apa itu iman
Oleh: Syaikh Dr. Ahmad al-Qashash (Ulama Libanon)
Tanya: Apakah keimanan itu bisa bertambah dan berkurang, ataukah tidak?
Jawab: Masih ada pertanyaan berulang seperti ini dari sebagian ikhwah follower, saya akan jawab kembali, sebagai berikut:
Keimanan dari aspek pembenaran yang pasti, tentu tidak bertambah dan berkurang. Maka seseorang itu bisa disebut mukmin atau kafir, dan tidak ada posisi pertengahan antara kafir dan mukmin. Jadi siapa yang berkata “keimananku kepada adanya Allah adalah 90 persen dan hanya kurang 10 persen” atau “pembenaranku bahwa al-Qur’an kalam Allah mencapai 80 persen dan tidak mencapai 100 persen” tentu ini sama sekali bukan keimanan, karena yang disebut keimanan berbentuk keyakinan pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun. Jadi berdasarkan makna ini, keimanan alias keyakinan (al-i’tiqad) tidaklah bisa berkurang maupun bertambah.
Hanya saja keimanan yang berbentuk pembenaran pasti ini, bisa dirawat dan diberi nutrisi oleh seorang mukmin dengan tafakkur, merenung dan bertaqarrub kepada Allah, melalui berdzikir, beribadah dan berbuat amal shalih, sehingga dengan semangat ini keimanannya menguat dan kekuatan tersebut hadir di dalam jiwa dan perilakunya.
Kadang iman seorang muslim bisa kering karena larut dalam kenikmatan dunia, jauh dari keterhubungan dengan Allah ta’ala, serta dari mengingat hisab dan hari akhir. Maka padamlah pengaruh keimanan pada dirinya, sehingga disebut “fulan lemah iman” artinya pengaruh keimanannya menurun baik secara kejiwaan, perkataan dan perilaku. Akan tetapi ini tidak menghilangkan predikat keimanannya, sehingga tidak boleh disebut setengah mukmin dan setengah kafir.
Kecuali dalam momen saat dia ragu terhadap salah satu rukun iman, ajaran yang qath’i (pasti) terkait agama, dan perkara ma’lum min ad-din bi ad-dharurah (yang urgensinya dalam Islam sudah diketahui), maka saat itu keyakinannya gugur sehingga predikat keimanannya hilang, meski hanya oleh sebuah perkataan. Pada kondisi ini dia tidak disebut “lemah iman”.
Demikian juga, penyebutan iman digunakan sebagai majaz (metafora) untuk amal shalih. Allah menyebut shalat dengan kata iman di dalam firman-Nya:
وما كان الله ليضيع إيمانكم
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian (shalat kalian yang dulu menghadap Baitul Maqdis)” (QS. Al-Baqarah [2]: 143).
Begitupun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati amal baik misalnya:
إماطة الأذى عن الطريق
“Menyingkirkan gangguan dari jalan” (HR. Muslim) sebagai keimanan.
Jadi, penyebutan amal shalih dengan kata iman adalah majaz (metafora), sebab amal shalih adalah buah dari keimanan. Maka ungkapan iman dengan penyebutan ini adalah sinonim dari istilah “taqwa”, berdasarkan makna ini, disebutlah iman bertambah dan berkurang, artinya amal shalih itu bisa bertambah dan berkurang. Akan tetapi ini tidak ada kaitan dengan keimanan dalam arti pembenaran yang pasti alias akidah. Karena itu jangan sebut pelaku amal shalih adalah seorang mukmin dan pelaku amal selainnya adalah seorang kafir; jangan sebut juga seseorang yang tidak melakukan berbagai amal shalih atau ketaatan kepada perintah Allah ta’ala, dan melakukan maksiat di kesempatan lainnya, dengan setengah mukmin dan setengah kafir, karena seorang manusia itu dalam konteks akidah, hanya ada mukmin dan kafir, tidak ada area pertengahan antara iman dan kafir.
(Akun Facebook 21 Februari 2021 M, alih bahasa Yan S. Prasetiadi)
COMMENTS