Partai Masyumi Umat
Oleh: Wity (Aktivis Muslimah Purwakarta)
Ketidakbecusan penguasa dalam mengatasi berbagai persoalan saat ini telah membuat rakyat geram. Berbagai kedzaliman yang dilakukan untuk membungkam aspirasi rakyat semakin membawa negeri ini ke ambang kehancuran. Terlebih, sikap refresif rezim yang anti-Islam semakin menyadarkan umat bahwa negeri ini membutuhkan perubahan. Kerinduan umat untuk kembali pada aturan Islam pun semakin menggebu.
Hal ini terlihat dari lahirnya kembali Masyumi, partai Islam yang sempat dibubarkan 75 tahun silam. Saat didirikan pada 7 November 1945, Masyumi memiliki visi menerapkan ajaran dan hukum Islam.
Pada tanggal 7 November 2020, sejumlah tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mendeklarasikan lahirnya kembali Partai Masyumi dengan visi yang sama. Para kader pun menyambutnya dengan pekikan takbir disertai harapan bahwa parpol Islam kali ini benar-benar menjadikan Islam sebagai rujukan.
Niatan menghidupkan kembali partai ini berdasarkan kerinduan akan sepak terjang Masyumi di masa lampau. Menurut penggerak Masyumi saat ini, sedikit politisi partai politik yang ideologis dan memiliki kebijakan yang berintegritas. Hal ini diungkap dalam siaran pers di situs resmi mereka.
Masyumi pun mengajak sejumlah tokoh Islam ternama untuk bergabung, seperti HRS yang baru kembali ke tanah air, Ustad Abdul Somad, dan Amien Rais selaku pendiri Partai Ummat.
Respon tegas pun dilayangkan Amien Rais.
“Kalau saya misalnya, Masyumi lebih besar, Partai Ummat saya bubarkan untuk Masyumi. Tapi, kalau Partai Ummat lebih besar, please join us,” ucap Amien di Gedung Dewan Dakwah, Jakarta Pusat, Sabtu (7/11). (liputan6.com, 8/11/2020)
Memang sudah seharusnya umat melakukan perubahan atas negeri ini. Pertanyaannya, mampukah parpol Islam yang baru lahir ini membawa perubahan yang hakiki? Akankah demokrasi memberi jalan dalam mewujudkan aspirasi penegakkan syariat?
Kepalsuan Demokrasi
Banyaknya parpol yang ikut yang ikut serta dalam pemilu seakan memberi peluang bagi siapa saja untuk mencapai kekuasaan. Namun, kenyatannya kekuasaan tetaplah dikendalikan oleh orang-orang tertentu.
Banyaknya parpol Islam yang ikut serta dalam pemilu pun semakin memecah belah suara umat. Padahal, dalam aturan main demokrasi, suara mayoritas memegang peran penting atas lahirnya sebuah kebijakan. Alhasil, ali-alih bersatu melakukan perubahan, mereka terjebak dalam persaingan perebutan suara. Miris!
Politik demokrasi yang berasaskan sekuler melahirkan para politisi busuk yang rela mengorbankan apa saja demi meraih kekuasaan. Tak jarang partai Islam tercemari kebusukannya, rela berkoalisi dengan partai sekuler demi mendulang suara. Lupa dengan tujuan utamanya.
Maka, mengharapkan perubahan melalui jalan demokrasi hanyalah ilusi. Apalagi bila arah perubahan itu adalah penegakkan syariat Islam, mustahil terjadi. Karena demokrasi takkan memberi jalan bagi kebangkitan Islam yang hakiki.
Demokrasi telah terbukti berulang kali menjegal langkah Islam. Publik tentu masih ingat bagaimana suara umat Islam dicurangi dengan sangat vulgar pada Pilpres 2019. Bahkan, tokoh-tokoh yang didukung umat pun berkhianat dengan merapat ke kubu penguasa yang jelas-jelas mencuranginya.
Jikapun seluruh umat Islam di negeri ini bersatu dan memenangkan pemilu, kekuatan internasional yang menjerat negeri ini tak akan tinggal diam. Masih ingatkah yang terjadi pada pemilu di Aljazair tahun 1991? Saat itu, partai Front Islamic du Salut (FIS) menang telak dalam pemilu. Namun, kemenangan itu akhirnya dibatalkan.
Inilah demokrasi. Takkan pernah memberi jalan bagi kemenangan Islam. Baik Masyumi maupun parpol Islam lainnya, takkan mampu membawa perubahan hakiki selama masih dalam kubangan demokrasi.
Melakukan Perubahan Tak Harus dari Dalam
Terlalu naïf bila masih beranggapan bahwa melakukan perubahan harus dari dalam (bergabung dengan parlemen). Bukankah Rasulullah saw. telah mencontohkan bagaimana melakukan perubahan hakiki?
Beliau berhasil mengubah masyarakat Arab yang awalnya terkungkung dalam aturan jahiliyah menjadi masyarakan yang hanya menerapkan aturan Allah semata. Bahkan perubahan itu tak hanya terjadi di negeri Arab, tapi menjalar ke negeri-negeri lain.
Perubahan yang dilakukan Rasulullah saw. saat itu bukan dilakukan dari dalam (bergabung dengan penguasa saat itu), melainkan dengan melakukan pembinaan dan berinteraksi di tengah-tengah umat. Memahamkan mereka dengan pemahaman-pemahaman Islam serta menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Inilah aktivitas politik yang diajarkan dalam Islam. Aktivitas politik yang akan menghantarkan pada perubahan hakiki. Wallau’alam.[]
COMMENTS