash-nash yang umum. Di sisi lain, ada sebagian bahaya yang diperbolehkan diterima dan ada juga bahaya yang haram diterima individu, karena itu sangat diperlukan penjelasan lebih lanjut.
Faktanya bahaya itu bisa ada pada benda dan bisa ada pada perbuatan; Allah subhanahu wa ta’ala memperbolehkan berbagai benda bagi manusia dengan dalil umum, seperti firman-Nya:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi…” (QS. Luqmân [31]: 20).
Lalu dikecualikan dari sebagian benda-benda tersebut, diharamkan berdasarkan dalil, seperti firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ
“Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi…” (QS. al-Mâ’idah [5]: 3).
Jika ditemukan bahaya dalam benda yang mubah, maka karena membahayakan benda itu diharamkan sesuai ketentuan kaidah syariah:
كل فرد من أفراد الأمر المباح إذا كان ضاراً حَرّم ذلك الفرد، وظلّ الأمر مباحاً
Sesuatu yang merupakan bagian dari perkara mubah, jika berbahaya maka sesuatu tersebut haram, sedangkan perkara tadi secara umum tetap mubah.
Dalil kaidah ini adalah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam singgah di wilayah al-Hijr, bekas domisili kaum Tsamud, kaumnya Nabi Shalih ‘alaihis salam, para sahabat mengambil air dari sumur daerah itu, namun ketika para sahabat beristirahat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang:
لَا تَشْرَبُوا مِنْ مَائِهَا شَيْئًا، وَلَا تَتَوَضَّئُوا مِنْهُ لِلصَّلَاةِ، وَمَا كَانَ مِنْ عَجِينٍ عَجَنْتُمُوهُ فَاعْلِفُوهُ الْإِبِلَ، وَلَا تَأْكُلُوا مِنْهُ شَيْئًا، وَلَا يَخْرُجَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ اللَّيْلَةَ إلَّا وَمَعَهُ صَاحِبٌ لَهُ
“Jangan sedikit pun kalian minun airnya, dan jangan berwudhu’ untuk shalat dengan airnya. Adapun adonan roti yang kalian buat menggunakan airnya, berikanlah kepada unta, dan jangan sedikit pun kalian memakannya, serta janganlah seorang pun ada yang pergi malam ini, kecuali ada yang menemaninya.” (Sîrah Ibnu Hisyâm, II/521).
Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan air sumur daerah al-Hijr, karena air disana membahayakan, sedangkan air lainnya secara umum tetap mubah berdasarkan dalil umum.
Jika pemanfaatan suatu benda yang asalnya mubah menyebabkan bahaya, maka ini juga hukumnya haram, sesuai kaidah syariah:
كُل فَرد من أفراد الأمر المباح إذا كان ضاراً أو مؤدياً إلى ضرر حرم ذلك الفرد وظل الأمر مباحاً
Sesuatu yang merupakan bagian dari perkara mubah, jika berbahaya atau menyebabkan bahaya, maka sesuatu tersebut haram, sedangkan perkara tadi secara umum tetap mubah.
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Tabuk tak lebih dari belasan malam, kemudian berkonvoi kembali ke Madinah, di tengah perjalanan ada air menetes dari sela-sela batu di lembah al-Musyaqqaq, yang hanya cukup untuk satu, dua atau tiga orang saja. Lalu Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَبَقَنَا إلَى ذَلِكَ الْوَادِي فَلَا يَسْتَقِيَنَّ مِنْهُ شَيْئًا حَتَّى نَأْتِيَهُ
“Siapa yang sampai ke lembah itu mendahului kami, janganlah mengambil airnya sedikit pun hingga kami tiba disana.”
Kata Ibnu Ishaq: Sekelompok orang munafik lebih dulu sampai lalu mengambil airnya, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba, Beliau berhenti namun di lembah itu tidak terlihat air sedikit pun. Maka Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
مَنْ سَبَقَنَا إلَى هَذَا الْمَاءِ؟
“Siapa yang mendahului kami tiba di sumber air ini?”
