kematian demokrasi
Oleh: Abu Mush'ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)
Buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menggemparkan Indonesia. Dari judulnya saja sudah tergambar jelas bahwa demokrasi tidak abadi, bisa mati kapan saja.
Demokrasi yang dikultuskan ternyata membawa momok yang mengerikan. Para pakar menyesal demokrasi tak mampu menahan para diktator untuk berkuasa di pemerintahan lewat jalur pemilu.
Inilah pukulan mematikan bagi demokrasi. Demokrasi bahkan telah dipandang sangat buruk sejak diadopsi di Barat.
"Demokrasi tidak pernah berlangsung lama. Dia segera jadi limbah, kehabisan energi, dan membunuh diri. Tidak pernah ada demokrasi yang tidak melakukan bunuh diri". John Adams, Presiden ke dua Amerika Serikat.
"Demokrasi tidak lebih dari pemerintahan oleh mayoritas, dimana 51% anggota masyarakat dapat mengambil hak-hak 49% anggota masyarakat lainnya". Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat. (Dikutip dari http://indonesian.beyonddemocracy.net/indonesia/kutipan.php)
Bahkan sebelum buku ini viral tahun 2019, Amerika Serikat sebagai kampium demokrasi sudah terpuruk dihantam sistem ini.
Utang luar negeri membengkak tajam ribuan dollar AS. Angka pengangguran meningkat tinggi. Ketika kapitalis semakin kaya dan rakyat semakin miskin, warga Amerika menduduki Wall Street dan mengatakan kami 99% rakyat miskin.
Kekayaan negara dikuasai 1% orang terkaya (kapitalis). Ini semakin diperburuk dengan kesusahan anti kulit hitam yang menghasilkan gerakan #BlackLivesMatter (nyawa kulit hitam berharga).
Demokrasi telah gagal. Tanpa dibunuh pun akan mati dengan sendirinya karena tak ada rakyat yang hidup sejahtera dalam sistem ini. Kekayaan dan kekuasaan dikuasai oleh sekelompok oligarki pemerintahan.
Demokrasi akan mati dan bisa dipercepat kematiannya. Dengan cara ;
pertama menjelaskan kebobrokan demokrasi kepada masyarakat luas. Cara ini akan membuat masyarakat sadar bahwa mereka selama ini hidup sengsara akibat diterapkannya demokrasi dalam kehidupannya.
Kedua menjelaskan kemudian mendirikan sistem Islam sebagai pengganti dari demokrasi. Ketika sistem Islam atau Khilafah berdiri dan menyatukan semua negeri Kaum Muslimin dalam satu kepemimpinan, keadilan akan merata.
Jika saat itu tiba, sistem demokrasi akan rontok dan mencari sistem baru yang lebih baik. Masyarakat akan berbondong-bondong meminta Khilafah untuk menaklukkan negeri mereka. Karena mereka ingin bebas dari demokrasi yang hanya menguntungkan para kapitalis.
Khilafah akan menghilangkan hak kepemilikan SDA yang didominasi oleh kapitalis ke negara. Sehingga negara mampu membayar utangnya. Negara juga akan mampu membiayai secara gratis pendidikan dan kesehatan bagi seluruh rakyatnya.
Khilafah juga akan mampu membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi para warganya. Khilafah makan menjadi sistem baru bagi dunia tanpa terkecuali Amerika dan Eropa.
Tidak akan ada lagi penindasan atas nama status sosial atau perbedaan warna kulit. Para koruptor akan diberikan yang setimpal. Hukum tak bisa dibeli karena Pemimpin yang terpilih berlandaskan syariah bukan pemilu ala demokrasi yang memakan banyak biaya.
Hilangnya kelas kapitalis akan menyebabkan terputusnya hubungan simbiosis mutualisme antara pengusaha dan penguasa yang menciptakan banyak koruptor.
Maka runtuhnya demokrasi dan bangkitnya Khilafah hanya masalah waktu. Demokrasi akan mati dari faktor internal (rusaknya semua sendi ipoleksosbydhankam) dan eksternal (kehadiran Khilafah Islam sebagai sistem raksasa baru). Semoga ada Ahlul Quwwah suatu negeri yang akan memberikan kekuasaannya kepada Islam.
Sehingga Khilafah tegak dan menghegemoni dunia dengan segala kebaikan. Seperti zaman dulu ketika Khilafah banyak memberikan banyak kontribusi yang tidak bisa diberikan oleh demokrasi. []
Bumi Allah SWT, 28 November 2020
#DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan
COMMENTS