pengembangan infrastruktur dalam sistem islam
Oleh:Sulastri (Relawan Media)
Kendari (ANTARA) - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mendukung pembangunan sarana infrastruktur pelabuhan di Baubau, Sulawesi Tenggara, khususnya pelabuhan kontainer di daerah itu.
Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas I Baubau, R Pradigdo, Jumat, menyebutkan pengembangan sarana infrastruktur transportasi pelabuhan Baubau didukung oleh Menhub Budi Karya Sumadi, saat melakukan kunjungan di daerah itu pada 18 Maret 2021.
Dalam kunjungan kerja di Bau-bau, Menhub, selain meninjau Bandara Betoambari juga Pelabuhan Murhum dan dipaparkan rencana pengembangan pelabuhan oleh Kepala Kantor UPP Kelas I Baubau.
Infrastruktur merupakan bangunan fisik yang berfungsi untuk mendukung keberlangsungan dan pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi suatu mansyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, keberadaan infrastruktur akan sangat diperlukan untuk menunjang kemajuan sosial dan ekonomi suatu masyarakat.
Pembangunan infrastruktur inilah yang menjadi proyek mercusuar pemerintahan rezim hari ini. Namun, pembangunan besar yang dilakukan ternyata masih belum bisa dirasakan manfaatnya untuk masyarakat. Seperti dilansir Jakarta, CNN Indonesia -- Kalangan pelaku usaha sektor riil menilai dampak dari pembangunan berbagai proyek infrastruktur di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap tingkat produktivitas dan efisiensi industri masih minim. Minimnya dampak tersebut setidaknya dirasakan oleh Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo).(28/02/2019)
Wakil Asperindo Budi Paryanto mengatakan pembangunan infrastruktur berdampak minim karena kehadiran jalan tol, pelabuhan, bandara, dan proyek-proyek lainnya tidak disempurnakan dengan tata kelola dan regulasi yang mendukung.
Budi mengatakan masalah juga masih terjadi di infrastruktur laut dan darat. Di laut misalnya, ia mengatakan banyak pelabuhan dibangun, tapi akses bongkar muat kargo justru bermasalah.
Inilah alasan banyak pihak berpendapat bahwa pembangunan infrastruktur ini cenderung menguntungkan pihak swasta atau pengusaha dan merugikan masyarakat.
Dalam sistem ekonomi kapitalis termasuk yang diterapkan di Indonesia, biaya pembangunan dan pemeliharaan berbagai macam infrastruktur diperoleh dari sektor pajak sebagai pemasukan terbesar penerimaan negara, dari pinjaman atau uang luar negeri dan melalui skenario kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) yaitu kontrak kerja sama antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur atau layanan publik dalam jangka waktu panjang (biasanya 15-20 tahun). Pada akhirnya, masyarakat yang harus menanggung beban baik secara langsung melalui pungutan penggunaan infrasturktur seperti tarif tol yang semakin mahal maupun melalui pungutan tidak langsung dalam bentuk peningkatan berbagai pungutan pajak.
Dalam sistem ekonomi yang kapitalistik seperti sekarang ini, pembangunan infrastruktur yang berujung dan bertumpu pada investor swasta sehingga tidak hanya sibuk memikirkan berapa besar investasi yang diperlukan, dari mana asalnya tapi juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan investasi bahkan memikirkan bagaimana keuntungan dari proyek tersebut. Sistem ekonomi kapitalistik tidak berprinsip bahwa pengadaan infrastruktur negara adalah bagian dari pelaksanaan akan kewajiban negara dalam melakukan pelayanan (ri’ayah) terhadap rakyatnya. Karenanya, sistem ekonomi kapitalistik ini bukan hanya sistem ekonomi yang salah, bahkan ini adalah sistem yang rusak. Walhasil alih-alih demi kepentingan rakyat, dibangunlah berbagai macam infrastruktur namun yang menjadi penikmat utamanya adalah mereka yang memiliki modal dan kepentingan, bukan rakyat secara keseluruhan.