Diberitahukan kepadanya: “Wahai Rasulullah, orang ini dan orang itu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam marah:
أَوْ لَمْ أَنْهَهُمْ أَنْ يَسْتَقُوا مِنْهُ شَيْئًا حَتَّى آتِيَهُ!
“Bukankah mereka dilarang mengambil air itu sedikit pun, sampai kami tiba!”
Kemudian Beliau melaknat dan mendoakan keburukan bagi mereka. (Sîrah Ibnu Hisyâm, II/527).
Jadi meminum air tersebut diharamkan hingga Beliau tiba, karena meminumnya menyebabkan bahaya bagi orang lain yang tidak memperoleh jatah air di lembah tadi.
Intinya pembuat syariat memubahkan air, akan tetapi air sumur al-Hijr diharamkan sebab mengandung bahaya; air sedikit di lembah al-Musyaqqaq diharamkan sebab pemanfaatan sebgian pihak menimbulkan bahaya bagi pihak lain. Karena itu eksistensi bahaya pada sebagian benda, atau bahaya akibat pemanfaatan sebagian benda, menjadi sebab diharamkannya benda yang berbahaya atau benda yang menyebabkan bahaya ini.
Mengenai perbuatan pada prinsipnya terikat hukum, dan penilaian akal hanya salah satu dari lima hukum berikut, yaitu: fardhu, mandub, mubah, makruh dan haram. Pembuat syariat memubahkan sebagian perbuatan dengan dalil umum, seperti melihat, makan, berjalan dan perbuatan manusiawi lainnya. Allah berfirman:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi..” (QS. Yûnus [10]: 101).
كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ
“Makanlah oleh kalian dari rezeki yang (dianugerahkan) Rabb kalian dan bersyukurlah kepada-Nya.” (QS. Saba’ [34]: 15).
فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
“Maka berjalanlah kalian di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (QS. al-Mulk [67]: 15).
Lalu muncul dalil lain yang mengkhususkan dalil umum tadi, sehingga mengecualikan sebagian perbuatan melihat, makan dan berjalan, yang menjadikan hukumnya bukan mubah lagi, seperti menjadi haram, fardhu, mandub dan demikian juga ada kaidah:
كُل فَرد من أفراد الأمر المباح إذا كان ضاراً أو مؤدياً إلى ضرر حرم ذلك الفرد وظل الأمر مباحاً
Sesuatu yang merupakan bagian dari perkara mubah, jika berbahaya atau menyebabkan bahaya, maka sesuatu tersebut haram, sedangkan perkara tadi secara umum tetap mubah.
Sehingga dikecualikan perbuatan yang berbahaya, sebab kata “perkara” bisa berarti perbuatan dan benda, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya di ujung hadits al-Hijr bersabda: “ … Serta janganlah seorang pun ada yang pergi malam ini, kecuali ada yang menemaninya,” hanya saja dua orang Bani Sa’idah melanggar perintah, satu orang keluar untuk keperluannya lalu tercekik di jalan, dan orang ke dua mencari unta miliknya lalu terhempas angin sampai terlempar ke gunung di Thayyi, kejadian ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau pun menegaskan:
أَلَمْ أَنْهَكُمْ أَنْ يَخْرُجَ مِنْكُمْ أَحَدٌ إلّا وَمَعَهُ صَاحِبُهُ
“Bukankah siapa pun diantara kalian dilarang keluar, kecuali ada yang menemaninya!”
Kemudian Beliau mendoakan orang yang tercekik di jalan lalu sembuh, adapun orang kedua yang terlempar ke gunung Thayyi, penduduk sekitar Thayyi membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sudah kembali ke Madinah Munawwarah. (Sîrah Ibnu Hisyâm, II/521-522).
Jadi ketika ada perbuatan yang mengundang bahaya atau menyebabkan bahaya, maka perbuatan tersebut hukumnya haram, seperti minum dan berwudhu dalam hadits al-Hijr, juga seperti minum dalam hadits lembah al-Musyaqqaq. Sementara perbuatan itu sendiri secara umum tetap mubah, karena bahaya itu dipengaruhi faktor luar bukan karena perbuatan itu sendiri.
