Umat Islam saat ini sangat jauh dari masa kejayaan Khilafah. Mereka belum pernah menyaksikan Daulah Islam yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Demikian juga umat Islam yang hidup pada akhir masa Daulah Utsmaniyah yang berhasil diruntuhkan oleh Barat. Mereka hanya dapat menyaksikan sisa-sisa negara Islam tersebut dengan secuil sisa-sisa Pemerintahan Islam
Umat Islam saat ini sangat jauh dari masa kejayaan Khilafah. Mereka belum pernah menyaksikan Daulah Islam yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Demikian juga umat Islam yang hidup pada akhir masa Daulah Utsmaniyah yang berhasil diruntuhkan oleh Barat. Mereka hanya dapat menyaksikan sisa-sisa negara Islam tersebut dengan secuil sisa-sisa Pemerintahan Islam.
Oleh sebab itu, sulit sekali bagi umat Islam untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang pemerintahan Islam yang mendekati fakta sebenarnya sehingga dapat disimpan dalam pemikirannya.
Berikut ini rekam jejak peninggalan berharga dari Kekhilafahan di Nusantara. Semoga dengan menelusuri jejak ini, umat islam lebih dekat dengan Khilafah dan mempunyai gambaran tentang kejayaan Khilafah. Umat Islam diharapkan memahami bahwa Khilafah mempunyai peran yang penting bagi Nusantara.
Penjagaan Rute Haji
Munculnya Kekhilafahan Utsmaniyah terutama setelah berhasil melakukan penaklukan atas Konstantinopel yang merupakan ibu kota Romawi Timur pada 857/1453, menyebabkan nama Khilafah Utsmani melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Kekhilafan Utsmaniyah di Nusantara ialah “Sultan Rum.”
Sebelum kebangkitan Khilafah Utsmani, istilah Rum mengacu pada Byzantium, dan kadang-kadang juga pada Kerajaan Romawi. Akan tetapi,setelah kemunculan Khilafah Utsmani, istilah Rum beredar untuk menyebut Kekhilafan Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Khilafah Utsmani menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.
Kekuatan politik dan militer Kekhilafahan Utsmaniyah mulai terasa di kawasan Lutan India pada awal abad ke-16. Sebagai penguasa kaum Muslim, Khalifah Utsmani memiliki posisi sebagai khadim al-Haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para Khalifah Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji.
Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani di tempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis.
Pada tahun 954/1538, Sultan Sulaiman I (berkuasa 928/1520-66) melepas armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah.
Khilafah Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498 tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Khilafah dalam perdagangan di kawasan ini.
Pada saat yang sama, Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16.
Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936/1528), laksanama Turki di Laut Merah, terus memantau gerak maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan Khilafah di Istanbul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan ialah sebagai berikut:
(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)….Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera….Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.
Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941/1534, sebuah skuadron Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut Merah.
Pembebaskan Malaka dan Penaklukan Batak
Sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka diduduki Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi perhatian Khilafah Utsmani.
Pada tahun 925/1519, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang pelepasan armada Utsmani untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan kafir. Kabar ini, tentunya, sangat menggembirakan kaum Muslim setempat.
Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun 943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Khilafah, bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futuhat ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak.
Al-Qahhar menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abesinia. Pasukan Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari Malabar. Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946/1539.
Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.
Seorang sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui adanya bantuan Khilafah Utsmani untuk melakukan futuhat terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh.
Demikianlah, hubungan Aceh dengan Khilafah Utsmani sangat dekat. Aceh merupakan bagian dari wilayah Khilafah. Persoalan umat Islam Aceh sebagai persoalan dalam negeri Khilafah yang harus segera diselesaikan.
Nuruddin ar-Raniri, dalam Bustân as-Salâthîn, meriwayatkan, bahwa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap ‘Sultan Rum’. Utusan ini bernama Husain Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.
Pada Juni 1562, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istambul, ia berhasil mendapat bantuan Khilafah, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973/1564.
Petisi Aceh
Dalam kaitan dengan utusan Aceh tersebut, Farooqi menemukan sebuah arsip Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Alauddin Riayat Syah kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni yang dibawa Husain Effendi. Dalam surat ini Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Selain itu, surat ini melaporkan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang Muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) kafir.
Khalifah Sulaiman al-Qanuni wafat tahun 974/1566. Akan tetapi, petisi Aceh mendapat dukungan Sultan Salim II (974-82/1566-74), yang mengeluarkan perintah Kekhilafahan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh. Sekitar September 975/1567, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan.
Namun, dalam perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 979/1571. Menurut catatan sejarah, pasukan Khilafah yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 sebanyak 500 orang, termasuk para ahli senjata api, penembak, dan para teknisi. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568.
Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya dengan sendirinya disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar sebagai gubernur (wali) Aceh, yang merupakan utusan resmi Khalifah yang ditempatkan di daerah Aceh.[]
Oleh: Achmad Mu'it
Referensi dari Berbagai Sumber
COMMENTS