penistaan agama terus berulang
Oleh Ummu Rufaida (Kontributor Media dan Anggota AMK)
Pilu! Ramadan tahun ini menjadi ternoda akibat ulah biadabnya Joseph Paul Zhang. Seorang Apologet Kristen, yang dengan pongahnya mengaku diri sebagai Nabi ke-26. Tak hanya itu, dia juga menghina Allah Swt., Nabi Muhammad Saw. serta ajaran Islam dengan mulut busuknya. Tak tanggung-tanggung, dia juga menantang siapapun yang bisa melaporkannya ke polisi dengan tuduhan penistaan agama maka akan diberikan sejumlah uang. (Fokussatu.com, 18/04)
Ini bukanlah kali pertama penistaan terhadap agama Islam. Namun, setiap penistaan pasti menorehkan luka mendalam pada hati kaum muslimin. Siapa pun yang memiliki iman, pasti akan marah jika akidah dan Tuhannya dinista. Kaum muslim wajib marah terhadap para penista agama!
Ingatkah, bagaimana penistaan yang dilakukan oleh Ahok terhadap ayat Al-Quran? Atau yang dilakukan oleh Sukmawati yang telah membandingkan Rasulullah Saw., dengan sosok ayahnya Soekarno? Dan masih banyak lagi kasus-kasus serupa.
Yang patut dicermati adalah mengapa di negeri mayoritas muslim terbesar di dunia, kasus penistaan agama selalu berulang-ulang? Bahkan terkadang pelaku justru malah lepas dari jeratan hukum hanya dengan meminta maaf. Sekalipun dijerat hukum, sanksi yang diberikan tak sepadan dengan penistaan dan penghinaan yang mereka lontarkan.
Inilah salah satu hal yang membuat para penista tidak jera bahkan malah melahirkan para penista agama baru.
Berulangnya kasus penistaan agama, membuktikan bahwa negara sejatinya telah gagal menjamin dan melindungi agama. Nyatanya, Undang-undang tentang Penodaan Agama, tidak mampu menghentikan aksi ini. Diperparah lagi oleh penegakkan hukum yang sering kali jauh dari kata adil.
Selain itu, lumrah terjadi di negeri demokrasi kapitalisme, atas nama HAM seseorang bebas berbuat apapun sesuai kehendaknya. Sebab, nilai kebebasan inilah yang selalu diagung-agungkan, yaitu, kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan dan berperilaku.
Kebebasan berpendapat inilah yang melahirkan orang-orang yang dengan mudahnya menghina Allah Azza wa Jalla dan menghina Nabi Muhammad Saw., menista dan menghujat ajaran Islam yang agung, dan mempermainkan agama.
Mereka dengan bebasnya melontarkan cacian dan pendapatnya berdasarkan hawa nafsunya tanpa mempertimbangkan dampaknya. Apakah pendapat dan pemikirannya benar atau tidak, melukai hati orang lain atau tidak, sesat dan menyesatkan atau tidak, memberi dampak buruk atau tidak di tengah-tengah masyarakat atau tidak. Mereka beranggapan, selama tidak mengganggu kebebasan orang lain, maka sah-sah aja dilakukan.
Lalu, jika sudah begini, kemanakah kaum muslim harus menuntut keadilan ketika akidah dan ajarannya dihinakan? Masihkah berharap pada sistem demokrasi kapitalisme untuk menjatuhkan sanksi tegas terhadap penista agama?
Hal ini berbeda ketika Islam dijadikan sistem kehidupan manusia. Islam tidak akan membiarkan pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam tersebar luas. Sebab Islam memandang akidah dan syariah sebagai perkara penting yang harus terus dijaga eksistensinya.
Negara merupakan institusi yang bertugas mewujudkan pandangan ini. Atas asas ini, tentu negara tidak akan memberikan toleransi terhadap pemikiran, pendapat, paham, aliran, atau sistem hukum yang bertentangan dengannya. Negara juga tidak akan menoleransi perbuatan-perbuatan yang menyalahi akidah dan syariah Islam.
Dalam kasus penistaan agama, jelas Islam akan memberikan sanksi tegas bagi pelaku, yaitu hukuman mati. Sebab siapapun yang menghina Nabi Muhammad Saw., apalagi menghina Allah Swt. darahnya adalah halal, bisa langsung dibunuh. Bahkan tak layak diberikan padanya tenggat waktu tiga hari untuk kembali kepangkuan Islam.
Seperti kisah yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad Saw., ada seorang pria yang amat marah kepada istrinya karena terus-menerus menghina Nabi Saw.. Akhirnya, sang suami membunuh istrinya tersebut. Ketika kabar ini sampai kepada Baginda Nabi Saw. dan pria ini mengakui perbuatannya, beliau bersabda:
« أَلاَ اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ »
“Saksikanlah bahwa darah perempuan yang tertumpah itu sia-sia (tidak ada tuntutan)!” (HR Abu Dawud)
Dalam sejarah juga tercatat bahwa Khilafah Utsmaniyah sanggup menghentikan rencana pementasan drama karya Voltaire yang akan menista kemuliaan Nabi Saw. Saat itu Sultan Abdul Hamid II langsung mengultimatum Kerajaan Inggris yang bersikukuh tetap akan mengizinkan pementasan drama murahan tersebut.
Sultan berkata, “Kalau begitu, saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita! Saya akan mengobarkan jihad akbar!”
Kerajaan Inggris pun ketakutan dan pementasan akhirnya dibatalkan.
Sungguh sangat tegas hukum yang ditegakkan ketika Islam berkuasa atas kehidupan manusia. Maka, sangatlah wajar jika kasus serupa sangatlah minim terjadi dalam sejarah peradaban Islam. Sekalipun ada, tetap akan langsung ditindak tegas oleh negara. Begitulah seharusnya negara menjadi pelindung (junnah) kuat bagi kemuliaan agama ini.
Oleh karenanya, mari kita tinggalkan sistem hidup demokrasi kapitalisme yang membawa kesengsaraan bagi umat. Berjuanglah untuk tegaknya sistem Islam ini, sistem khilafah!
COMMENTS