Air, minum dan berjalan keluar asalnya adalah perkara yang tidak membahayakan, pembuat syariat memubahkan perbuatan tersebut, lalu terdapat satuan perbuatan yang mengundang bahaya, maka hukumnya menjadi haram sesuai kaidah syariah yang digali dari hadits nabi.
Menyampaikan informasi misalnya adalah perkara mubah, akan tetapi menyampaikan informasi mengenai aktivitas dakwah kepada penguasa, jika menyebabkan bahaya bagi aktivitas dakwah jelas hukum perbuatan itu haram, karena kaidah dharar bisa diterapkan pada kasus tadi: “Sesuatu yang merupakan bagian dari perkara mubah, jika berbahaya atau menyebabkan bahaya, maka sesuatu tersebut haram, sedangkan perkara tadi secara umum tetap mubah.” Ini jika berkaitan dengan bahaya yang dipengaruhi faktor luar perbuatan.
Adapun jika bahaya terdapat di dalam tabiat asal perbuatan, sedang tidak ada seruan pembuat syariat yang menunjukkan hukum perbuatan ini, maka keadaan perbuatan itu sendiri yang berbahaya adalah dalil keharamannya, sebab Allah sudah mengharamkan dharar alias bahaya itu sendiri, sesuai kaidah syariah:
الأصل في المضارّ التحريم
Hukum asal perkara berbahaya adalah haram.
Dalilnya Sabda shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan at-Thabarani).
مَنْ ضَارَّ أَضَرَّ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
“Siapa yang membahayakan orang lain maka Allah akan menimpakan bahaya kepadanya, dan siapa yang menyulitkan orang lain maka Allah akan menyulitkan dirinya.” (HR. Abu Dawud).
Dharar adalah kebalikan dari manfaat, artinya seseorang menjerumuskan bahaya kepada diri sendiri atau orang lain, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjerumuskan pada bahaya, dengan sabdanya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.” Karena kata nakirah dalam konteks negatif dalam hadits menunjukkan cakupan yang umum. Adapun dhirar alias membahayakan orang lain, adalah seseorang yang memberikan bahaya kepada orang yang membahayakan, atau pendapat lain dhirar adalah kondisi yang sangat bahaya, dan kedua arti tersebut masih tercakup makna dharar alias bahaya itu sendiri.
Membahayakan Orang Lain
Rasulullah melarang membahayakan orang lain, baik besar atau kecil bahaya tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencerca seorang muslim adalah fasiq dan memeranginya adalah kufur.” (HR. al-Bukhari).
مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ
“Siapa yang mengacungkan senjata kepada saudaranya, maka malaikat melaknatinya…” (HR. Muslim).
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
مَنْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
“Siapa yang mendukung untuk membunuh seorang mukmin meski dengan setengah kalimat, maka dia akan berjumpa Allah dalam keadaan tertulis diantara kedua matanya; putus asa dari rahmat Allah.” (HR. Ibnu Majah).
Allah subhanahu wa ta’ala juga melarang tindakan membahayakan orang lain, Allah berfirman:
وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ
“Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.” (QS. al-Baqarah [2]: 282).
وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا
“Janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kalian menganiaya mereka.” (QS. al-Baqarah [2]: 231).
لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
“Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.” (QS. al-Baqarah [2]: 233).
Jadi menjerumuskan bahaya kepada orang lain, baik sedikit atau banyak, dilarang dengan larangan tegas berdasarkan indikasi sabda shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tidak halal”, lalu “Malaikat melaknatinya” dan juga indikasi “Putus asa dari rahmat Allah”, maka ini menunjukkan haram secara pasti.
Membahayakan Diri Sendiri
Kata bahaya dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Lâ dharar wa lâ dhirâr,” umum meliputi semua bentuk bahaya, baik seseorang yang menimpakan bahaya kepada dirinya sendiri atau menimpakan bahaya kepada orang lain. Allah tidak membebani hamba-Nya dengan perkara yang membahayakan dan Allah melarang mereka membahayakan diri sendiri.