Persoalan selanjutnya yang terpenting ialah dari mana dana pembangunan infrastruktur ini diperoleh. Persoalan dana pembangunan proyek infrastruktur, termasuk di dalamnya infrastruktur transportasi tidaklah akan menjadi masalah ketika sistem ekonomi yang digunakan oleh suatu negara adalah sistem ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam meniscayakan sebuah negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya, sehingga mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Dengan pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ‘ammah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) yang benar berdasarkan Islam, menjadikan sebuah negara mampu membiayai penyelenggaraan negara tanpa harus ngutang, termasuk untuk membangun infrastruktur transportasinya.
Ada empat poin penting pembangunan infrastruktur publik dalam Islam.
Pertama, dalam sistem ekonomi dan politik Islam, pembangunan infrastruktur dalam Islam adalah tanggungjawab negara, bukan sebagai ajang mencari keuntungan atau ajang untuk melancarkan hubungan diplomatik dengan negara lain. Prinsip ini sangat berbeda dengan pola pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalistik yang menjadikan proyek infrastruktur sebagai ajang mencari keuntungan (lihat proyek jalan tol yang senantiasa berbayar) atau arena untuk kepentingan politik semata seperti proyek kereta cepat ini.
Kedua, sistem ekonomi Islam dalam naungan khilafah membahas secara rinci dan tuntas masalah kepemilikan [milkiyyah], pengeloaan kepemilikan [tasharruf], termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat [tauzi’] juga memastikan berjalannya politik ekonomi [siyasah iqtishadiyyah] dengan benar. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, khilafah akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelanggaraan negara. Termasuk memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pada saat yang sama, ekonomi negara tumbuh dengan sehat, karena produktivitas individu yang terjaga. Dengan begitu, ketika negara mengalami situasi di mana harus membangun infrastukturnya, maka negara mempunyai banyak pilihan sumber dana karena, masalah penyelenggaraan negara dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya juga sudah selesai.
Ketiga, Rancangan tata kelola ruang dan wilayah dalam negara khilafah didesain sedemikian rupa, sehingga mengurangi kebutuhan transportasi. Sebagai contoh, ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, dibangunlah masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah. Dengan demikian, warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, baik untuk menuntut ilmu atau bekerja karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
Keempat, pendanaan pembangunan infrastruktur khilafah berasal dari dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Hal itu sangat memungkinkan karena kekayaan milik umum dan kekayaan milik negara memang secara riil dikuasai dan dikelola oleh negara.
Adapun jika dalam keadaan darurat atau paceklik, maka didalam Islam diperbolehkan memungut pajak, pajak (dharîbah) hanya dipungut dalam kondisi kas negara dalam keadaan kosong dan dipungut dari orang-orang kaya saja. Penarikan dharîbah ini juga dilakukan secara temporer hingga kas negara terpenuhi. Selebihnya, pemasukan negara dalam Khilafah Islamiyah didapatkan dari berbagai macam pos-pos pemasukan yang diizinkan oleh Asy-Syâri’ berupa harta-harta fai dan kharaj, pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dan pos khusus pemasukan zakat (khusus pos pemasukan yang terakhir, ia tidak boleh dicampur dengan pemasukan-pemasukan lainnya dan tidak boleh dialokasikan selain kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat).
Demikianlah Islam memandang merealisasikan pembangunan insfrastruktur yang apik dan merata di seluruh negeri Islam. Islam membuat perencanaan keuangan dan pembangunan dengan begitu mendetail. Dengan itu pembangunan yang membutuhkan dana besar dapat dengan mudah dibangun tanpa melanggar syariah Islam sedikitpun (pinjam uang ribawi, dll), juga tanpa merendahkan martabat Islam dan kaum Muslim di mata pihak ketiga/asing. WalLâhu a’lam bishawab
COMMENTS