sousi pernikahan dini
Oleh: Luthfiah Jufri, S. Si., M. Pd. (Aktivis Muslimah Konawe)
Isu perkawinan anak masih terus bergulir. Huru-hara berita soal Aisha Wedding yang mengampanyekan menikah diusia 12-21 tahun menjadi sorotan di media sosial. Komisi Perlindungan Anak Indonesia pun meminta Mabes Polri menelusurinya karena dianggap meresahkan masyarakat. Kampanye Ini dianggap melanggar hak anak khususnya perempuan karena akan mengancam kesehatan, pendidikan dan keselamatan mereka.
Dikutip dari Voaindonesia.com (11/03/2021), berdasarkan data Komnas perempuan ada sekitar 64.000 anak perempuan di Indonesia di bawah umur dikawinkan pada masa pandemi tahun 2020 lalu, padahal Undang-Undang Perkawinan telah direvisi namun masih ada sela yang memungkinkan pernikahan anak di bawah 19 tahun. Ketika hal dilakukan dispensasi nikah oleh pengadilan dan diterima.
Hal ini memantik Ketua pengurus asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Nursyahbani Katjasungkana agar Kantor Urusan Agama (KUA) harus segera mengusut persoalan dispensasi atau keringanan batas usia minimal usia pernikahan yang diberikan (Cnnindonesia.com, 13/03/2021).
Sementara itu, menurut WHO yang termasuk kategori anak adalah seseorang yang berusia di bawah 19 tahun. Itu artinya, menikah di bawah 19 tahun berarti melanggar Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 pasal 1 ayat 1 tentang perlindungan anak. Namun, faktanya hukum masih memberi celah terhadap dispensasi pernikahan dini,karena kalau tidak diizinkan akan banyak mudaratnya bagi anak-anak, keluarga dan masyarakat.
Ambiguitas Izin Pernikahan Dini
Ibarat maju kena mundur kena, seolah negara ini menyelesaikan masalah dengan masalah. Alih-alih ingin menyelamatkan anak dari putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan kesehatan reproduksi, justru di sisi lain pemerintah membuka keran perzinahan. Salah satu bukti nyata, yaitu praktik prostitusi masih menyebar kemana-mana dan tak ayal anak yang menjadi korban atau banyaknya pasangan remaja atas dasar ‘suka sama suka’ ikhlas berhubungan suami istri sampai hamil dan menikah terpaksa yang ujung-ujungnya putus sekolah juga.
Faktor ekonomi juga dianggap menjadi penyebab terjadi perkawinan anak. Tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi menjadikan kepala keluarga tak mampu membiayai kehidupan keluarganya sehingga menikahkan anak satu-satunya solusi agar bisa keluar dari himpitan ekonomi.
Faktor usia, jika terlalu muda menikah rentan akan terjadi KDRT dan berujung perceraian, padahal banyak pasangan nikah dini sukses berumah tangga, sebaliknya banyak juga yang menikah di usia dewasa yang justru usia pernikahan mereka begitu singkat. Artinya membatasi usia perkawinan bukan solusi untuk menyelamatkan hak anak.
Kacamata Islam Perihal Usia Pernikahan
Islam tidak menentukan usia pernikahan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalil yang menunjukkan kebolehan menikah diusia muda misalnya pernikahan Rasulullah Saw. dengan Ummul Mukminin Aisyah. Di dalam Shahih Muslim dituturkan sebuah riwayat dari Aisyah, beliau berkata, Rasulullah Saw. menikahiku pada usiaku yang keenam. Dan beliau tinggal serumah denganku pada usiaku yang kesembilan (HR. Muslim).
Islam pun membolehkan laki-laki menikahi perempuan yang belum balig, namun belum boleh digauli sampai menginjak usia di mana dia telah memiliki keinginan terhadap hal ini. Dengan demikian, tidak berakibat buruk pada sistem reproduksinya.
Nikah muda pun tidak menjadi masalah jika syarat dan rukun nikah dipenuhi dan tidak ada pelanggaran hukum syara di dalamnya. Selama semua hal tersebut dipenuhi maka menikah muda menjadi sah-sah saja. Boleh menikah muda asalkan bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut,
Islam juga akan menerapkan pendidikan (taklim) dan pembinaan (tasqif) akidah islam terhadap anak-anak sehingga betul-betul berjalan optimal. Kepribadian (syakhsiyah) mereka digembleng sehingga saat balig mereka telah siap menerima taklif hukum syariat, termasuk perihal pernikahan. Jadi, kesiapan untuk menikah pun telah ada sejak dini.
Tidak seperti sekarang, tingkat kematangan organ reproduksi pada anak tidak diimbangi dengan kematangan cara berpikir. Tontonan dan gaya hidup bebas pada saat ini cenderung mendorong anak-anak dan remaja untuk pacaran, bersenang-senang sesuai keinginan mereka dan mengumbar syahwat.
Upaya menggugat Undang-Undang perkawinan anak merupakan upaya melarang pernikahan dini yang bisa dianggap salah satu bentuk kedurhakaan, karena apa yang telah dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh diharamkan manusia. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 87 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Dengan demikian, pernikahan dini diperolehkan (halal), selama tidak ada paksaan dan telah ada kesiapan dari kedua belah pihak yang akan menikah. Yaitu kesiapan ilmu, kesiapan materi (kemampuan memberi nafkah), serta kesiapan fisik. Wallahu a’lam bi ash-showab.
COMMENTS