Dituturkan dalam dua kitab shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang berjalan, lalu diceritakan orang itu bernadzar akan haji berjalan kaki, maka Beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنْ مَشْيِهِ فَلْيَرْكَبْ (وَفِـيْ رِوَايَةٍ) إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنْ تَعْذِيْبِ هَذَا نَفْسَهُ
“Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan jalan orang itu, karenanya hendaklah ia naik kendaraan.” (Riwayat lain) “Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada penyiksaan diri yang dilakukan orang ini.” (Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, II/224).
Di kesempatan lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya mengenai seseorang yang bernadzar terus berdiri di bawah terik matahari, tidak mau duduk, tidak berbuka puasa siangnya, tidak berteduh, dan tidak mau berbicara. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوهُ فَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
“Suruhlah dia untuk berteduh, berbicara, duduk dan sempurnakan puasanya.” (HR. al-Bukhari).
Juga Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا سَمِعْتُمْ بالطَّاعُونِ بأَرْضٍ فلا تَدْخُلُوها، وإذا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بها فلا تَخْرُجُوا مِنْها
“Jika kalian mendengar wabah menular di suatu negeri, maka janganlah mendatangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di tempat kalian berada, janganlah keluar dari negeri itu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Berbagai nash tadi menunjukkan, menimpakan bahaya kepada diri sendiri hukumnya makruh. Pasalnya permintaan untuk meninggalkan perbuatan di dalam nash berbentuk makruh, karena larangan meninggalkan perbuatan tidak bersifat tegas; makruh ini membuat pelakunya tidak berdosa, dan jika meninggalkan perbuatan tadi dalam rangka menaati perintah Allah, maka pelakunya dipuji dan memperoleh pahala.
Adapula nash-nash lain, yang berkesimpulan menimpakan bahaya kepada diri sendiri hukumnya mubah. Diantaranya, yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنْ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam hingga kaki beliau bengkak-bengkak.” (HR. al-Bukhari).
Dan dari 'Atha` bin Abu Rabah menyampaikan; Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah ku tunjukkan kepadamu seorang wanita penduduk surga?” jawabku, “Tentu.” Dia berkata, “Wanita berkulit hitam ini, menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil meminta, “Sebenarnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (saat kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku.” Lalu Beliau bersabda:
إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ
“Jika kamu berkenan, bersabarlah maka bagimu surga, dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.”
Ia memilih, “Baiklah aku akan bersabar.” Kata wanita itu lagi, “Namun berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka beliau mendoakannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Jadi wanita ini memilih sabar terhadap bahaya, dengan imbalan mendapatkan syurga, dan Rasulullah mengakui pilihan wanita tersebut.
Terdapat pula nash-nash lain, yang menunjukkan menimpakan bahaya kepada diri sendiri, pada level tertentu hukumnya haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang membunuh dirinya dengan sepotong besi, maka dengan besi yang tergenggam di tangannya itulah dia akan menikam perutnya dalam Neraka Jahanam secara terus-terusan dan dia akan dikekalkan di dalam Neraka. Siapa yang membunuh dirinya meminum racun maka akan merasai racun itu dalam Neraka Jahanam secara terus-terusan dan dia akan dikekalkan di dalam Neraka tersebut selama-lamanya. Begitu juga, siapa yang membunuh dirinya terjun dari puncak gunung, maka dia akan terjun ke dalam Neraka Jahanam secara terus-terusan untuk membunuh dirinya dan akan dikekalkan dalam Neraka tersebut untuk selama-lamanya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi; redaksi dari Muslim).
Maka bahaya yang menghantarkan kematian, hukumnya haram. Demikian pula siapa pun yang membahayakan dirinya, sehingga dikhawatirkan kematian, hukumnya haram juga. Para sahabat memahami hal tersebut dari firman Allah ta’ala:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا، وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. an-Nisâ’ [4]: 29-30).
Diriwayatkan dari ‘Amr bin al-‘Ash yang berkata: “Saya bermimpi basah pada suatu malam yang sangat dingin ketika perang Dzatus Salasil, sehingga saya takut binasa jika mandi. Lalu saya pun bertayammum kemudian shalat Shubuh bersama para sahabatku. Hal itu mereka laporkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ؟
“Wahai ‘Amru, engkau shalat bersama para sahabatmu dalam keadaan junub?”
