Novel Baswedan kembali buka suara. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini bercerita tentang kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H. | Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
Novel Baswedan kembali buka suara. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini bercerita tentang kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang menurutnya nilainya mencapai Rp100 triliun.
Meski perlu diteliti lebih lanjut, bocoran Novel Baswedan terkait korupsi bantuan sosial yang nilai proyeknya mencapai puluhan hingga seratus triliun ini sebenarnya bukanlah kabar yang mengagetkan. Sebelumnya, ada temuan data 21 juta ganda dalam program bansos. Itu artinya, ada alokasi dana bansos yang diberikan kepada orang yang fiktif sebesar 21 juta penerima.
Saat Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini melaporkan data ganda penerima bantuan sosial (bansos) ke KPK, penulis sendiri telah membuat kalkulasi kasar tentang potensi uang negara yang dikorupsi.
Diketahui, ada 21 juta data warga yang ganda. Anggap saja, setiap orang mendapat total bantuan @ Rp. 500.000,- berarti ada duit yang raib dikorupsi karena penyaluran dilakukan kepada data fiktif yang ganda, totalnya sebesar @ Rp. 500.000,- X 21.000.000 = Rp. 10.500.000.000.000,_ (sepuluh triliun lima ratus miliar rupiah). Ini baru satu kali penyaluran.
Jika sejak pandemi minimal ada 3 kali penyaluran berarti ada total dana yang dikorupsi sebesar Rp.31.500.000.000.000,_ (tiga puluh satu triliun lima ratus miliar rupiah). Angka ini, tidak jauh beda dengan temuan Novel Baswedan yang menurunnya dari nilai proyeknya korupsi dana bansos mencapai Rp. 100 Triliun.
Menariknya, kicauan Novel Baswedan justru diungkapkan setelah Presiden Joko Widodo bersuara ihwal 75 pegawai KPK tak lolos TWK termasuk Novel Baswedan. Banyak kalangan menilai, pidato presiden soal 75 pegawai KPK tak lolos TWK hanya basa-basi, mengingat akar masalah huru hara di KPK justru berasal dari Presiden Jokowi yang mengajukan revisi UU KPK.
Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas yang juga Tim Advokasi 75 pegawai KPK menyebut sikap Presiden Joko Widodo terkait status 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan usai tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak menyentuh akar permasalahan. Menurut Busyo, Jokowi seharusnya mulai mengidentifikasi permasalahan terkait pelaksanaan TWK. Ia menilai, TWK tidak mempunyai dasar hukum yang jelas sehingga menjadi tindakan ilegal yang dilakukan KPK.
"Presiden jangan basa-basi. Masyarakat semakin cermat, mana pernyataan yang sekadar basa-basi, mana yang punya kejujuran," ujar Busyro, pada Selasa 18/5.
Jika dicermati, statement Novel Baswedan pasca respons Presiden Jokowi terhadap kemelut 75 pegawai KPK, dapat diartikan sebagai berikut :
Pertama,statement Presiden Joko Widodo tak memberikan keyakinan bagi pegawai KPK tentang jaminan masa depan mereka, khususnya masa depan pemberantasan korupsi. Mengingat, akar masalahnya bukan sekedar soal TWK yang menyebabkan 75 pegawai KPK tak lolos konversi menjadi ASN. Justru masalah utamanya adalah pengalihan status pegawai KPK yang independen menjadi ASN yang murni dibawah kendali eksekutif (Presiden).
Memang benar, ada sejumlah pegawai KPK yang memberikan apresiasi kepada Presiden Joko Widodo. Namun pernyataan Busyro Muqoddas dan Statement Novel Baswedan ini justru mengkonfirmasi ketidakpercayaan kepada Presiden.
Kedua,nampaknya Novel Baswedan sedang bermanuver untuk memberikan informasi kepada publik tentang motif dibalik aksi 'mutilasi semesta' pada sejumlah pegawai KPK. Pesan yang tersirat adalah program bersih bersih orang bersih di KPK ada hubungannya dengan pihak-pihak yang terancam oleh proses penyidikan kasus korupsi Bansos.
Anatomi kasus korupsi bansos terkategori korupsi politik yang melibatkan unsur kekuasaan. Aktor utama Juliari Peter Batubara dari PDIP, dan sejumlah nama lain disebut juga berasal dari PDIP. Sejumlah aliran dana juga mengalir ke PDIP seperti yang dikembalikan oleh ketua DPC PDIP Kendal.
Struktur kekuasaan juga dikendalikan PDIP, dimana Presiden yang berkuasa berasal dari PDIP. Fakta-fakta tersebut menguatkan kesimpulan publik tentang adanya aktor intelektual dibalik pelemahan KPK sejak revisi UU KPK hingga mutilasi terhadap 75 pegawai KPK. Dan aktor intelektual ini ada hubungannya dengan kekuasaan.
Ketiga,dan ini yang paling mengkhawatirkan, statement Novel Baswedan justru mengkonfirmasi korupsi di negeri ini sudah pada tingkat yang luar biasa parah. Bantuan sosial di masa pandemi di korupsi yang nilai proyeknya hingga Rp 100 triliun benar-benar membelalakkan mata siapapun.
Selama ini, penguasa berteriak anti korupsi. Juliari Peter Batubara, kader PDIP ini juga sebelumnya dipuji-puji anti korupsi, tetapi kenyataannya ? Garong uang rakyat, bahkan menggarong triliunan rupiah pada saat rakyat bertarung melawan Pandemi.
Tentu saja, kedepan narasi pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintah menjadi tidak memiliki nilai. Semua akan ditafsirkan publik sekedar basa-basi, persis seperti yang dikemukakan oleh Busyro Muqoddas. [].
COMMENTS