sekularisme pendidikan
Oleh : Hana Annisa Afriliani,S.S (Aktivis Dakwah dan Penulis Buku)
Karut-marut dunia pendidikan seolah tak pernah usai, malah kian memprihatinkan. Setelah kontroversi soal program Merdeka Belajar yang digagas oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, kini dunia pendidikan kembali diguncang kontroversi pasca dikemukakannya penghilangaan frasa agama dari draf Peta Jalan Pendidikan Nasional. Mengapa? Sebab agama merupakan sesuatu yang sangat vital bagi kehidupan manusia, bahkan keberadaannya merupakan esensi yag paling utama dalam kehidupan. Ketika ada penghilangan frasa agama, lantas diganti dengan akhlak dan budaya, jelas menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
Penghilangan frasa agama dari Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 jelas akan membahayakan, sebab inilah yang akan menjadi landasan konsep pendidikan 15 tahun ke depan. Wajar saja jika kemudian, penghilangan frasa agama ini menuai beragam kritikan, di antaranya dari ketua MPR-RI, Arsul Sani, yang menyatakan bahwa agama adalah faktor yang melekat dalam banyak bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan ia mengingatkan agar Kemendikbud tidak menghilangkan frasa agama dari Peta Jalan Pendidikan kita karena nerupakan bagian dari ketaatan terhadap konstitusi. (Tempo.co/09-03-2021)
Semakin nampak nyata adanya upaya pengebirian ajaran agama di dunia pendidikan. Agama seolah hanyalah menjadi pelengkap, bukan esensi kehidupan yang utama. Betapa tidak, akhlak dan budaya merupakan cabang dari agama itu sendiri. Jika kemudian frasa agama dihilangkan, lalu diganti dengan akhlak dan budaya tentu hal tersebut merupakan bentuk pengebirian agama yang sangat nyata. Dengan kata lain, ruh sekularisme telah benar-benar merasuki dunia pendidikan kita hari ini.
Padahal sejatinya sekularisme di dunia pendidikan hanya akan menghasilkan output pendidikan yang gagap akan arah hakiki hidupnya. Sebaliknya mereka hanya disibukkan dengan perkara mengejar materi dan urusan duniawi. Hal tersebut senada dengan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan hari ini, yakni untuk mengabdi pada dunia industri. Ya, sistem kapitalisme hari ini memang berfokus pada upaya mencetak generasi yang kelak akan siap diberdayakan di dunia kerja. Perkara ketakwaan, diserahkan kepada individu masing-masing.
Lebih jauh lagi, draf Peta Jalan Pendidikan yang menghilangkan frasa agama di dalamnya sejalan dengan agenda moderasi beragama yang telah lama dicanangkan oleh penguasa negeri ini. Dengan tidak adanya frasa agama di dalamnya, diharapkan para generasi output pendidikan berjiwa moderat nan sekuler.
Adapun moderasi tersebut dimaksudkan untuk menjauhkan generasi dari penghambaannya yang utuh kepada Rabbnya serta ketaatan yang totalitas pada agamanya. Sebaliknya moderasi beragama menancapkan prinsip relativisme yakni tak ada kebenaran tunggal, sebaliknya kebenaran itu relatif. Toleran terhadap ide-ide asing (baca: Barat) bahkan mengunggulkannya dan menjadikan Barat sebagai kiblat budaya serta peradaban.
Moderasi agama juga menggagas proyek kesetaraan gender, yakni salah satunya dengan menyeret para perempuan untuk berlomba-lomba eksis di ranah publik, khususnya di dunia kerja. Atas nama pemberdayaan perempuan, mereka didorong berkiprah menghasilkan pundi-pundi demi menjadi sosok mandiri. Akhirnya banyak perempuan yang kehilangan jati dirinya sebagai seorang muslimah. Fungsi dan peran utamanya sebagai ibu dan manager rumah tangga terabaikan.
Jelaslah bahwa ruh sekularisme yang merasuki dunia pendidikan menguatkan agenda moderasi tersebut. Generasi muda dijauhkan dari agamanya dan ditanamkan di benaknya bahwa agama hanyalah berhak mengatur urusan privat manusia. Sementara urusan publik tidak perlu membawa-bawa agama.
Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa sejatinya sistem kehidupan hari ini akan menjerumuskan kita pada kerusakan demi kerusakan. Hanya sistem Islam yang mampu mencetak manusia-manusia mulia, prestatif dan beradab, karena sistem Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam pendidikan. Adapun tujuan dari sistem pendidikan Islam adalah mencetak generasi berkepribadian Islam, sehingga wajar dari rahim sistem pendidikan Islam terlahir sosok-sosok berilmu yang tak hanya cerdas secara akademik, namun juga visioner, berjiwa pemimpin, berakhlaqul karimah, dan bertakwa kepada Allah Swt.
Begitu banyak generasi muslim yang menorehkan tinta prestasi dalam sejarah peradaban bahkan menjadi cikal-bakal lahirnya aneka ilmu hingga hari ini. Sebut saja Ibnu Sina yang terkenal sebagai Bapak Kedokteran, Al-Khawarizmi penemu teori matematika Al-Jabar dan ilmu Hisab, Al-Zahrawi yang dikenal sebagai Bapak Bedah Modern, Ibnu Haitsam yang sampai sekarang menjadi rujukan terkait ilmu optik, Abbas Ibnu Firnas penemu konsep pesawat terbang, dan masih banyak lagi.
Bagitulah hakikatnya keberhasilan sistem pendidikan Islam yang merupakan bagian dari kegemilangan peradaban Islam di bawah naungan Khilafah.
Lantas, masihkan kita berharap pada sistem kehidupan hari ini yang terus merongrong umat Islam agar jauh dari ajaran agamanya yang kafah?
Allah Swt berfirman, yang artinya:
“…Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab serta mengingkari sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat nanti mereka akan dilemparkan pada siksa yang amat keras.” (QS al-Baqarah [2]: 85).
COMMENTS