Maka saya katakan kepada beliau tentang apa yang menghalangiku mandi dan saya katakan; Sesungguhnya saya mendengar Allah berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian.” (QS. an-Nisâ’ [4]: 29). Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa dan tidak mengatakan apa-apa.” (HR. Abu Dawud dan Ahamd).
Hadits ini semakna dengan yang disampaikan al-Bukhari, pada bab “jika orang junub khawatir dirinya sakit, mati atau kehausan, maka tayammumlah”.
Jadi bahaya yang menghantarkan kematian, atau yang diduga kuat menghantarkan kematian, maka seseorang haram menimpakan bahaya itu kepada dirinya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga melarang seseorang membahayakan dirinya sendiri, sehingga menghalanginya melaksanakan suatu kewajiban yang dibebankan syariah, Beliau bersabda:
أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا وَلَا يَفِرُّ إِذَا لَاقَى
"Shalat yang paling disukai Allah ialah shalatnya Dawud, dan puasa yang paling disukai Allah adalah puasanya Dawud. Dia tidur sampai tengah malam, lalu bangun sepertiganya untuk shalat, dan tidur seperenamnya. Dan dia puasa sehari dan buka sehari, dan tidak lari bila menghadapi musuh.” (Lihat, Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm: V/416).
Maksudnya tidak lari jika menghadapi musuh perang, karena dirinya memiliki kekuatan yang terjaga, hasil puasa dan shalat malam yang digambarkan hadits. Jadi ibadahnya tidak mengendurkan perang dan kesiapannya menghadapi musuh, tidak menjadikan tubuhnya lemah sehingga lari jika menghadapi musuh. Karena lari dari medan perang hukumnya haram, sebab dari aspek tertentu memunculkan bahaya bagi seorang muslim, yang menghalanginya dari berperang itu sendiri, Allah menjelaskan hal tadi dalam firman-Nya:
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah…” (QS. an-Nisâ’ [4]: 95).
Di ayat lain dijelaskan sifat bahaya ini:
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَنْ يَتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا أَلِيمًا
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.” (QS. al-Fath [48]: 17).
Jadi orang yang memiliki kemampuan berperang, jika digerakkan dan tidak mau berangkat berjihad, akan diberi siksa pedih dari Allah:
إِلَّا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa dengan siksa yang pedih.” (QS. at-Taubah [9]: 39).
Siapapun muslim yang menimpakan bahaya kepada dirinya sendiri, agar menjadi orang yang memiliki ‘udzur dan terhalang dari berperang, maka termasuk orang yang lari dari medan jihad, layak mendapatkan siksa Allah, sebab secara pasti melakukan perbuatan yang menghantarkan pada keharaman, yaitu lari dari perang, dan kaidah syariah menetapkan:
الوسيلة إلى الحرام حرام
Sarana yang menghantarkan pada yang haram, maka sarana itu diharamkan.
Allah mengancam dengan siksa-Nya bagi orang yang merekayasa ‘udzur untuk tidak berangkat berperang, Allah ta’ala berfirman:
وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا
Dan mereka berkata: "Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api neraka jahannam itu lebih sangat panasnya.” (QS at-Taubah [9]: 81).
Maka bagaimana pula bagi orang yang sengaja menimpakan bahaya kepada diri sendiri, supaya tidak berangkat berperang?
Jadi bahaya yang membuat pelaku –yang membahayakan dirinya– tidak bisa melaksanakan beban kewajiban syariah, tentu tercakup dalam kaidah “Sarana yang menghantarkan pada yang haram, maka sarana itu diharamkan”, karena bahaya yang menghantarkan pada kondisi ketidakmampuan pelaku menunaikan kewajiban, merupakan bahaya yang menghantarkan pada yang haram, yaitu berdiam diri tidak melaksanakan kewajiban, misal kewajiban jihad di jalan Allah, mengemban dakwah Islam, haji dan mencari penghidupan.
Ketika Baginda shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar ucapan ‘Abdullah bin ‘Amru radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh aku akan puasa seharian penuh dan shalat sepanjang malam selama hidupku,” Maka Baginda bersabda:
فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
“Janganlah kamu lakukan itu, tetapi puasalah dan berbukalah, shalat malamlah dan tidurlah, karena untuk jasadmu punya hak atasmu, matamu punya hak atasmu, istrimu punya hak atasmu dan tamumu punya hak atasmu.”
Abdullah berkata: “Maka kemudian aku meminta tambahan, lalu beliau menambahkannya.” (HR. al-Bukhari).
Di hadits yang lain disebutkan:
سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Karena untuk Rabbmu punya hak atasmu, jiwamu punya hak atasmu, dan istrimu punya hak atasmu, maka berikan setiap yang berhak haknya.” (HR. al-Bukhari).
Bisa dipahami seorang muslim wajib menunaikan hak Allah, hak keluarganya, hak orang lain dan dirinya sendiri. Hak-hak ini, terutama yang wajibnya, diperintahkan sebagai kewajiban jika mampu melaksanakannya. Seorang muslim tidak boleh melemahkan tubuhnya dengan ibadah sunnah atau dengan amal lain yang mubah, sehingga pada gilirannya menjadi tidak mampu menunaikan berbagai hak yang wajib tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menyiksa atau melemahkan tubuh dengan shalat sunnah dan shaum sunnah. Maka bagaimana jika bahaya ditimbulkan manusia itu sendiri melebihi hal-hal sunnah tadi, seperti memutus tangannya, atau mengonsumsi zat yang membuatnya sakit lama, sehingga membuatnya tidak bisa menunaikan hak yang wajib tersebut!
Jadi bahaya apapun yang ditimpakan seseorang kepada dirinya sendiri, yang menghalanginya menunaikan beban kewajiban syariah, maka hukumnya haram. Hal ini berdasarkan Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits yang sudah disebutkan sebelumnya “Dan tidak lari bila menghadapi musuh”, “Karena untuk Rabbmu punya hak atasmu, jiwamu punya hak atasmu…”, dan Sabdanya:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضِيعَ مَنْ يَقُوتُ
“Cukuplah seseorang itu sebagai pendosa jika menyia-nyiakan orang yang harus diberi makan olehnya.” (HR. Ahmad).
Artinya, siapa yang menelantarkan mereka, seperti menelantarkan dirinya dan yang menjadi tanggungan nafkahnya. Maka bahaya yang ditimpakan kepada diri sendiri, yang menyebabkan ketidakmampuan menanggung orang yang menjadi kewajibannya adalah haram.
Seseorang yang menimpakan bahaya yang haram kepada dirinya, diberikan sanksi ta’zir, karena dianggap berbuat kejahatan kepada diri sendiri yang dilarang hukum syara’ secara tegas, dalilnya apa yang diriwayatkan Jabir radhiyallahu ‘anhu:
Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, Abu Thufail bin Amru ikut hijrah disertai seorang dari kaumnya. Namun teman Abu Thufail tidak kuat cuaca Madinah dan jatuh sakit, hilang kesabaran lalu mengambil gunting dan memotong ruas jemari hingga tangannya berdarah, bahkan ia pun meninggal. Tapi dalam mimpi, Abu Thufail melihat orang tersebut dalam kondisi sangat bagus, sementara ia menutupi kedua tangannya. Lalu Abu Thufal menanyainya, “Apa yang Rabbmu lakukan kepadamu?” Orang itu menjawab, “Dia mengampuniku karena hijraku kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.” Lalu Abu Thufail bertanya lagi, “Tapi kenapa aku lihat kamu menutupi kedua tanganmu?” Laki-laki itu menjawab, “Disampaikan (Allah) kepadaku 'Kami tidak akan memperbaiki apa yang kamu rusak”. Abu Thufail kemudian menceritakan mimpi tersebut kepada Nabi, kemudian Beliau berdoa:
اللَّهُمَّ وَلِيَدَيْهِ فَاغْفِرْ
“Ya Allah, ampunilah kedua tangannya.” (HR. Muslim).
Hadits ini mengandung dalil, seseorang yang merusak anggota tubuhnya, maka tidak akan diperbaiki di hari kiamat, bahkan dibiarkan rusak begitu saja sebagai hukumannya. Intinya Allah mengampuni dosa orang di dalam kisah tadi, karena hijrahnya menuju Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tapi kerusakan tangannya tidak diampuni.
Di dalam hadits yang lain: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wishal dalam puasa. Kemudian seseorang dari kaum muslimin bertanya kepada beliau, “Bukankah Anda melakukan puasa tanpa berbuka, wahai Rasulullah?” Maka beliau menjawab:
وَأَيُّكُمْ مِثْلِي إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِ
“Siapa dari kalian yang keadaannya sama denganku? Aku tidak sama dengan keadaan seorang kalian karena Rabb-ku selalu memberiku makan dan minum”.
Lantaran mereka enggan menghentikan kebiasaan puasa wishal, beliau melakukan puasa wishal bersama mereka hari demi hari, kemudian mereka melihat hilal (syawwal). Maka ketika itu beliau bersabda:
لَوْ تَأَخَّرَ لَزِدْتُكُمْ
“Kalau hilal itu tertunda aku akan menyuruh kalian menambah puasa wishal lagi”.
Sindiran ini sebagai bentuk hukuman kepada mereka ketika enggan menghentikan puasa wishal. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hukuman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terjadi karena adanya perbuatan haram. Perbuatan haram dalam hadits tadi adalah menyambungkan puasa tanpa berbuka maupun sahur, hal ini memberikan bahaya bagi tubuh manusia, yang menyebabkan seseorang tidak bisa melaksanakan kewajibannya, seperti jihad dan bekerja mencari penghasilan. Jadi hukuman dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka yang puasa wishal, adalah sanksi ta’zir karena mereka membahayakan diri sendiri, berupa menyambungkan puasa tanpa berbuka dan tanpa sahur sama sekali.
Bahaya Akibat Perbuatan yang Disyariatkan dan Benda yang Mubah
Kami telah menjelaskan sebelumnya, menimpakan bahaya kepada diri sendiri kadang hukumnya bisa makruh dan kadang juga bisa haram, semuanya bergantung pada fakta bahaya dan berbagai dalil syariah yang diimplementasikan dalam konteks dharar.
Dharar yang muncul akibat perbuatan yang diperintahkan syara’ dan akibat mengonsumsi sebagian makanan yang mubah, jika tidak menghantarkan kematian dan tidak menghalangi pelaksanaan kewajiban, maka tentu tidak ada masalah, artinya tidak ada konsekuensi apa-apa jika ditinggalkan perbuatan itu dan jika tidak dikonsumsi makanan mubah tadi. Jadi shaum meskipun membuat kepala pusing selama tidak menghalangi melakukan kewajiban, shaum tadi tetaplah diwajibkan; demikian shalat malam meskipun membuat lelah kedua kaki, shalat malam tetaplah sunnah; meminum kopi dan teh meskipun membuat terjaga dan kurang tidur, meminumnya tetaplah mubah.
Sedangkan bagi pribadi tertentu, jika perbuatan tadi justru menghantarkan kematian atau menghalangi pelaksanaan kewajiban, maka perbuatan tersebut diharamkan bagi pribadi tadi, sedang bagi orang lain secara umum tetap disyariatkan.
Ketika dharar muncul akibat sebagian kewajiban, seperti shaum ramadhan, yang menyebabkan kehilangan kemampuan melaksanakan kewajiban yang lain, seperti jihad. Maka perlu dicari dalil tambahan untuk menguatkan salah satu dari dua kewajiban tadi. Dalam salah satu peperangan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kaum muslimin, agar minum dan makan saat siang hari di bulan Ramadhan, supaya mereka mampu melawan musuh. Wallahu a'lam.
Oleh: Syaikh Muhammad Husain Abdullah
(Ahkâm adh-Dharar fi al-Islâm. Al-Wa’ie edisi 85, Tahun VIII, Dzul Hijjah 1414 H/ Mei 1994 M. Alih bahasa: Yan S. Prasetiadi).
COMMENTS